17 Mei 2010

» Home » Suara Merdeka » Invisible Hand di Sektor Pendidikan

Invisible Hand di Sektor Pendidikan

SAAT ini kembali kita dihadapkan pada fakta bahwa persentase angka kelulusan ujian nasional (UN) tingkat SMP sederajat menurun, tidak berbeda dari hasil UN tingkat SMA sederajat yang juga menurun. Terkait dengan fakta itu, menarik disimak pernyataan Mendiknas M Nuh ketika berbicara tentang faktor-faktor penyebabnya.

Menteri hanya menyebutkan beberapa faktor teknis penyebabnya belaka, seperti proses belajar mengajar (PBM), keterbatasan sarana dan prasarana, serta kualitas guru dan kepala sekolah. Pada akhir pernyataannya, dia menyampaikan betapa pemerintah sangat serius menyelesaikan masalah ini dengan menyediakan anggaran tambahan.


Semua mengakui yang dikatakan Mendiknas adalah benar. Banyak sekolah belum memenuhi standar seperti dirumuskan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang mencakup kriteria minimal meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan, dan penilaian (PP Nomor 19 Tahun 2005). Maka, jika pernyataan Mendiknas direnungkan, khususnya yang terakhir, yaitu pemberian anggaran tambahan, memberi kesan seolah-seolah semua persoalan yang berkaitan dengan UN dapat diselesaikan dengan uang.

Kesan lain yang didapat dari fenomena hasil UN ini seolah-olah tujuan pendidikan nasional terbatas pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Padahal ada kompetensi dan kapabilitas lain yang lebih penting, yaitu beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur, tetapi faktanya diabaikan. 

Banyak orang pintar dan terampil, tetapi terjerumus hanya karena tidak memiliki iman dan takwa, serta tidak berakhlak. Negara ini tidak bisa segera bangkit dari keterpurukannya bukan karena tidak ada orang pintar dan terampil melainkan karena tidak adanya iman, takwa, dan akhlak mulia pada diri orang-orang pintar dan terampil tersebut. Orang bodoh dan tidak memiliki keterampilan, tidak akan melakukan pelanggaran yang merugikan orang lain, kecuali hanya merugikan dirinya sendiri.

Lepas dari pro kontra penyelenggaraan UN, semua harus melakukan introspeksi bahwa amanah yang diembankan pada pendidikan nasional tidak sebatas memiliki pengetahuan dan keterampilan tetapi menjadikan anak-anak bangsa ini menjadi manusia utuh, cerdas, beriman dan bertakwa, serta berbudi pekerti luhur. Implikasinya, pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan aspek pengetahuan dan keterampilan, tetapi jauh lebih penting adalah memperhatikan aspek keimanan, ketakwaan dan budi pekerti luhur.

Rencana Allah

Orang yang memahami hal ini adalah orang yang yakin dan percaya, iman dan takwa akan ketentuan Allah SWT. Ada faktor di luar dirinya yang sangat menentukan, yaitu  qaadrat dan iradat Allah, kekuasaan dan ketentuan (rencana) Allah atau invisible hand.

Orang yang berkembang iman dan takwanya, merasa tidak cukup hanya melakukan ikhtiar lahir: sekolah, belajar, mengikuti bimbingan belajar, berlatih menjawab soal dan sebagainya. Dia akan menyempurnakannya dengan ikhtiar batin, dengan meningkatkan taqarrub atau kedekatannya dengan Allah.
Caranya lewat meningkatkan amalan ibadah dalam kehidupan sehari-hari, dan tetap menjaga budi pekerti luhur atau akhlak mulia dengan senantiasa jujur dan menghindari perbuatan tercela lainnya.

Seharusnya, anak-anak juga dibekali dengan soft skill yang akan membantu meraih kesuksesan dalam hidupnya. Kehidupan nyata di masyarakat tidak cukup berbekal pengetahuan dan keterampilan (IQ, intelligence quotient) saja tetapi lebih banyak membutuhkan kemampuan menata hati dan emosi (EQ, emotional quotient) serta kemampuan menghubungkan segala sesuatu dengan ketentuan dan rencana Allah atau spiritual quotient (SQ).

Anak-anak perlu dibekali dengan berbagai macam soft skill, seperti motivasi tinggi untuk meraih prestasi (need for achievement), kerja keras, pantang menyerah, tidak mudah putus asa, disiplin, dan tentu saja, setelah itu dia harus mampu menyerahkan semuanya kepada Allah, atau bertawakal serta budi pekerti atau akhlak mulia yang lain.

Dengan bekal soft skill yang memadai, anak-anak akan dengan tenang menghadapi tantangan dan ujian, termasuk UN, tanpa harus terjebak melakukan perbuatan tercela, apalagi melanggar hukum. Apa artinya lulus UN kalau ditempuh dengan melanggar hukum, seperti mencari bocoran soal atau jawaban UN? Kalau toh gagal, mereka tidak akan putus asa, mereka akan mengambil hikmah untuk belajar lebih baik lagi. Semua adalah ketentuan Allah SWT, invisible hand. (10)
                    
— Drs H Ali Bowo Tjahjono MPd, Wakil Rektor IV Unissula

Wacana Suara Merdeka 18 Mei 2010