17 Mei 2010

» Home » Media Indonesia » Strategi Maraton Kontraterorisme

Strategi Maraton Kontraterorisme

Rangkaian penggerebekan titik mukim teroris di dua pekan awal Mei 2010 (sejak 6/5/2010 hingga 14/5/2010) ini memberikan pesan sederhana kepada publik bahwa di tengah kondisi institusinya menjadi eksperimen para 'pemain hukum' (pengacara, politisi, dll) yang mengejar kepentingan popularitas profesinya masing-masing, Polri dapat tetap fokus bekerja secara profesional. Jika dilihat dari profil para teroris yang dibekuk di Jakarta dan Jawa, manfaat operasi di Aceh Besar yang dimulai sejak 23 Februari 2010 bagi terbukanya informasi persebaran jaringan teroris di tempat lainnya sangat besar. Tantangannya kemudian apakah Polri siap dengan kerja yang bersifat maraton (jangka panjang) dalam menanggulangi terorisme? Asumsi kesiapannya akan sangat bergantung pada strategi maraton Polri.


Strategi dan watak
'Kelompok Aceh' yang mulai populer akhir-akhir ini sebenarnya sudah tidak lagi berpikir untuk menjadikan Aceh sebagai basis utamanya sejak basis pelatihan militernya diacak-acak Polri. Sejak Aceh terbongkar, jaringan ini memindahkan target qoidah aminah ke Jakarta dan Jawa, merencanakan a Mumbai style attack terhadap hotel-hotel berbasis asing, aparat keamanan, hingga penyerangan istana saat 17 Agustus 2010 pada saat RI-1, pejabat negara, dan VVIP berkumpul.
Jaringan teroris 'baru' memang terkesan lebih rumit. Hal ini dipengaruhi warna komposisi teroris ‘kawakan’ yang hinggap di jaringan ‘baru’ ini dan kemampuannya menggabungkan tiga watak sekaligus, yakni insurgensi, terorisme, dan religiusitas. Dalam bahasa akademik, watak insurgensi adalah sekelompok kecil nonnegara yang melancarkan kampanye asimetris terhadap negara demi tujuan perubahan politik ke arah cita-cita gerakan (Gray, 1999: 23-25). Watak ini diperankan para mastermind yang hardened radical alias radikal ‘totok’, lingkar inti gerakan yang menjadi penentu langkah detail tahapan insurgensi. Adapun pilihan taktik teror yang bertujuan untuk mengguncang psikologis masa dan memancing respons labil (Kiras, 2002: 211 dan Marighella, 2002) diperankan lingkar kedua, yaitu para operator aksi militer. Sementara religiusitas sebagai motivasi yang melegitimasi segala tindakannya (Laqueur 1996: 32-33 dan Wright 1986: 19–21) digunakan untuk membangun basis simpatisan di lingkar terluar, yang bekerja mendanai, mendukung, dan melindungi mereka.
Kombinasi tersebut sukses menjadikan jaringan ini 'payung gerakan'. Pertama, bagi mereka yang secara psikologis ‘benci’ terhadap aparat keamanan, pemerintah, dan pihak-pihak tertentu karena pengalaman di Poso, Ambon, atau pengalaman perang di Filipina dan Afghanistan. Kedua, bagi kaum ‘ekstremis radikal’ yang berpandangan biner terhadap situasi sekarang. Ketiga, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa ‘perang’ adalah definisi tunggal jihad tanpa mengenal konteks dan kondisi.
Oknum-oknum tersebut terhimpun dari latar belakang organisasi yang berbeda untuk menjadi backbone (tulang punggung) dari jaringan teroris, seperti Jamaah Anshorut-Tauhid (JAT), eks Darul Islam (DI), alumni KOMPAK Ambon, alumni al-Jamaah al-Islamiyah (JI) Poso, Negara Islam Indonesia (NII), alumni Abu Sayyaf Group (ASG) Filipina, dan lainnya. Oleh karena keterlibatannya perorangan, faktor usia berdiri organisasi tidak berpengaruh. Seperti halnya JAT yang baru berdiri 17 September 2008, tapi peran amir JAT Abu Bakar Baaasyir di masa lalu agaknya menjadikan JAT sorotan. Terlebih sejak awal berdirinya JAT sudah mengangkat tajuk Imamah versus Democracy. Belum lagi jika melihat 45 poin manhaj (metodologi pemahaman) JAT yang mengandung arahan diametral terhadap pemerintahan dan sistem nasional (poin 23), tendensi kekerasan dan terorisme (poin 27), serta ‘perang’ sebagai definisi tunggal jihad (poin 39 dan 40).

