15 November 2009

» Home » Okezone » Ibnu Rusyd Memandang Persoalan KPK

Ibnu Rusyd Memandang Persoalan KPK

Sekitar abad ke-11 M yang lalu, dunia Islam dihebohkan oleh persoalan filsafat seperti tentang hakikat kehidupan setelah kematian, hakikat pengetahuan Tuhan terhadap segala sesuatu, dan hal-hal metafisik lain.

Persoalan ini menyedot hampir semua komunitas umat Islam. Bahkan tidak jarang daya ledak kontroversi persoalan ini masih "mengguncang" dunia Islam hingga sekarang. Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi salah satu tokoh utama dalam persoalan filsafat di atas. Imam Al-Ghazali mengkritik, bahkan mengafirkan, para filosof (terutama dalam persoalan seperti di atas) lantaran pandangan mereka dianggap menyalahi ketentuan agama sebagaimana yang dipahami oleh logika umum.
Buku berjudul Tafatut Al-Falasifah yang dikarang oleh Imam Al-Ghazali dapat menggambarkan pandangan kritis beliau terhadap para filosof. Ibnu Rusyd yang tak lain adalah filosof terkemuka setelah Imam Al- Ghazali mengoreksi dan mengkritik pandangan-pandangan Imam Al-Ghazali dalam persoalan filsafat.

Menurut Ibu Rusyd, kesalahan Imam Al-Ghazali bukan semata-mata pada pandangannya tentang filsafat, melainkan juga karena beliau membuka persoalan filsafat yang cukup pelik ke ruang publik hingga masyarakat umum dilibatkan dan diikutkan dalam bentuk aksi dukung-mendukung. Sebagaimana dimaklumi, Ibnu Rusyd membagi masyarakat ke dalam tiga tingkatan (Fashlu Al- Maqal). Pertama, tingkatan masyarakat umum atau retorik (al-khithabiyyun).

Ini adalah tingkatan masyarakat pada umumnya dan mempunyai pola pikir tersendiri. Pada umumnya pola pikir masyarakat dalam tingkatan ini bersifat sederhana, ringan, dan tidak mendalam. Persoalan pelik dan mendalam seperti filsafat tak bisa "diobral" kepada masyarakat dalam tingkatan sederhana seperti di atas karena kapasitasnya tidak memungkinkan.

Hampir bisa dipastikan, membawa pembahasan pelik filsafat ke wilayah logika umum tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada. Besar kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya, persoalan yang ada menjadi tambah tidak menentu. Kedua, tingkatan masyarakat dialektis (al-jadaliun). Dalam bahasa sekarang, tingkatan ini bisa disebut sebagai kelas menengah. Logika yang digunakan masyarakat dalam tingkatan ini sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkatan yang pertama.

Pembahasan pelik dan berat seperti filsafat tidak akan menciptakan guncangan seperti dalam konteks tingkatan pertama. Namun, sebagaimana pada masyarakat tingkatan pertama, masyarakat pada tingkatan ini belum mampu menyelesaikan persoalan berat seperti filsafat. Ketiga, tingkatan demonstratif (al-ulama atau al-burhaniyyun).

Dalam bahasa sekarang, masyarakat dalam tingkatan ini bisa disebut dengan istilah masyarakat elite atau para ahli. Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya persoalan berat seperti filsafat mesti dibahas dan diperdebatkan dalam kehidupan masyarakat pada level ini. Dengan begitu pokok-pokok persoalan yang ada bisa dibahas secara jernih untuk kemudian mendapatkan jalan terbaik.

Persoalan Berbahaya

Kisruh besar yang dialami bangsa ini sekarang mengingatkan penulis pada perdebatan filsafat seperti di atas. Perdebatan ini melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat umum. Padahal, sebagaimana filsafat di atas, persoalan hukum yang terjadi sekarang bukanlah konsumsi ringan yang dengan mudah dapat dicerna publik.

Meminjam istilah Ibnu Rusyd di atas, logika retorik masyarakat umum telah dilibatkan untuk membahas persoalan hukum yang sangat pelik. Mestinya persoalan ini dibahas dan diselesaikan oleh masyarakat yang berada dalam tingkatan demonstratif atau para ahli. Tidak mengherankan bila persoalan hukum yang ada belakangan ini bertambah hari bukan bertambah jernih, melainkan bertambah kusut dan sungguh sangat mencemaskan.

Aksi dukung-mendukung pun seakan menjadi jalan tunggal yang harus ditempuh untuk mengungkap sebuah kebenaran hukum. Hal di atas tentu sangat berbahaya. Karena akan membawa masyarakat luas ke dalam aksi dukung-mendukung yang berpotensi memecah-belah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam beberapa keadaan, hal ini sudah terjadi sekarang. Di samping itu, hal di atas akan mengundang hadirnya kembali kekuatan (dalam arti otot) sebagai hukum yang memaksa semua pihak untuk menerima.

