03 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Kompromi Polemik UN Bersyarat

Kompromi Polemik UN Bersyarat

PELAKSANAAN ujian nasional (UN) tahun 2010 dalam kendali M Nuh, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), terganjal keputusan Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah. Kebijakan UN sudah masuk dalam domain yuridis.

Sebagaimana diketahui, pada  14 September 2009 MA memutuskan menolak kasasi perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008. Dalam isi putusan ini, tergugat yakni Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas guru. MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas.


Melihat putusan itu, pemerintah tampaknya tak mau kalah dan menyerah begitu saja. Peninjauan kembali rencananya akan dilayangkan. Diskursus publik pun menjurus pada dua kutub yang berseberangan, yakni antara pilihan pelaksanaan UN dan tidak sama sekali. Di antara dua pilihan tersebut, manakah yang lebih untung? Atau ada jalan tengah yang memoderasi dua pilihan ekstrem itu? 

Problem Standardisasi

Jika pilihannya adalah peniadaan UN, restrukturisasi tak bisa dielakkan. Bukan hanya struktural tapi juga kutural. Artinya, konstruksi UN yang telanjur terpatri dalam benak siswa, guru, sekolah, bahkan masyarakat perlu diformat ulang. Bukan hal yang mudah membongkar keterlanjuran kemapanan UN dalam benak publik walau sudah membekaskan sederet luka dan peri, psikis misalnya. Ada atau tidaknya ujian pun menjadi teka-teki dan misteri.

Sebaliknya, jika peninjauan kembali pemerintah mendapat angin segar, luka sejarah bakal terulang. Rasa getir dan waswas bakal membayangi benak siswa, orang tua, guru, bahkan sekolah hingga pejabat-pejabat di pemerintah daerah. Mengikuti alur polemik mutakhir, tampaknya putusan MA kian menampar wajah pemerintah. Dukungan publik pun turut melemahkan semangat pemerintah dengan melansir sederet problem yang telah dimunculkan ujian itu di tahun-tahun sebelumnya.

Polemik yuridis ini tentu menjadi batu ganjalan rencana realisasi ujian nasional yang aturan-aturannya sudah dipersiapkan secara matang. Pemerintah melalui BNSP tengah melakukan sosialisasi di beberapa daerah terkait perombakan tata aturan ujian.

Di antara perubahan pola ujian  seperti semua siswa SMA/MA akan mengikuti ujian silang siswa antarsekolah, diberlakukannya ujian ulang bagi yang tidak lulus dan ada juga ujian susulan bagi siswa yang tidak bisa mengikuti ujian utama karena sakit. 

Pelaksanaan ujian pun akan dipercepat. Ujian utama untuk SMA/MA akan dilaksanakan minggu ke-3 Maret dan SMP/MTs minggu ke-4 Maret, ujian susulan digelar minggu ke-4 Maret dan SMP/MTs minggu ke-1 April.

Sedangkan bagi siswa yang tidak lulus ujian utama atau susulan dapat mengikuti ujian ulangan, yakni SMA/MA di minggu ke-2 Mei 2010 dan SMP/MTs minggu ke- 3 Mei 2010. Aturan tersebut berdasarkan Permendiknas Nomor 75/2009 tentang ujian nasional SMP/MTs/SMPLB/- SMA/MA/SMALB.

Adalah benar kata MA dalam putusannya dan sementara kalangan yang menilai ujian itu tidak patut karena belum meratanya kualitas pendidikan. Bicara standardisasi kualitas pendidikan berarti menyangkut standarisasi kualitas guru. Kualitas guru tak elak tergantung sejauhmana pemenuhan pemerataan insfrastruktur pendidikan.

Problem standardisasi itulah yang kemudian dibaca menjadi faktor munculnya genjala disorientasi ujian yang cukup masif. Kalau pun toh pemerintah sudah berinisiatif  menggelontorkan aturan yang diyakini menjadi jembatan emas problem yang dimunculkan ujian, tak lebih dari tambal sulam yang mudah koyak atau sobek.

Baju, gaya dan mode memang baru, tapi isi dan susbtansi aturan tersebut tidak beranjak dari karakternya yang birokratis-sentralistik. Aspek desentralisasi, demokratisasi dan spirit pemberdayaan masih terabaikan.  

Bila mekanisme hukum formal sesuai keputusan MA dipaksakan dalam kebijakan alias UN ditiadakan, dampaknya yang ditimbulkan tidaklah sedikit. Oleh karenanya perlu ada mekanisme dan prosedural moral tanpa terlepas dari amanat putusan MA dan kritik masyarakat. Tentu semua tidak ingin menutup mata dari hiruk-pikuk persiapan siswa, guru, sekolah dan orang tua dalam menyambut ujian tersebut.

Pada konteks ini, keterlambatan putusan MA juga menjadi problem tersendiri. Sebab, jika jauh-jauh hari putusan itu diwartakan, penyesuaian sikap terhadap ujian akan lebih bijak dan arif. Akan lebih menjadi teka-teki dan misterius lagi jika ketidakjelasan ujian itu menunggu peninjauan kembali pemerintah.

Sepakat atau tidak, meniadakan ujian tahun ini sama saja merupakan pilihan radikal yang berpeluang merenggangkan relasi pemerintah, MA, dan masyarakat yang bukan tidak mungkin merembet pada ranah lainnya.

Persoalan ujian nasional seyogianya tetap dijalur kebijakan pendidikan yang tidak disusupi kepentingan-kepentingan politis. Masyarakat, lembaga MA, dan pemerintah dituntut mengawal dalam koridor netraliats dan kemuliaan pendidikan tanpa harus digiring ke ranah politik.

Opsi yang dirasa rasional untuk dikedepankan adalah terus mengawal dan menghantar ujian. Sebab, UN bukan kali pertama atau kedua. Keterlanjuran ujian yang sudah dalam posisi mapan dengan segala perangkat atau sistem yang ada sulit dihilangkan hanya dengan waktu beberapa jam, melalui putusan MA. Artinya perlu penyesuaian dan perlu ada tenggat waktu dalam menggulirkan putusan MA tersebut.

Lebih tepatnya, penulis memberi istilah dengan UN bersyarat. Kesempatan penyelengaraan UN diberikan kepada pemerintah sekali lagi dengan catatan agar dosa-dosa UN tidak terulang lagi. Bila dalam kesempatan ini UN tetap menyisakan persoalan, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menyelenggarakannya.

Bagaimana pun, ujian penting sebagai wahana kompetensi, kompetisi dan pembuktian terus menerus akan kualitas dan mutu pendidikan. Hanya saja ujian bukanlah satu-satunya variabel penentu pendidikan. Penyelenggaraan ujian disyaratkan terlebih dahulu adanya pemerataan dan keadilan kualitas pendidikan.

 Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi, pilihan bijak adalah UN bersyarat atau tidak sama sekali hingga Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan BSNP memenuhi kebutuhan HAM di bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas guru. (10)               

— Nur Aisyah, alumnus Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
Wacana Suara Merdeka 4 Desember 2009