Tentu, sebelum penjajah menjangkau para gerilyawan, mereka lebih dulu menghancurkan perisai itu. Wong-wong cilik itu tumbang. Namun, dalam tarikan terakhir napasnya, mereka justru bangga karena mendapat kemuliaan jadi ”rabuk” kemerdekaan.
Kini, posisi rakyat tetap sama. Mereka tetap menjadi tumbal bagi seluruh kebijakan negara, dari soal penggusuran, mahalnya pendidikan, tidak terjangkaunya harga-harga bahan kebutuhan pokok, tingginya biaya kesehatan, sulitnya lapangan kerja, sampai soal yang paling aktual: meledaknya tabung-tabung gas kompor. Ternyata untuk yang paling elementer pun, negara kurang serius memberi rasa aman kepada rakyat. Maut ”dibiarkan” bergentayangan di dapur-dapur rakyat.
Jika di dapur personal saja rakyat tidak merasa aman, apalagi di dapur sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Bagi rakyat kecil, dapur merupakan garda depan kehidupan yang menentukan sejarah kehidupan. Dari dapurlah, peradaban rakyat kecil dibangun. Prinsip ”yang penting dapur tetap mengepul” telah menjadi misi suci dalam pertarungan hidup yang dilakukan dengan menjunjung fair-play. Mereka hanya makan dari tetes keringatnya.
Mereka tidak korupsi, tidak melakukan manipulasi, dan tidak kolusi atau membangun persekongkolan hitam untuk membobol kas negara. Mereka pun patuh membayar pajak. Mereka membayar lunas seluruh kebutuhannya dengan kemampuan dan integritas. Makan nasi aking campur sambal dan ikan asin sudah menjadi kemewahan bagi mereka. Karena itu, mereka sangat terbiasa dan terlatih untuk selalu bersyukur. Urip kudu prasojo lan ora perlu ngongso (hidup harus bersahaja dan tidak perlu memaksakan diri untuk memiliki banyak materi), itu prinsipnya.
Berbeda dengan kelas menengah-atas yang telah melampaui (beyond) persoalan perut, rakyat jelata tak kunjung beranjak dari persoalan mendasar itu. Ketika negara menutup rapat pintu-pintu logistiknya, rakyat jelata mengais-ngais remah-remah rezeki secara mandiri. Penghasilan
Rakyat jelata juga pasrah ketika pemerintah menarik minyak tanah dari kehidupan sehari-harinya dan menggantinya dengan gas meskipun diam-diam mereka bertanya ke mana larinya minyak tanah itu? Bukankah negeri ini kaya tambang minyak? Maka, mereka pun dipaksa memasuki peradaban kompor gas, peradaban baru yang tentu menimbulkan kegagapan teknologi.
Selama ini, rakyat jelata hanya melihat ”makhluk” asing bernama kompor dan tabung gas itu di TV sebagai simbol kemewahan. Kini, mereka dipaksa memasuki kemewahan baru itu. Namun yang terjadi ternyata bukan kenyamanan dan kepraktisan: kompor dan tabung gas itu justru menebar teror!
Pemerintah ternyata belum memberikan yang terbaik dalam peradaban kompor dan tabung gas. Kompor sering rewel. Regulator bermasalah. Tabung bocor, ledakan gas pun tak terhindarkan. Korban berjatuhan, seperti diberitakan Kompas (31/5), ”Luka Bakar Rakyat, Luka Kita Semua”.
Kenapa rakyat selalu dipaksa berada dalam jagat tragedi? Tabung gas bermasalah merupakan keteledoran negara yang jadi teror bagi rakyat. Ini sekaligus mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik atau profesional bagi publik. Publik (rakyat) semestinya diposisikan sebagai ”majikan” karena rakyat pemilik sah kedaulatan. Namun, yang terjadi rakyat justru jadi obyek eksploitasi kekuasaan yang mengatasnamakan kepentingan kolektif.
Tragedi kompor gas berakar pada tiga masalah utama. Pertama, kebijakan yang menarik subsidi BBM, termasuk minyak tanah sebagai sumber energi rakyat. Ini menjadi keprihatinan ketika persoalan-persoalan lain justru di-bail-out atau triliunan rupiah uang negara dikorupsi.
Kedua, pemerintah tak menyiapkan masyarakat untuk memasuki peradaban kompor gas, melalui berbagai praksis kebudayaan (pemahaman tentang teknologi secara intensif) dan keterampilan menggunakan alat. Memang ada pariwara soal itu, tetapi tak terlalu efektif. Pemerintah belum memahami dinamika dapur adalah soal kebudayaan yang membutuhkan syarat pemahaman dan pembiasaan; bukan loncatan. Kebiasaan rakyat menggunakan kayu bakar atau minyak tanah, mendadak dijebol dan diganti dengan kompor gas. Rakyat jelata pun mengalami guncangan kebudayaan.
Persoalan ini tak jauh berbeda dengan budaya audio-visual yang dipaksakan lewat industri hiburan TV. Padahal, rakyat kita belum sepenuhnya menguasai budaya baca dan tulis dan lebih intim dengan budaya lisan dan dengar. Kehadiran peradaban TV akhirnya melahirkan gegar kebudayaan mengerikan: rakyat justru mengalami pendangkalan dalam budaya ide, budaya ekspresi/perilaku dan budaya berkarya, dan akhirnya hanya jadi konsumen, bukan produsen kreativitas.
Ketiga, pilihan pada peradaban kompor gas tidak dibarengi profesionalisme menerapkan kebijakan di ranah praksis. Ini, antara lain, tampak dari tidak memadainya peralatan. Peradaban kompor gas akhirnya hanya menyisakan tragedi bagi rakyat yang tetap dipaksa konsisten berada di garda depan penderitaan. Kapan tragedi itu berakhir?
Opini Kompas 5 Juni 2010