Mereka yang benar secara hukum adalah mereka yang mempunyai kekuatan secara otot. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan latar belakang adanya kesadaran hukum dalam kehidupan masyarakat yang majemuk dan plural. Dalam bayangan penulis, seandainya Ibnu Rusyd masih hidup, kurang lebih filsuf besar pada abad pertengahan ini akan memberikan sumbangan pemikiran sebagaimana di atas kepada bangsa ini, terutama kepada para elite dan para pakar.

Tepatnya agar tidak semua persoalan (terutama persoalan rumit seperti hukum) dibawa ke ruangan publik sebagai "pengadilan terbuka". Sebaliknya, semua persoalan yang ada mestilah disikapi dan ditangani secara proporsional, tentu dengan mengacu pada tiga kelas sosial di atas. Hampir bisa dipastikan, Ibnu Rusyd juga akan memberikan kritik keras kepada media karena telah "mengobral" persoalan rumit ini ke ruang publik hingga masyarakat dilibatkan dalam persoalan yang tidak mereka kuasai.

Tentu pandangan dan sikap Ibnu Rusyd seperti di atas tidak dalam rangka menghancurkan sistem demokrasi yang menjadikan masyarakat sebagai penentu sebuah pemerintahan. Sebagaimana juga Ibnu Rusyd tidak bermaksud merendahkan peran dan pengetahuan masyarakat. Sebagai filsuf besar, Ibnu Rusyd sangat memahami arti kemerdekaan bagi manusia.

Baik kemerdekaan berpikir maupun terlebih lagi kemerdekaan masyarakat dalam menentukan jalan hidupnya. Begitu juga Ibnu Rusyd sangat mendukung terjadinya pencerahan dan ilmu pengetahuan masyarakat. Demi tujuan mulia ini Ibnu Rusyd telah melahirkan sejumlah pemikiran besar, salah satunya tentang tiga kelas di atas.

Oleh karenanya, pandangan Ibnu Rusyd di atas sesungguhnya dimaksudkan sebagai sikap bijaksana dalam menghadapi persoalan yang ada di masyarakat. Di mana sebuah sikap sejatinya diambil dalam rangka memberikan titik terang terhadap masalah yang ada, bukan justru membuatnya tambah tidak menentu.

Kedewasaan Berbangsa

Dalam konteks ini, kedewasaan hidup berbangsa menjadi salah satu kunci utama untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman perpecahan dan hukum jalanan. Kedewasaan hidup berbangsa harus menjadi kesadaran semua pihak, baik masyarakat biasa, pemerintah, para elite maupun elemen-elemen lain. Dengan kata lain, pelbagai persoalan mutakhir yang sangat panas belakangan ini menunjukkan lemahnya kesadaran semua pihak terkait dengan kehidupan berbangsa.

Kesadaran berbangsa pemerintah lemah hingga mereka mengabaikan amanah rakyat. Kesadaran berbangsa para penegak hukum lemah hingga mereka memperjualbeli kan perkara. Kesadaran berbangsa masyarakat pun lemah hingga mereka ikut-ikutan dalam aksi dukung-mendukung persoalan yang ada. Padahal, bisa dipastikan, masyarakat umum tidak mempunyai pemahaman yang utuh tentang persoalan hukum mutakhir.

Hal ini bukan semata-mata karena inti persoalannya susah dipahami, melainkan karena persoalan yang ada sengaja diperumit oleh mereka yang ahli dan berkepentingan hingga para ahli hukum pun tampak samar-samar dalam menangkap inti persoalan yang ada. Lemahnya kesadaran hidup berbangsa di kalangan para elite tentu harus diberi catatan tersendiri.

Bukan hanya karena mereka membebani masyarakat luas dengan hal-hal berat secara tidak proporsional, lebih daripada itu karena mereka sering menjadi "penumpang gelap" dalam perjuangan masyarakat. Akibatnya perjuangan masyarakat sering kehilangan keasliannya karena telah bercampur dengan kepentingan politik dan dendam para elite bangsa ini. Atas nama kedewasaan hidup berbangsa, mari kita sikapi persoalan hukum yang ada sesuai dengan pemahaman masing-masing (jangan ikut-ikutan).

Atas nama kedewasaan hidup berbangsa, mari kita dukung para ahli untuk secara jujur menyelesaikan persoalan hukum yang ada. Lalu, atas nama kedewasaan hidup berbangsa, kita berdoa agar mereka yang salah mengakui kesalahannya, bukan justru menyalahkan pihak lain.(*)

Hasibullah Satrawi
Peneliti pada Moderate Muslim Society,
Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir   
Opini Okezone 14 November 2009