03 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Polisi dan Pemberantasan Mafia Hukum

Polisi dan Pemberantasan Mafia Hukum

Perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti mafia hukum. Jadi, yang pertama sekali harus dibenahi adalah polisinya.

SEPERTI biasanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan ide segar, yang sebenarnya masih belum teruji kesahihannya. Baru-baru ini  bergulir gagasan tentang perlunya satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum. Personel satgas ini harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.


 Jika bicara dengan menyebut  penegak hukum maka pintu pertama yang harus dilalui adalah lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima, keterlibatan polisi begitu penting. Hal itu mengingat karena semua aspek melibatkan atau bisa berkaitan dengan polisi.

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengernyitkan dahi membacanya. Namun jika mencermati UU Kepolisian baik yang lama (UU No 13 Tahun 1961), lebih-lebih yang baru ( UU No 2 Tahun 2002), baru orang akan memercayainya.

Mengapa? Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umumnya.

Di situ disebutkan lembaga tersebut adalah alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenangnya.

Dalam sistem hukum nasional, ketika berbicara soal penegakan hukum, korps baju cokelat tersebut juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa. Bukan karena dibikin istimewa melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakan hukum tersebut.

Menurut Satjipto Rahardjo (177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang  ”tidur” maka polisi itu hukum yang hidup.

Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara, bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan, dan sebagainya.

Namun baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu, semua wewenangnya. 

Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa polisi dalam satu perkara menahan tersangka, sementara dalam perkara yang lain  tidak mengenakan tindakan apa-apa.

Bisa dilihat dalam perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apa pun untuk meminta menahan Anggodo membuat polisi bergeming. 

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku di sini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multitafsir.

Juru Tafsir

Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai  juru tafsir dan  transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut. Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi  memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan.

Meski pun faktanya seringkali  berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi.

Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan.

Ini  sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau ”kreativitas” polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Penulis Jerome H Skolnick (178:1988), memakai istilah justice without trial untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut.

Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif  dengan kenyataan sehari-hari, polisi  tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian  melainkan  pada hakikatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan.

Dalam kasus yang  dihadapi oleh polisi ketika  aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur, kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus.

Sebagai contoh kasus ini adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum, terutama advokat,  menentang mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor.

Sebab meski KUHAP tidak mengatur jika  seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor, seringkali orang tersebut ditahan.

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut.

Apa yang dilakukan  dan tidak dilakukan oleh polisi akan memengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi.

Kerja polisi yang keras akan menghasilkan  perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti mafia hukum. Jadi, yang pertama sekali harus dibenahi adalah polisinya.

— Muhammad Taufiq SH MH, advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS
Wacana Suara Merdeka 4 Desember 2009