03 Desember 2009

» Home » Media Indonesia » Free Trade Area yang Berkeadilan

Free Trade Area yang Berkeadilan

Gelimang kekayaan alam tidak menjamin bangsa ini hidup dalam suasana berkecukupan. Belum lama berselang, publik dihebohkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menduga ada kerugian Rp750 triliun per tahun dalam kontrak kerja sama jual-beli liquefied natural gas (LNG) Tangguh ke Provinsi Fujian, China. Akhir Februari 2009, nalar publik kembali tergugah kontroversi Agreement Establishing ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZ-FTA). Perjanjian kerja sama perdagangan tersebut ditandatangani, menyusul serangkaian perjanjian sebelumnya yang juga dipenuhi kontroversi.


Idealnya, sebuah kerja sama ekonomi menghasilkan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya. Secara khusus, FTA mengintegrasikan jalur ekonomi antarnegara yang mereduksi berbagai rintangan demi mempelancar pertukaran barang. Potensi ekonomi yang memiliki nilai jual diperdagangkan dengan menghilangkan bea masuk. Selain nilai spesialis barang dagangan yang memiliki nilai tawar tinggi, FTA menjamin adanya diaspora tenaga kerja dan peningkatan kapasitas bagi negara-negara yang kurang memiliki sumber daya pengelola yang baik.
Meski demikian, tidak semua perjanjian perdagangan membuahkan hasil signifikan. Alih-alih menghasilkan keuntungan berlimpah, taraf hidup yang meningkat, sumber daya manusia yang semakin baik atau penganguran yang semakin terkikis, FTA justru mengebiri potensi bangsa sendiri. Di lain pihak, keuntungan hanya dinikmati segelintir orang yang justru mengemban amanah kepentingan publik. Sementara negara lain memiliki ruang gerak yang begitu luas untuk memanfaatkan kelemahan nilai tawar produk dalam negeri.
Tidak lebih berbeda dari wajah janus neoliberalisme. Wajah ramahnya di satu sisi mengusung kebebasan merayakan produk lokal yang siap bersaing melintasi batas teritorial. Wajah buram pun tampak tatkala FTA hanya berfokus pada agregasi, bukan distribusi kesejahteraan. Demi meloloskan tujuannya, segala hal yang berbau regulatif dipandang sebagai penghambat kebebasan.

AANZ dan AC-FTA
Saat ini Indonesia sedang melakukan perundingan bilateral dengan Australia dan Selandia Baru terkait ratifikasi terhadap AANZ. Banyak harapan yang dicita-citakan dari terwujudnya proses tersebut. Namun, harapan tersebut tidak akan berbuah manis ketika dalam praktiknya kedua negara itu memberi konsesi yang 'sangat sedikit' dan justru meminta fasilitas yang begitu besar. Indonesia diharuskan menghapus bea masuk daging sapi, susu, produk pertanian serta 1.409 pos tarif di sektor otomotif dari Australia dan Selandia Baru hingga 2020. Sementara itu, kedua negara hanya menawarkan 10 beasiswa doktoral dan kesempatan bagi 100 tenaga kerja Indonesia di musim liburan.
Indonesia memperoleh penawaran lain berupa 0 persen bea masuk untuk produk tekstil dan garmen yang justru memiliki pangsa pasar yang kecil di negara tersebut. Impor daging sapi dan susu serta produk-produk pertanian bukan tidak mungkin akan melesukan gairah ekonomi dalam negeri di sektor peternakan dan pertanian. Sebab komoditas pertanian dalam negeri (tepung terigu, jagung, kedelai, wortel dan kentang) justru dikuasai Australia. Atas dasar itu, tidak salah jika Sondang Anggraini, Direktur Kementerian Perdagangan ASEAN, Asia Timur, Australia, Pasifik, Amerika Selatan dan Utara, menyatakan besaran fasilitas yang diberi Indonesia, hanya diganti 'kacang' oleh Selandia Baru dan Australia.
Dalam perjanjian FTA yang lainnya, Comprehensive Agreement on ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), juga berbuah hasil yang sama. Awalnya, perjanjian perdagangan ini memberi harapan besar bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Hal itu terlihat dalam misi ACFTA yang bertujuan meningkatkan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea masuk, meningkatkan kerja sama investasi serta capacity building. Belum lagi jika melihat kenyataan bahwa China berpenduduk terbesar dan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Namun, sejak ditandatangani pada 4 November 2004 dan beroperasi pada awal 2005, muncul implementasi poin yang mengusik akal sehat, yakni Early Harvest Program (EHP). Program ini bertujuan mempercepat implementasi penurunan tarif barang yang mencakup hewan hidup, daging, dan produk daging konsumsi, ikan, produk susu, pohon hidup, sayuran, dan buah-buahan konsumsi serta kacang-kacangan. Alhasil, bukannya mengintegrasikan produk dalam negeri ke pasar internasional, pasar dalam negeri justru 'diwabahi' buah-buahan dan kacang impor dari China.
Pemerintah bahkan tak berdaya ketika pada pertengahan 2006 'Negeri Tirai Bambu' itu hanya membolehkan Indonesia mengimpor manggis, duku dan beberapa jenis buah yang tumbuh di iklim tropis. Mangga, jeruk, dan pepaya yang merupakan produk unggulan dan bagian dari EHP, justru dilarang. Klarifikasi atas penolakan tersebut pada rapat konsultasi bilateral RIĆ¢€“RRC di Hanoi, Vietnam, pun tidak memperoleh jawaban yang memuaskan. Bisa dibayangkan, betapa rendahnya posisi Indonesia di hadapan China saat ACFTA diberlakukan secara menyeluruh pada awal 2010.

