03 Desember 2009

» Home » Kompas » Angket Century dan Bangsa Jin

Angket Century dan Bangsa Jin

Di harian Kompas (2/11/2009) saya kemukakan, diperlukan 67 kali gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter di Sumatera Barat agar dana Rp 6,7 triliun keluar dari rekening pemerintah.
Pemerintah hanya menyiapkan dana tanggap darurat Rp 100 miliar. Jika dipikirkan dampak sistemik dari gempa itu, bukan hanya ekonom yang sepakat atas kerusakan ekonomi, tetapi juga budayawan, terkait artefak-artefak kebudayaan.

 

Sementara ”nasabah” negara (baca: warga negara) yang terkena dampak gempa mencapai 1,5 juta lebih. Yang terkena, selain sistem perbankan, juga urat nadi perekonomian, bangunan sekolah, rumah ibadah, ratusan manusia terkubur hidup-hidup, dan buku-buku menjadi bubur. Gempa Sumbar kini kehilangan relevansinya, ditutupi persaingan politik elite. Gejala tidak beres dimulai saat dana lauk-pauk tidak sampai ke tangan warga.
Berbeda dengan AS. Akibat badai Katrina di New Orleans, Presiden George W Bush minta kepada Kongres dana tahap kedua 51,8 miliar dollar AS setelah menggelontorkan 10,5 miliar dollar AS pada tahap pertama (VoA, 8/9/2005).
Ini menunjukkan, bagaimana dalam keadaan darurat, sistem bekerja cepat bagi pihak yang paling membutuhkan. Kedaruratan dan dampak sistemik dari bencana alam benar-benar dipikirkan meski badai krisis ekonomi juga sedang mengancam. Warga negara sebagai ”nasabah” konstitusi mendapat perhatian maksimal.
Bank Century
Benarkah krisis ekonomi mengancam bila Bank Century tidak digelontor dana Rp 6,7 triliun? Analisis dampak sistemik dari ketiadaan kucuran dana pemerintah itu dikerjakan oleh para analis keuangan dan pejabat negara di ruangan tertutup dalam rapat-rapat menjelang pagi.
Benarkah tujuan penggelontoran dana adalah nasabah yang hingga kini sebagian belum dibayar hak-haknya? Ataukah kebijakan itu adalah jalan pintas untuk menutupi simulasi sistem perbankan? Di sinilah letak pentingnya hak angket DPR, yakni memeriksa pekerjaan para pengambil keputusan.
Kalaupun itu domain ekonom, seberapa banyak ekonom dari beragam aliran dilibatkan sebelum keputusan diambil? Saat penggelontoran menjadi kebijakan, ranah politik langsung tersentuh. Maka, jika ada politisi mengatakan, ”Jangan politisasi hak angket”, jawabannya sederhana, ”Mengapa dampak sistemik Bank Century juga dipolitisasi dalam bentuk angka?” Keputusan penggelontoran dana sebesar itu, dalam kondisi sedarurat apa pun, layak diurai hingga setiap sen uang yang dipakai.
Bagaimanapun, penggunaan dana Rp 6,7 triliun untuk sebuah bank nasional adalah masuk kategori besar. Dana lebih besar adalah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias pascatsunami. Untuk APBN Perubahan 2005, dana itu mencapai Rp 9,48 triliun yang juga datang dari luar negeri. Untuk dampak sistemik akibat kematian lebih dari 200.000 jiwa dan keadaan darurat yang melanda lebih dari empat juta penduduk, dana itu pun tergolong besar.
Perbedaannya, dana tsunami dan gempa bumi dengan mudah diketahui. Siapa pun bisa menghitung ulang jumlah korban manusia atau bangunan yang hancur. Penggunaan dana juga bisa dilacak meski ada kebocoran di sana-sini. Berbeda dengan dana Bank Century, setiap orang bisa tahu angka fantastis itu. Namun, ketika diselidiki ke mana perginya, beragam aturan menutupi. Dana Bank Century seperti Jin Aladin yang hanya terlihat asap saat lampu wasiat digosok.
Hak angket
Penggunaan hak angket adalah upaya bangsa untuk menjaga rasionalitas dalam kehidupan bernegara. Kita bukan bangsa jin yang bebas menyulap angka. Tingkatan manusia lebih tinggi dari jin. Jika ada rambu-rambu hukum yang menutupi larinya dana itu, rambu-rambu hukum tersebut harus diganti. Produk hukum baru layak dibuat. Jangan sampai ada yang membaca mantra, ”Sim Salabim”.
Pidato Presiden Yudhoyono tegas mengatakan, tidak boleh ada fitnah yang mengatakan dana itu mengalir kepada partai politik atau tim kampanye nasional pasangan tertentu dalam pemilu. Perusahaan perkebunan saja bisa mengetahui, Minah mengambil tiga biji kakao. Dengan Rp 6,7 triliun, berapa biji kakao bisa dibeli dan diberikan kepada Minah? Kalaulah uang itu dijahit dalam bentuk pecahan Rp 1.000, berapa kali mengelilingi bumi ke bulan?

Indra J PiliangDewan Penasihat The Indonesian Institute dan Mensesneg Kabinet Indonesia Muda
Opini Kompas 3 Desember 2009