03 Desember 2009

» Home » Republika » Face Off DPR

Face Off DPR

Dorongan kuat untuk menyelidiki skandal besar Bank Century akhirnya membuat DPR menyetujui penggunaan hak angket. Fraksi Partai Demokrat yang merupakan tulang punggung pendukung pemerintahan pun telah menyatakan dukungan seratus persen.

Namun, dukungan fraksi terbesar di DPR ini justru menimbulkan kecurigaan tentang adanya agenda terselubung untuk menggagalkannya dari dalam. Sebab, pada saat awal munculnya inisiatif penggunaan hak angket, FPD beretorika dengan alasan menunggu audit BPK. Padahal, dari banyak aspek, bailout Bank Century jelas-jelas menunjukkan kejanggalan. Terlebih, baru pada petang hari, 30 November 2009, tanda tangan dukungan anggota FPD diserahkan kepada Tim 9 (tim yang beranggotakan wakil dari sembilan fraksi di DPR pendukung penggunaan hak angket).

Langkah DPR untuk menggunakan hak angket untuk menyelidiki skandal ini adalah langkah yang sangat tepat. Sebab, skandal ini berkaitan dengan uang negara dengan jumlah cukup fantastis, yakni 6,7 triliun. Jumlah inilah yang jauh-jauh hari membuat Jusuf Kalla yang pada saat itu masih menjabat sebagai wakil presiden menyebutnya sebagai perampokan besar-besaran terhadap uang negara. Perampokan besar-besaran inilah yang menyebabkan Indonesia selalu mengalami kekurangan anggaran sehingga tidak mampu membuat fasilitas-fasilitas publik yang memadai. Banyak sekolah yang roboh, infrastruktur ekonomi yang rusak, dan berbagai kekurangan lain. Padahal, Indonesia memiliki kekayaan yang sangat melimpah. Tapi, kekayaan itu disabotase oleh elite penyelenggara negara sendiri sehingga dalam negara yang kaya ini terdapat banyak penduduknya yang miskin.

Namun, persetujuan DPR untuk menggunakan hak angket dan membentuk pansus angket Bank Century belumlah cukup. Pembentukan pansus angket, tapi tidak menghasilkan sesuatu yang signfikan terhadap objek yang diselidiki untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dan kebijakan yang bisa menyelamatkan harta kekayaan negara, tentu berarti sia-sia belaka.

Sebelumnya, rakyat sudah berkali-kali disuguhi cerita tentang penggunaan hak interpelasi dan angket di DPR yang kemudian berakhir dengan hasil hanya berupa butir-butir rekomendasi yang jauh dari jantung persoalan. Tidak ada hasil signifikan dari proses penyelidikan yang menggunakan uang rakyat dengan jumlah tidak sedikit. Singkatnya, biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan proses interpelasi ataupun angket tidak sebanding dengan hasil dari penggunaan hak istimewa anggota DPR itu. Cerita sukses penggunaan hak angket hanya terjadi pada tahun 2001 yang dalam waktu relatif sangat singkat menghasilkan temuan yang kemudian digunakan sebagai senjata untuk melengserkan presiden Abdurahman Wahid. Namun, ukuran keberhasilan pansus angket bukanlah pelengseran pejabat-pejabat tertentu, melainkan, dalam konteks kasus korupsi, adalah menyelamatkan negara dari kebangkrutan.

Cerita gagal tentang penggunaan hak angket DPR adalah penggunaan hak angket dalam kasus kenaikan harga BBM. Walaupun awalnya kenaikan harga BBM dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius yang diakibatkan oleh penyelewengan manajemen energi nasional, angket ini berakhir mengecewakan. Hak angket yang diajukan pada Juni 2008 ini hanya menghasilkan beberapa rekomendasi, di antaranya revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, meminta pemerintah melakukan negosiasi ulang atas kontrak kerja sama migas di Blok Tangguh dan Cepu, dan meminta pemerintah meninjau ulang keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Rekomendasi ini tentu saja tidak sesuai harapan untuk menyelesaikan persoalan yang sesungguhnya. Padahal, karena penyelewengan pengelolaan tersebut, negara mengalami kerugian yang sangat besar.

Kejadian demi kejadian penggunaan hak angket yang berakhir mengecewakan ini membuat masyarakat menjadi semakin tahu tentang karakter DPR dan membuat citra DPR menjadi semakin jatuh. Di mata rakyat, wajah lembaga tinggi negara ini menjadi semakin buruk. Karena itu, berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei tentang persepsi korupsi, DPR termasuk lembaga yang dipersepsikan paling korup, melampaui lembaga peradilan dan kepolisian yang beberapa waktu lalu ditelanjangi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena skenario kriminalisasi pimpinan KPK. Kegagalan banyak pansus angket di DPR membuat rakyat, terutama elemen pro antikorupsi, selalu melakukan pengawasan dan pengawalan lebih ketat kepada lembaga yang seharusnya menjadi pengawas lembaga eksekutif ini. Sebab itu, kali ini para anggota DPR tidak bisa main-main lagi.

Mereka harus benar-benar serius menangani skandal Bank Century dengan cara menunjukkan hasil yang memang merupakan pokok permasalahan. Ada beberapa alasan yang membuat anggota DPR, terutama anggota pansus angket Bank Century ini nanti, harus bekerja serius dan tahan godaan. Pertama, DPR adalah representasi rakyat. Sebab, lembaga ini diisi oleh orang-orang yang dipilih 'secara langsung' oleh rakyat. Kecenderungan kuat rakyat saat ini adalah melakukan penyelidikan secara tuntas skandal Bank Century untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab dan ke mana saja uang rakyat dalam jumlah besar itu mengalir.

Kedua, skandal Bank Century menyangkut uang rakyat dalam jumlah yang tidak sedikit. Bahkan, skandal ini sering disebut 'skandal BLBI jilid II'. Skandal Buloggate yang membuat Gus Dur harus lengser dari tahta kepresidenan pada tahun 2001 lalu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan skandal Bank Century. Buloggate hanya terkait dengan uang Yanatera Bulog hanya sekitar 35 miliar, sedangkan skandal Bank Century sebesar hampir dua ratus kali lipatnya.

Ketiga, kinerja pansus angket Bank Century mempertaruhkan citra DPR. Jika pansus tidak mampu bekerja optimal sebagaimana kinerja pansus-pansus angket sebelumnya, ketidakpercayaan rakyat kepada DPR akan semakin tinggi. Wajah DPR juga akan menjadi lebih bopeng lagi. Sebaliknya, jika DPR mampu bekerja dengan baik dan optimal, penggunaan hak angket ini akan menjadi momentum yang mampu mengubah total wajah (face off) DPR. Sebab, mayoritas atau sekitar 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 adalah pendatang baru. Karena itu, jika mampu menampilkan kinerja yang berbeda, publik akan menilai bahwa DPR periode sekarang lebih baik daripada DPR periode sebelumnya.

Rakyat Indonesia menunggu, apakah anggota DPR baru hasil Pemilu 2009 didominasi oleh orang-orang yang memiliki komitmen pengabdian yang lebih baik kepada rakyat atau orang-orang yang hanya mengabdi kepada kekuasaan atau uang. Waktulah yang akan menentukan. Walaupun kualitas anggota DPR periode sekarang sering dikritik mengalami penurunan, rakyat tetap berharap mereka memiliki keberpihakan yang lebih baik kepada rakyat, bangsa, dan negara. Selamat berjuang! Wallahualam.


Opini Republika 3 Desember 2009