15 November 2009

» Home » Jawa Pos » Perempuan di Pusaran Peradilan

Perempuan di Pusaran Peradilan

TESTIMONI yang disampaikan Rani Juliani -yang berusaha mematahkan "nyanyian" Wiliardi dalam kasus pembunuhan Nasrudin dan menempatkan mantan pimpinan KPK Antasari Azhar (AA) sebagai tersangka- merupakan bagian dari sikap dan sepak terjang Rani. Itu, secara langsung maupun tidak, berpengaruh dalam "merias" wajah peradilan di negeri ini.

Dalam koridor tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah, tentulah kita layak membayangkan, seandainya Rani tidak masuk kehidupan Antasari -saat itu jadi "bos" KPK-sebagai  "perempuan lain" (the other woman), apakah wajah peradilan bersih dari riasan karut-marut? Ataukah memang demikian besar pengaruh perempuan dalam merias (memengaruhi) atau mendesain potret dunia peradilan?
Ketika belum mencuat dugaan keterlibatan Rani dalam kasus yang menempatkan AA sebagai tersangka, wajah peradilan korupsi mulai menunjukkan pamornya. Sepak terjang KPK, menurut publik atau kalangan pencari keadilan, sudah menjadi pintu pembuka lahirnya peradilan berkeadaban baru.

KPK sudah terbukti mampu membuat wajah dunia peradilan, khususnya dalam penanganan perkara korupsi, mulai menunjukkan benderangnya. Kinerjanya membuat suatu kasus yang semula dinilai sebagai kasus mission imposible untuk dibongkar atau disentuh benar-benar mampu dirambah.

Elemen kekuasaan atau elite strategis negara seperti bupati, wali kota, menteri, gubernur, dewan, dan bahkan elemen yudisial yang berperan menyelidik, menyidik, dan menuntut terbukti sudah menjadi "korban" taring-taring KPK. Sebagaimana ditulis Husen Al-Has (2008), lembaga KPK tidak hanya akan membuat bibit-bibit koruptor patah dan mati sejak dini, tetapi jati diri Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terlihat.

Kalau semula norma hukum sering "gagap" bahkan temaram di tangan aparat penegak hukum selain KPK, KPK mampu membuka sejarah baru dunia peradilan yang berusaha memahami dan mewujudkan aspirasi rakyat (pencari keadilan).

Namun, begitu nama Rani memasuki jagat KPK lewat AA, citra KPK ikut terpengaruh. Diakui maupun tidak, dugaan "keterpelesetan" AA dengan Rani telah menyeret problem institusional yang menampakkan hiasan simbiosis mutualisme. Dalam kasus ini, Rani seperti sedang menunjukkan power  bahwa sikap dan sepak terjangnya selama ini sudah ikut merias wajah peradilan.

***

Memang ada istilah, kalau ada seseorang teguh secara moral, cobalah taklukkan dengan uang. Kalau orang itu masih tidak mempan dikalahkan dengan godaan uang, cobalah jinakkan dengan kekuasaan (pengaruh). Kalau masih juga tidak bisa dijinakkan dengan kekuasaan, tundukkan dengan perempuan. Sekuat-kuatnya iman (moral) seseorang, kalau yang  menggoda, memengaruhi, dan berelasi dengannya adalah perempuan, integritas moralnya sulit tak terkoyak atau tak terkooptasi.

"Skenario" itu sebenarnya dapat dibaca sebagai suatu bentuk peringatan secara radikal, bahwa berelasi dengan perempuan di muka bumi ini dapat menjadi akar kriminogen yang mendorong terjadinya, maraknya, dan menguatnya problem penyimpangan norma hukum dan agama. Seseorang yang semula terkenal sebagai pilar pemberantasan korupsi atau dipercaya sebagai "Mr Clean" dalam membersihkan patologi kekuasaan bisa kehilangan keberdayaannya. Kecerdasan akalnya teramputasi dan terhegemoni.

Itu menguatkan titah suci Illahi bahwa perempuan menjadi penegak agama dan negara, namun juga bisa menjadi penghancur negara dan agama. Artinya, perempuan merupakan perias wajah sejarah pergulatan hidup manusia di muka bumi, termasuk wajah elemen strategis dunia peradilan. Siapa saja di antara elemen peradilan yang nekat memainkan atau dimainkan perempuan, dirinya akan hancur.

Dalam ranah itulah justru perempuan mampu menunjukkan hegemoninya, yang barangkali selama ini tidak pernah dimiliki. Sosok lelaki yang semula karismatik atau dikenal tegas, bijak, dan adil dalam menyikapi problem yang dihadapkan kepadanya akhirnya hanya berperan sumir karena menyerah dan kalah dalam rumus segmentasi kultural matriarkat.

Tatkala prinsip itu yang berlaku, seperti kata cendekiawan muslim Imadduddin Abdurrahim, manusia terjerumus jadi pemeluk "Tuhan triple-Ta" alias Tuhan Takhta, Tuhan Harta, dan Tuhan Wanita. Perempuan (wanita) akhirnya menjadi target monolitik yang tidak tertandingi dan diabsolutkan sebagai kekuatan utama yang menentukan pergulatan hidup dan kepentingan manusia itu sendiri. Perempuan diperlakukannya sebagai "Tuhan" yang kehadirannya dibiarkan mengalirkan "ayat-ayat" kepentingan secara spesifik.

Dalam tataran itu, elite strategis peradilan berarti terjebak sebagai objek subordinatif yang kehilangan kemerdekaan dan kecerdasan moral spiritualnya. Dia telah terkalahkan oleh berahi pemujaan "mazhab" kapitalisme tubuh, biologis, atau kekuasaan guna meraih dan mengabsolutkan keuntungan atau memenangkan kepentingan eksklusif yang sudah ditargetkannya.

Apa yang diperbuat elite strategis itu tidak dihasilkan lewat kreasi dan kapabilitas kecerdasan nuraninya sebagai "corong peradilan". Namun, didasarkan pada kalkulasi matematis  hukum pasar yang disterilkan dari pengaruh kontrol moral profesinya. Kekuatan moral keagamaan, misalnya, tidak diperlakukan sebagai pengendali dan penyelamat peran yudisialnya. Melainkan sebatas sebagai pembenar-pembenar petualangannya yang berada dalam koridor "desain" perempuan.

Kalau sudah begitu, kejahatan bercorak extraordinary atau kejahatan sempurna sulit terbendung dari keniscayaan untuk hadir, eksis, dan mengeksplosi di tengah relasi sosial, politik, ekonomi, agama, dan budaya. Kejahatan itu bahkan punya kemampuan untuk bereksperimen dan memberdayakan guna menunjukkan posisi tawar dan gugatnya dengan tingkat kapabilitas profetik dan moralnya. Mereka tidak bisa menghindar dari realitas ancaman besar berupa reduksi jati diri atau terkooptasinya ketahanan moral, apalagi ketika dihadapkan pada kasus-kasus yang secara langsung berelasi dengan kepentingan dan ambisi perempuan yang tak kenal titik nadir menghegemoni.

Imbas makro dari keterjajahan moral elite strategis yudisial itu adalah jatuhnya korban citra penegakan hukum dan menguatnya fenomena pembusukan kode etik profesi dan norma hukum. Nasib pencari keadilan dan negara hukum tak ubahnya sebagai objek yang dikomoditaskan atau dieksploitasi habis-habisan oleh kekuatan yang berhasil menjadikan perempuan sebagai kartu truf. (*)

*). Fitrotul Maulidiyah, pengajar anak dan peneliti dari Universitas Negeri Malang
Opini Jawa Pos 14 November 2009