KONTROVERSI mundurnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) untuk kemudian menjadi Managing Director Bank Dunia masih berlangsung. Sebenarnya ada hal yang lebih penting yang perlu dibahas yaitu sejumlah tantangan yang menghadang perekonomian Indonesia yang nantinya dihadapi oleh menkeu yang baru.
Tantangan pertama adalah bagaimana membuat sektor riil bisa bergerak cepat. Untuk bisa bergerak cepat dibutuhkan suntikan dana besar dari perbankan dalam bentuk kredit. Kredit bisa dimanfaatkan jika suku bunga kredit terjangkau oleh dunia usaha atau sektor riil. Sampai saat ini suku bunga kredit masih bertengger di kisaran 13-16 persen. Padahal suku bunga BI sebagai acuan sudah dipangkas sampai 6,25 persen.
Akibat tingginya suku bunga kredit maka angka nisbah antara pinjaman dan simpanan atau loan to deposit ratio (LDR) bank-bank di Indonesia sampai saat ini masih berkisar antara 60 dan 70 persen.
Artinya dari total dana simpanan nasabah di perbankan yang disalurkan oleh perbankan dalam bentuk kredit hanya 60-70 persennya. Nilai dari kredit perbankan yang disalurkan tahun ini diperkirakan sekitar Rp 210 triliun (versi BI).
Padahal pemerintah dalam APBN 2010 menargetkan kredit yang tersalur Rp 450 triliun untuk mendorong target pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 5,3 persen.
Ada faktor yang menyebabkan suku bunga kredit tetap tinggi yang merupakan wilayah kewenangan Depkeu yaitu tingginya suku bunga obligasi negara atau surat utang negara (SUN) yang diterbitkan Depkeu.
Sampai saat ini suku bunga SUN masih berkisar antara 10 dan 15 persen. Akibatnya perbankan lebih suka menempatkan dana dari pihak ketiganya di obligasi atau SUN karena lebih bebas risiko dibanding jika mereka menyalurkannya ke kredit.
Sangat Lambat
Tantangan kedua adalah bagaimana membuat aliran dana APBN sebagai salah satu penggerak perekonomian yang utama. Sebelum era reformasi di segala bidang harus diakui bahwa dana pemerintah dari APBN merupakan salah satu penggerak perekonomian utama. Salah satu sebabnya adalah pencairan dana dari APBN berjalan tepat waktu dan sangat cepat.
Memang pencairan yang cepat itu seringkali diikuti dengan kebocoran dana di sana-sini, tetapi bagaimanapun pencairan yang cepat ini sangat membantu untuk menggerakkan perekonomian.
Saat ini pencairan dana APBN berjalan dengan sangat lambat dan ditengarai ada beberapa penyebabnya. Pertama, banyak pejabat publik takut tersangkut kasus korupsi gara-gara tidak hati-hati dalam penggunaan dana APBN ataupun APBD.
Tindakan yang menyalahi prosedur meskipun yang bersangkutan tidak memakai uangnya secara pribadi, bisa dikategorikan sebagai korupsi. Ini merupakan ironi bahwa pencegahan korupsi justru menyebabkan hambatan yang cukup serius dalam pencairan dana APBN atau APBD.
Kedua, birokrasi dalam penggunaan dana APBN dan APBD lebih rumit. Beberapa contoh bisa dikemukakan untuk keperluan membeli komputer Rp 6 juta saja di sebuah instansi pemerintah dibutuhkan 20 dokumen, untuk pencairan gaji dibutuhkan 5 pejabat terkait, prosedur tender yang sangat rumit, dan lain-lain.
Maka solusinya, menkeu yang baru harus berani usul kepada pihak berkompeten untuk merevisi berbagai peraturan hukum yang menghambat pencairan dana APBN maupun APBD, tanpa mengesampingkan transparansi dan pemerintahan yang bersih.
Tantangan ketiga adalah pembenahan perpajakan mengingat pajak merupakan penerimaan utama dalam APBN. Sekitar 70 persen penerimaan negara dalam APBN (dalam APBN 2009) berasal dari pajak.
Hal positif yang sudah dilakukan Sri Mulyani adalah bertindak tegas terhadap perusahaan milik pejabat pemerintah, yaitu Bakrie Group, yang mencoba mengemplang pajak.
Hal lain yang masih menjadi PR besar Kementerian Keuangan sampai saat ini adalah memberantas mafia pajak. Kurangnya gaji sebagai penyebab perilaku korupsi dan mafia pajak di lingkungan departemen itu, khususnya di Dirjen Pajak, yang direspons dengan remunerasi ternyata tidak berhasil mencegah korupsi dan mafia pajak tersebut.
Di samping ketiga tantangan itu, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan menkeu yang baru, ada beberapa syarat lain yang harus dimiliki. Misalnya dia harus dari kalangan profesional dan bukan dari parpol supaya bebas dari kepentingan golongan sehingga kebijakannya bisa objektif.
Beberapa kali juru bicara presiden sudah menekankan hal ini, tinggal ditunggu realisasinya. Selain jujur, dia juga harus tegas dan tidak plin-plan mengambil keputusan agar tidak menggoyahkan perekonomian. Menkeu juga harus figur yang jujur. (10)
— Nugroho SBM SE MSP, peneliti di Pusat Studi Dampak Kebijakan, dosen Fakultas Ekonomi Undip
Wacana Suara Merdeka 18 Mei 2010