03 Desember 2009

» Home » Kompas » Reformasi Aparat Hukum

Reformasi Aparat Hukum

Pada 23 November Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyikapi rekomendasi Tim Delapan yang dibentuknya. Sebelumnya, tim telah menyelesaikan verifikasi fakta dan proses hukum Wakil Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit-Chandra setelah memanggil sejumlah orang yang terkait.
Meski tidak tegas, penyikapan Presiden tak melenceng dari hasil rekomendasi Tim Delapan, yaitu penghentian proses hukum Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah, reformasi institusi, dan reposisi personel penegak hukum. Penyikapan ini sekaligus agak meredakan silang sengketa Polri dan Kejaksaan Agung dengan KPK.


Langkah nyata apa yang harus direspons dan ditempuh pimpinan Polri, Kejagung, dan KPK setelah Presiden menyikapi hasil rekomendasi Tim Delapan?
Wewenang dan korupsi
Kita telah ditunjukkan pertalian antara wewenang (baca: kekuasaan) dan korupsi. Seperti diungkap Lord Acton ”kekuasaan cenderung korup”, maka tiap orang yang mempunyai wewenang selalu terbuka untuk bertindak dan berperilaku korup.
Terkait aparat penegak hukum, Presiden mengakui sepak terjang mereka yang disebut ”mafia hukum” atau ”mafia peradilan” yang merugikan orang- orang yang mencari atau mengharapkan keadilan. Inilah yang memerosotkan citra dan kepercayaan publik atas penegak hukum.
Para mafia bermain-main dengan kasus hukum yang berujung aliran duit pada personel penegak hukum. Dalam proses olah kasus, mereka bisa melakukan pemerasan, menerima uang sogokan, atau fasilitas lain dan menjerat pihak yang lemah atau ditekan pihak yang lebih kuat.
Modusnya seperti menahan, mengancam, dan memeras tersangka, skenario sangkaan atau dakwaan dan persidangan sesat, penawaran biaya, memakai jasa calo, melemahkan sangkaan dan dakwaan untuk tujuan membebaskan atau mengurangi hukuman, mengatur jaksa dan hakim, menjerat pesaing, hingga modus memetieskan kasus.
Dengan wewenang itu, ada peluang untuk bertindak semaunya. Paling banyak memang berurusan dengan duit karena mereka ingin memupuk kekayaan melalui wewenang atau jabatan yang bisa mendatangkan duit dari orang yang tersangkut hukum.
Sangkaan atas Bibit-Chandra dan silang sengketa yang menyertainya adalah puncak maraknya ”mafia peradilan”. Belum lagi heboh peran Anggodo Widjojo yang memperburuk citra Kejagung dan Polri. Tak berarti KPK adalah lembaga bersih, apa pun prestasi yang telah diraih dalam memberantas korupsi.
Reformasi institusional
Pelanggaran hukum atau tindak pidana dilakukan oknum penegak hukum yang dapat meruntuhkan kepercayaan publik. Dari keprihatinan umum dan sikap yang disampaikan Presiden itu, aparat penegak hukum harus segera menggulirkan reformasi.
Pertama, langkah lebih cepat ditunjukkan Polri dengan memutasi pejabatnya. Apa pun argumen yang dikemas, langkah ini sebagai respons reposisi pejabat atau personel meski jalan reformasi institusional yang akan ditempuh lebih panjang.
Polri perlu menata ulang lembaganya di pusat dan di daerah agar berkurang perilaku personel yang melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang, memperkuat profesionalisme hukum khususnya reserse kriminal, serta komitmen atas nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Selain itu, berlakukan sanksi bagi pelanggar disiplin, kode etik, dan prosedur. Pelanggar hukum harus diproses hukum tanpa diskriminasi.
Kedua, terkesan Kejagung lebih lambat dalam merespons reposisi personel meski telah ada yang menyatakan mundur. Tak hanya dalam pertalian dengan rekaman Anggodo, tahun lalu sempat dihebohkan tertangkapnya Urip Tri Gunawan yang menangani BLBI di rumah pengusaha Sjamsul Nursalim.
Begitu juga Kejagung perlu menjelaskan apa, bagaimana, dan hasil yang akan dicapai maupun berapa lama untuk melaksanakan reformasi dalam institusinya, sebelum meminta anggaran Rp 10 triliun yang dibutuhkan sebagaimana terungkap dalam dengar pendapat dengan Komisi III DPR. Amat penting melakukan apa yang direncanakan secara terukur dan efektif.
Ketiga, dengan wewenang yang besar—disebut sebagai superbody—KPK akan lebih gampang terjerumus kubangan korupsi, pemerasan, atau penyuapan. Dua pimpinan telah direkomendasi untuk ditutup kasusnya meski tak jelas produk proses hukumnya. Dan seorang ketuanya didakwa dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Mengingat wewenangnya yang besar dan penanganan kasus di atas Rp 1 miliar, KPK harus diperketat. Sekali tersandung korupsi atau sejenisnya, segera diakhiri jabatannya, termasuk para pegawainya yang bermain api dengan makelar kasus. Apalagi segera dibentuk pengadilan tindak pidana korupsi di daerah-daerah.
Memang tak gampang mengangkat aparat penegak hukum dari kubangan korupsi yang selama ini melumuri institusinya baik karena struktural maupun kultural. Dibutuhkan komitmen kuat dan langkah berani untuk melakukan gebrakan dan membongkar berbagai perintangnya.
Begitu juga revisi sejumlah UU yang relevan seperti UU Antikorupsi, Kepolisian, KPK, dan komisi negara, yaitu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, dan pihak yang mengawasi KPK. Karena pada dasarnya, banyak orang mendukung tiap langkah konkret dalam memberantas korupsi.

HENDARDIKetua Badan Pengurus SETARA Institute
Opini Kompas 3 Desember 2009