15 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Multiple Intelligence dalam Pendidikan

Multiple Intelligence dalam Pendidikan

Pemerintah dalam hal ini tetap komit dan tidak gegabah khususnya di bidang pendidikan ini karena efek multiplier begitu terasa dan sangat luas apabila terjadi kesalahan penanganan maupun kebijakan.

Kasus-kasus korupsi yang mencuat akhir-akhir ini tidak bisa dipisahkan dari keluaran (output) sistem pendidikan Indonesia mutakhir. Sebab, tindakan korupsi adalah cermin dari dekandensi moral. Pada kenyataannya, kelemahan itu tidak bisa dipisahkan dari lemahnya sistem pendidikan secara menyeluruh.

Sebab, tujuan akhir pendidikan bukanlah semata-mata kemampuan menghasilkan ilmu pengetahuan yang sistematis, tetapi juga kemampuan mengendalikan pengetahuan itu menuju nilai-nilai yang disepakati bersama. Tinjauan di bawah ini merupakan refleksi terhadap sistem pendidikan dan keluaran yang memadai untuk mewujudkan cita-cita republik ini.    

Paradigma pendidikan di Indonesia, sebagaimana kita ketahui bersama sudah mulai memperhatikan kualitas secara umum. Hal ini merupakan cerminan akan komitmen kita sebagai anggota masyarakat yang menjunjung tinggi harkat martabat bangsa Indonesia. Bekal pendidikan  yang optimal membuat kita bisa dikenal.

Multiple intelligence merupakan suatu kemampuan yang seyogyanya ada pada semua orang agar seseorang dapat eksis, kuat menghadapi tantangan, kreatif, aktif, dan cerdas. Seseorang dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan emosi yang stabil.

Cerdas di sini bukan hanya dalam artian pandai, tetapi lebih pada kemampuan secara utuh. Ilmu terus berkembang. Tidak saja bidang teknologi informasi, akan tetapi ilmu perilaku pun mengalami perkembangan yang begitu cepat. Kita soroti dari satu sisi saja misalnya mengenai kecerdasan manusia.

Kecerdasan Intelektual

Beberapa tahun silam kita kenal dengan kecerdasan intelektual atau IQ sangat penting dan menentukan segalanya karena menjadi persyaratan sekolah hingga bekerja, sehingga IQ menjadi patokan. Beberapa periode setelah itu muncul hasil penelitian mengenai dampak kecerdasan emosional atau EQ dan kemampuan spiritual atau SQ terhadap keberhasilan seseorang yang sering disebut IESQ. Kemampuan seseorang tidak hanya memerhatikan IQ saja,  tetapi mulai diperhatikan masalah EQ dan SQ yang dimiliki.

Ilmuwan lain meneliti tentang pengaruh kecerdasan adversitas atau kecerdasan untuk menghadapi kesulitan atau tantangan karena menurut tokoh pencetus AQ tersebut berpendapat bahwa seseorang yang memiliki AQ tinggi akan lebih tangguh karena mampu menghadapi segala hambatan.

Belakangan masyarakat mulai sadar dan berdasarkan penemuan-penemuan di bidang psikologi. Seseorang yang melewati proses pembelajaran dengan kondisi tertentu membuat yang bersangkutan dapat memecahkan masalah-masalah yang ada serta dapat melakukan pekerjaan seoptimal mungkin. Hal ini terjadi setelah hasil penelitian membuktikan akan pentingnya soft skill  dibandingkan hard skill. Soft skill  merupakan bangunan kecerdasan.

Di antaranya ada EQ, SQ, dan AQ, serta kecerdasan-kecerdasan lain sehingga seseorang memiliki kemampuan kerja tim, kemampuan memecahkan masalah, kreatif , dan lain-lain.  Hard skill yang terdiri dari kemampuan intelektual dan kemempuan yang mendukung kompetensi.

Pada intinya kecerdasan-kecerdasan tersebut seyogyanya juga ditempa saat seseorang yang mengalami proses pembelajaran baik di rumah maupun di sekolah. Oleh sebab itu, harus terjalin keselarasan antara peraturan perundangan khususnya mengenai sistem pendidikan secara utuh.

Pemerataan

UU Sikdiknas no 20 tahun 2003 sudah menguatkan semua persyarat dalam rangka mendukung  program tersebut sebagaimana tercantum misalnya pada pembuka poin C. Dikatakan sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Begitu juga di bab-bab berikutnya yang mensyaratkan adanya kualifikasi tenaga pendidik, kurikulum hingga pentingnya fungsi akreditasi yang merupakan kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Kalimat terakhir di atas menjadi persyaratan wajib mengingat penilaian kelayakan program tersebut dibutuhkan masyarakat dalam rangka menilai institusi pendidikan khususnya yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar.

Kriteria penetapan penilaian kelayakan program tersebut mempertimbangkan dampaknya terhadap peserta didik yang terkait dengan pendidik dan kurikulum. Penyelenggaraannya pun tidak asal-asalan akan tetapi dengan memperhatikan persyaratan yang telah ada sesuai dengan tingkat dan jenjang pendidikan.

Pemerintah dalam hal ini tetap komit dan tidak gegabah khususnya di bidang pendidikan ini karena efek multiplier begitu terasa dan sangat luas apabila terjadi kesalahan penanganan maupun kebijakan.

Ini menyangkut kredibilitas bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003 selaras dengan kebijakan dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT) dan Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED), semua merupakan upaya pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa yang harus dikritisi. (80)

— Dr Hardani Widhiastuti MM, psikolog, dosen tetap Fakultas Psikologi USM
Wacana Suara Merdeka 16 November 2009