15 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Cara Baru Mengemas Dawet Ayu

Cara Baru Mengemas Dawet Ayu

SUDAH sejak lama makanan tradisional kalah pamor dengan makanan siap saji.

Tapi berkat acara kuliner yang kini marak di televisi, juga kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan makanan, makanan dan minuman tradisional kembali digemari.

Masyarakat yang gemar mengonsumsi makanan siap saji perlahan-lahan beralih ke makanan tradisional. Karena itulah, potensi pengembangan makanan tradisional sangat terbuka.

Dawet ayu sebagai salah satu minuman khas Banjarnegara juga mengalami dampak perubahan selera masayarakat. Penjual dawet memiliki kesempatan lebih luas untuk memasarkan barang dagangannya.

Namun karena kebanyaakan dawet ayu masih dipasarkan dengan cara tradisional, distribusinya belum mampu menembus pasar lebih luas. Karena itulah muncul gagasan untuk mengemas dawet ayu menjadi minuman kemasan, bahkan berkarbonasi (soft drink).

Bagi warga Banjarnegara, dawet telah berkembang menjadi simbol budaya. Keberadaannya tidak hanya diartikan sebagai minuman, melainkan juga menjadi simbol budaya.

Kedekatan dawet ayu dengan masyarakat penikmatnya telah melampaui hubungan harfiah sebagai manusia dan minuman, tetapi juga sebagai manusia dan produk budayanya. Karena itulah di alun-alun Banjarnegara dibangun prasasti dawet ayu sebagai pepeling.

Kedekatan warga dengan produk budaya berupa dawet ayu terungkap melalui pelajaran atau keyakinan warga terhadap filosofi pada dawet ayu. Salah satu ajaran dawet ayu terdapat pada tokoh punakawan Semar dan Gareng yang dipakai sebagai ornamen pada keranjang atau gerobak dawet.

Nama keduanya diakronimkan menjadi mareng, yang berarti kemarau. Pedagang dawet ayu yang diuntungkan dengan kemarau berharap selalu cuaca selalu panas agar dagangannya laris.
Soft Drink Gagasan mengolah dawet ayu menjadi soft drink sebenarnya telah lama mengemuka. Sejak dulu dawet ayu dikemas secara tradisional. Umunya dipasarkan dengan keranjang atau gerobak dari tempat satu ke tempat lain.

Cara penyajiannya juga sangat sederhana, pedagang menyajikannya jika ada orang yang pesan. Cara seperti ini tidak memungkinkan dawet ayu didistribusikan luas karena mudah basi. Akibatnya, selama puluhan tahun dawet ayu hanya menjadi industri rumahan skala kecil, perkembangannya sangat lamban.

Pengemasan memang masalah klasik dalam industri panganan. Industri makanan skala kecil dibuat bingung karena kemasan menjadi salah satu syarat utama distribusi.

Padahal para pelaku usaha makanan sebenarnya sudah cukup kreatif menciptakan berbagai produk olahan. Industri makanan rumahan semacam ini punya potensi besar. Produk mereka cukup kompetitif, bahkan dibandingkan berbagai jajanan saat ini.

Dawet ayu dibuat dari cendol, santan, gula jawa, buah, pewarna alami, dan es. Pedagang dawet lebih banyak menggunakan pewarna dari daun pandan.

Demikian pula buahnya,  pedagang lebih menggunakan buah asli seperti durian atau nangka, bukan sari buah. Karena dibuat dari bahan alami dawet ayu relatif lebih sehat dan bergizi.

Bahan alami, meskipun sehat, lebih mudah kedaluwarsa. Segelas dawet ayu berada dalam kondisi terbaiknya hanya sekitar satu jam setelah disajikan.

Lebih dari itu, cendol akan mengembang sehingga mengurangi cita rasanya. Jika dibiarkan terlalu lama santan juga bisa menggumpal.

Keterbatasan dawet ayu yang mudah basi sebenarnya bisa diakali dengan proses fermentasi.

Dengan proses ini dawet dapat dikemas agar bisa lebih tahan lama dan didistribukikan lebih luas. Sebuah riset kecil membuktikan dawet ayu dapat difermentasi sehingga lebih awet. Dengan demikian, masalah distribusi yang banyak dirasakan pedagang dapat diatasi.

Namun, agar fermentasi dawet ayu bisa sempurna, tak hanya tahan lama tapi juga memiliki cita rasa, diperlukan riset lebih panjang. Tidak hanya untuk mencari cara penyajian paling mudah dan murah, riset juga diperlukan untuk mengukur ketahanan dawet ayu hasil fermentasi.

Termasuk mengukur takaran masing-masing bahan dan kemungkinan pembusukan.

Sebelum dawet ayu beberapa jenis makanan olahan pernah dihasilkan pengusaha makanan di Banjarnegara.

Di Bantarwaru kecamatan Madukara, salak pondoh diolah menjadi minuman segar semacam nata de coco. Produk minuman ini pernah dipamerkan dalam Banjarnegara Expo empat tahun silam.

Sedangkan di Batur, daerah dataran tinggi Dieng, masyarakat juga mengemas carica dalam kemasan sehingga lebih mudah dipasarkan. Kedua makanan olahan ini sebenarnya dapat dijadikan contoh agar dawet ayu dapat bersaing dengan produk minuman lain.

Tak kalah penting, produk olahan dawet ayu juga harus memiliki merk dagang. Selanjutnya, pengusaha menjalin kerjasama dengan distributor makanan agar bisa merambah di pasaran.

Rasanya tidak mustahil jika di kemudian hari dawet ayu dipasarkan di pusat perbelanjaan modern seperti mal dan supermarket. Bahkan jika merambah pasar ekspor, tenaga kerja Indonesia di Amerika Serikat atau Eropa bisa menikmati dawet ayu tak jauh dari tempat kerja mereka. Sangat mungkin. (10)

—Surahmat, pegiat Komunitas Nawaksara Banjarnegara
Opini Suara Merdeka 16 November 2009