Diplomasi dan legislasi
Orientasi kerja jangka panjang jaringan teroris tersebut mengharuskan strategi penanggulangannya juga lebih integral dan bersifat berkelanjutan. Di antara kekeliruan pandangan terhadap agenda kontraterorisme adalah dugaan bahwa ia hanya dimulai sesaat setelah insiden terjadi dan berakhir ketika teroris tertangkap. Oleh karenanya, strategi maraton tersebut terutama sekali harus memberikan perhatian pada pencegahan di samping tetap memperhatikan sisi penindakan. Artinya upaya pencegahan berupa upaya diplomasi, legislasi, dan edukasi harus diberikan atensi lebih.
Upaya membangun diplomasi pemerintahan dapat dijadikan prioritas pertama, terutama dalam penerapan tata pemerintahan yang bercitra religius, bersih, proumat, dan amanah. Kemudian, diplomasi pemerintah kepada publik untuk mengirimkan pesan bahwa teroris telah memperburuk citra Islam menimbulkan bertambahnya kesusahan mereka dengan mengurangi pendapatan dan investasi. Terakhir, diplomasi Indonesia harus bermitra dengan komunitas internasional untuk memastikan bahwa pendekatan-pendekatan paternalistis tidaklah disukai dan harus ditinggalkan. Upaya perdamaian konflik-konflik yang memakan banyak korban umat muslim harus diperjuangkan. Khususnya hak kemerdekaan Palestina dari penjajahan zionisme-Israel semestinya merupakan inti dari diplomasi ini.
Upaya kedua, menciptakan legislasi antiterorisme untuk menciptakan lingkungan yang 'tidak bersahabat' bagi pembangunan dukungan populasi terhadap teroris serta penambahan logistik persenjataan. Dalam PP No 1/2002 jo UU No 15/2003, memang telah termuat kategori tindak pidana terorisme juga prinsip-prinsip legal penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan. Namun, perlu ada pemenuhan kebutuhan di berbagai peraturan lainnya, di antaranya mengenai UU Antiterorisme, perlu diperhatikan kewenangan institusi penegak hukum melakukan ‘tahan paksa’ berbasis data intelijen dan etika KUHAP. UU Intelijen Negara juga meskipun dibahas di Komisi I bukan Komisi III, tetap perlu menegaskan kewenangan penuh intelijen kepolisian dalam hal isu terorisme sehingga tidak terjadi kekacauan informasi intelijen.
Begitu juga respons legislasi untuk membendung laju menguatnya logistik persenjataan teroris. Di tengah proses Pansus DPR-RI untuk merumuskan UU pencucian uang (money laundering), sekaranglah saat yang tepat untuk memberikan masukan penajaman terhadap beberapa pasal yang memiliki keterkaitan erat dengan antisipasi pendanaan terorisme. Seperti pidana terorisme (dalam pasal 2), peran bank sebagai pelapor (p.15) urgensi mengenali nasabah (p.16), transaksi berjumlah besar (p. 33), pemblokiran aset (p. 64), hingga masalah kerja sama transnasional (p. 97, 98, 99, 100 dan 101).

Moderasi populasi
Ratusan penggerak dan ratusan ribu pendukung ideologi yang tersebar di seluruh Nusantara memastikan bahwa agenda kontraterorisme tidak akan menjadi kerja sederhana. Tidak mungkin pula menyikapinya hanya dengan agenda penindakan, penggerebekan, apalagi penembakan satu per satu. Moderasi populasi adalah solusi jangka panjang kontraideologi dalam rangka kontraterorisme.
Implementasi strategi ini dapat dimulai dengan mengatur sistem kerja sama pelibatan ustaz-ustazah, imam masjid lokal atau guru agama, untuk menjadi konsultan dan kontak personal utama agenda moderasi populasi. NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar dapat dilibatkan untuk menghasilkan materi-materi edukasi publik komunitas muslim, baik ala nahdiyin maupun AIK (Al Islam dan Kemuhammadiyahan). Yang terpenting, muaranya dapat bermanfaat membimbing masyarakat kepada pemahaman Islam yang komprehensif, modern, dan bersahabat.
Hubungan yang lebih sehat antara aktor politik, ulama, kampus, dan pesantren harus dibangun. Aktor politik melalui upaya legislasi dapat berperan memberikan legitimasi politik bagi keberlakuan kerja sistemis yang melibatkan aktor keamanan dan nonkeamanan tersebut. Kemudian Polri sebagai major actor dapat terus meningkatkan kapasitas organisasinya terkait dengan penanganan terorisme. Agaknya jika profesionalisme terus dibuktikan dan Polri secara bijaksana dapat berbagi peran dengan aktor lainnya, hujatan dan upaya delegitimasi Polri akan berlalu begitu saja. Lagi pula kerja sama dengan aktor lain adalah bagian dari fokus agenda Reformasi Birokrasi Polri periode 2010-2014, yaitu kemitraan.

Arya Sandhiyudha As, Master dalam bidang Strategic Studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura
opini media indonesia 18 mei 2010