Menakar keuntungan
Tidak sulit menentukan sejauh mana sebuah perjanjian memiliki nilai signifikan. FTA adalah produk dari sebuah kebutuhan untuk mengintegrasikan produk dalam negeri di tengah percaturan global. Konsensus yang mengikat sejumlah pihak tersebut sejatinya berlangsung secara transparan di ranah publik. Karena nilai untung dan rugi yang hendak diperdagangkan adalah milik dan kepentingan publik. Keuntungan dan kerugian selayaknya bisa diakses segenap komponen masyarakat, khususnya bagi mereka yang berkepentingan (stakeholders) di dalamnya.
Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan harus menjalin opini yang sama dengan Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta asosiasi-asosiasi kemasyarakatan. Tidak ada argumentasi yang lebih dominan atas yang lain, meski pada praktiknya Depdag berdiri sebagai ujung tombak dalam setiap proses eksekusi kebijakan. Mekanisme kebijakan publik pun memiliki lembaga legislatif (DPR) yang berfungsi sebagai lembaga konsultasi publik dan mengawasi kinerja pemerintah. Berbagai kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat sepatutnya melalui mekanisme dialogis di ruang parlemen.
Tahun 2010 tinggal menghitung hari. Implementasi ACFTA secara menyeluruh tentu sangat merugikan kepentingan bangsa. Impor produk China akan mengancam produk dalam negeri. Tekstil, alas kaki berupa sepatu dan sandal, pakaian, keramik, makanan dan minuman, besi dan baja, petrokimia dan elektronik buatan China akan membanjiri etalase industri dalam negeri. Imbasnya, bea masuk 0% dengan harga super murah tersebut akan menambah potensi pengangguran. Sebaliknya, jangan pernah berharap produk ekspor dalam negeri akan berbuah manis di China. Sebab ekspor buah-buahan tropis dalam negeri akan sulit bersaing dengan Thailand yang lebih dahulu menyuplai China dengan produk yang sama.
Pada akhirnya, berbagai perjanjian dan kerja sama perdagangan harus melalui mekanisme yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Sebab manfaat dan kerugian tidak hanya menimpa segelintir orang, tapi seluruh komponen bangsa. Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah, FTA seharusnya tidak boleh luput dari perhatian DPR. Jika perjanjian tersebut mengancam perekonomian, sangat memungkinkan untuk diuji, direvisi, bahkan dicabut. Selain itu, yang mutlak diperlukan saat ini adalah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan. Agar di masa yang akan datang, komoditas ekonomi dalam negeri tidak menjadi objek perahan segelintir orang.

Oleh Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi VI DPR
Opini Media Indonesia 3 Desember 2009