04 Juni 2010

» Home » Solo Pos » Mengembangkan ibadah antikorupsi

Mengembangkan ibadah antikorupsi

Akhir-akhir ini kejahatan korupsi mendapat sorotan tajam dan perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat. Para tokoh agama turut prihatin dan menjadi sorotan balik oleh sebagian pihak.

Bukan karena korupsinya para tokoh agama, melainkan peran ajaran agama yang mereka ajarkan. Bukan bemaksud menyudutkan peran suatu agama tertentu, namun sungguh ironis jika kenyataannya para koruptor yang tertangkap mayoritas beragama Islam.

Realitas ini tidak beda dengan kondisi di Filipina atau negara lain yang mayoritas penduduknya adalah Kristen, maka dapat mudah ditebak bahwa para pelaku kejahatan korupsi adalah umat Kristen. Yang menjadi pertanyaan adalah bukankah seluruh agama melarang dan membenci kejahatan korupsi?

Bukankah Islam secara khusus mewajibkan pengikutnya, untuk mencari harta yang halal? Bukankah Islam mewajibkan pengikutnya untuk menjalankan amanah secara profesional? Bukankah Islam mengajari umatnya untuk selalu mengingat Tuhannya minimal lima waktu dalam sehari?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya yakin tidak ada kesulitan. Sebodoh apapun orang dalam mengenal agamanya ia akan mengatakan tidak ada satupun agama yang melegalkan kejahatan korupsi.

Perlu kita renungi kembali sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan mengajari kita berbagai ritual ibadah. Tentu Tuhan tidak bermaksud dengan ritual tersebut “hanya” untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit diukur dengan statistik. Ritual ibadah yang dimaksudkan Tuhan tidak hanya untuk manusia dan diri-Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada perubahan diri dan sosial.

Allah Maha Kaya dan seluruh makhluk di alam semesta semuanya fakir, butuh kepadanya (QS 35:15). Artinya kita jangan sampai salah pengertian ketika melaksanakan ibdah itu berarti Allah butuh kepada kita. Tentu tidak. Ibadah itu dimaksudkan adalah untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan akherat.

Di antara sekian ritual ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam yang dewasa tanpa pengecualian dalam kondisi apapun adalah ibadah salat lima waktu. Salat dikatakan sebagai tiang agama (HR Turmudzi No 2825). Siapa yang mendirikan salat berarti ia menegakkan tiang agama, dan barang siap menyia-nyiakan salat berarti ia merobohkan agama.

Kenapa salat begitu penting dalam kehidupan beragama bagi umat Islam? Hal itu karena Islam ingin menamkan kepada umatnya tentang nilai pengawasan Allah kepada hambanya. Selalu ingat atas pengawasan Tuhannya yang tidak pernah tidur (QS 20:14 ). Minimal nilai itu muncul dalam lima waktu.

Nilai sosial ibadah

Antara rentang-rentang lima waktu itulah manusia diharapkan mampu melakukan pengawasan diri sendiri yang bersumber dari pengawasan Allah pada hamba ketika ia melakukan salat. Individu yang mampu mengakses pengawasan Allah dengan baik dan sempurna dalam salatnya, kemudian mampu mentransformasikan dalam pengawasan diri sendiri dan pengawasan sosial dalam pekerjaan dan profesinya, maka sudah bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi ibadah antikorupsi. Bagaimana tidak, ketika seseorang ada niatan untuk melakukan korupsi, ia akan selalu merasa diawasi, baik oleh dirinya, sosialnya dan Tuhannya.

Ibadah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas pribadi tetapi juga bagaimana mampu menjelma dalam hubungan pola interaksi sosial. Maka, shalat bukan sekedar kepuasan ritual batin, atau bahkan hanya sekadar ritual politik panggung. Yang terakhir ini kelihatannya mudah kita temui pada saat Pemilu digelar. Para tokoh politik mencitrakan dirinya sebagai colon-colon pembela umat yang pantas untuk dipilih. Namun ketika mereka sudah terpilih, mereka tidak sungkan-sungkan untuk menggelar sederetan sandiwara pembohongan dan penggarongan harta rakyat.

Berangkat dari pencitraan diri yang dibuat-buat, tidak tulus dari lubuk hati yang jernih, bukan ikhlas karena Tuhannya, maka tidak mengerankan jika banyak pejabat kelihatan rajin salat bahkan berhaji tiap tahun, tetapi rajin korupsi dan memanipulasi angka tiap anggaran tahunan.

Memang tidak ada satu pun orang yang mengatakan simbul syariat seperti salat dan haji serta syarat rukun sahnya suatu ibadah tidak penting. Tetapi ada hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipahami oleh umat. Yaitu memahami esensi dari pelaksanaan suatu ibadah. Diantara esensi dari pelaksaan ibadah salat adalah rasa akan selalu adanya pengawasan yang melekat dan totalitas dalam kehidupan diri kita. Diantara esensi haji adalah adanya sebuah pencerahan, perubahan yang positif dalam kehidupan kita.

Sistem

Jadi kita setiap hari salat, namun nilai pengawasan Allah tidak hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, maka perlu kita mengevaluasi kembali apa yang selama ini kita kerjakan. Kesuksesan orang dalam mencapai kesalehan spiritual tidaklah dikatakan berhasil, jika belum sukses dalam mencapai kesalehan sosial. Kesuksesan spiritual yang pribadi itu tidak akan menjelma menjadi kesalehan sosial yang memasyarakat jika tidak didukung oleh sistem yang membudayakan ibadah antikorupsi.

Memahami pentingnya hal tersebut, Umar bin Khoththob RA ketika menjabat sebagai kepala negara Islam saat itu, membuat semacam surat edaran kepada seluruh gubernur. Surat itu berbunyi, “Wahai seluruh wali negeri, sesunguhnya tugas yang kupandang paling penting yang harus kamu kerjakan dengan seksama adalah urusan salat. Maka barang siapa mengerjakan salat, niscaya ia memelihara agamanya. Orang yang menyia-nyiakan salat maka ia akan lebih menyia-nyiakan yang lain. Tidak ada bagian apa-apa dalam Islam bagi orang yang meninggalkan salat (HR Malik dalam Muwaththo`, No 10).

Sudah waktunya para pemimpin bangsa ini untuk mampu menjadi contoh dan mampu menciptakan sistem yang membudayakan ibadah antikorupsi. Sehingga berbagai tindak korupsi dan permainan terhadap hukum bisa segera disapu bersih. Tanpa usaha serius dan ikhlas–-bukan karena sebuah pencitraan dan kepentingan sesaat—bangsa ini kapan pun, dipimpin oleh siapa pun tidak akan terbebas dari petaka korupsi dan permainan hukum.

Itu artinya, harapan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesa, hanya ada dalam dasar negara dan nyanyian Garuda Pancasila. Sebagai penutup cukup kita renungkan firman Tuhan yang tahu hari esok,“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu” (QS 8:25). - Oleh : Moh Abdul Kholiq Hasan Anggota Komisi Fatwa MUI Solo Dosen Pascasarjana STAIN Surakarta


 Opini Solo Pos 5 Juni 2010