17 Mei 2010

» Home » Okezone » Melirik Kondisi Kejiwaan Anak Jalanan

Melirik Kondisi Kejiwaan Anak Jalanan

Perkara mendasar di Tanah Air tercinta Indonesia tampaknya belum mau kunjung surut. Masih segar dalam ingatan berbagai kasus terkait anak jalanan (anjal).

Beberapa kasus terbaru yang “tampak” terkait dengan anak jalanan di antaranya adalah kasus Babeh dengan kelainan jiwa pedofilia yang memakan korban anak-anak jalanan. Juga kita lihat bagaimana Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuki pihak yang bersalah melibatkan anak-anak dan menganiaya anak-anak sehingga sejumlah anak terluka dalam peristiwa bentrok makam Mbah Priok di Koja beberapa waktu silam. Penulis pun teringat pada pengalaman masa silam saat berpraktik sebagai calon dokter jiwa dan menangani kasus seorang perempuan dewasa dengan kasus gangguan jiwa obsesif kompulsif yang jika dirunut riwayatnya, dia pernah mengalami pelecehan seksual oleh paman sendiri pada saat masih berusia 13 tahun.


Selain pihak anak banyak yang takut melaporkan peristiwa kekerasan seksual yang dialaminya karena dirinya diancam dan orang tua beranggapan bahwa kasus seperti itu aib, sewajarnya juga seorang anak (seseorang dengan usia di bawah 18 tahun) yang belum berkembang sempurna secara psikoseksual tidak memahami bahwa dia menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya kekerasan seksual terhadap anak merupakan sebuah fenomena gunung es. Berdasarkan informasi dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), jumlah anak jalanan sebesar 232.984 jiwa. Jumlah tersebut cenderung meningkat bila dibandingkan tahun 2007 sebanyak 104.000 anak dan tahun 2006 sebanyak 144.000 anak.

Dari jumlah tersebut hanya 12% saja yang tertampung dirumah singgah, sedangkan 50% anak jalanan tinggal bersama orang tuanya. Data dari Yayasan Cinta Anak Bangsa juga menunjukkan bahwa jumlah anak telantar di Indonesia ada sekira 3,3 juta anak dan 160.000 di antaranya adalah anak jalanan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak sepanjang 2008 meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus atau 4,2 kasus per hari dari 1.194 kasus pada 2007. Menurut catatan Dinas Sosial DKI Jakarta, sedikitnya ada 4.023 anak jalanan yang tersebar di 52 wilayah di Jakarta.

Per definisi, anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Sementara Kementerian Sosial RI mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lain. Ada dua hipotesis kontradiktif tentang hal ihwal keberadaan anak jalanan di jalanan: mereka berada di jalan karena memang menikmati berada di jalan atau karena mereka tidak punya pilihan lain.

Walau pilihan kedua tampaknya menjadi mayoritas, adakalanya kita temukan ekspresi jiwa anak jalanan yang bermain musik dengan riang dan sepenuh hati sehingga bisa dikatakan perasaan semacam itu menyelamatkan mereka dari “kegilaan” karena getirnya hidup. Sejauh ini anak jalanan tidak bisa dikatakan berada di jalanan untuk “menikmati” hidup di jalanan yang keji tanpa fasilitas kecuali kerap mengonsumsi teratur vitamin berupa polusi udara dan suara karena pada dasarnya mereka selalu menjadi korban. Dengan begitu banyaknya dasar hukum penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dan salah satunya yang utama adalah UU No 23 Tahun 2002 yang juga membahas perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi, lantas kenapa jumlah anak jalanan bertambah?

Kenapa pula pada praktiknya aksi-aksi penanganan anak jalanan masih dilakukan secara parsial, sektoral, dan terfragmentasi tanpa kesinambungan waktu yang cukup memadai untuk sebuah program dapat berjalan dan terpantau dengan evaluasi dari efektivitasnya?

Ilustrasi Kasus

Ranah kekerasan terhadap anak dapat terjadi di jalanan, tetapi juga dapat terjadi di dalam ranah keluarga yang notabene aman dan nyaman bagi anak. Di jalanan anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak, pekerja malam, dan lainnya. Untuk ruang keluarga–– seperti banyak dieksploitasi oleh sinetron kita–– adalah contoh bagaimana anak dieksploitasi menjadi pekerja rumah tangga dan mengalami penganiayaan fisik, juga psikis. Begitu juga kekerasan seksual terhadap anak yang tidak henti-hentinya terjadi. Babeh alias Baekuni (48 tahun) mengaku telah membunuh delapan anak jalanan, hampir semua dimutilasi setelah sebelumnya menjadi korban pedofilia.

Kasus seperti itu menjadi repetisi dari sebuah kasus klasik yang sempat menjadi mimpi buruk, yaitu kekejaman Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Untuk melengkapi ironi dan tragedi dari kebengisan Robot Gedek, tentu semua korbannya adalah anak jalanan yang sepertinya memang identik dengan penderitaan. Anak korban pedofilia dapat mengalami gangguan fisik dan mental. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan, tingkat trauma psikologis yang ditimbulkan lebih berat, bahkan sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan. Gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan psikopatologis lainnya juga tidak terelakkan.

Dikatakan bahwa gangguan pedofilia yang dialami Babe diawali oleh kejadian dirinya menjadi korban pedofilia di usia remaja. Secara ideal, tentu kita berharap korban pedofilia dilaporkan. Jika saja korban pedofilia tersebut terlaporkan atau nyawanya tidak melayang, pendekatan terapi sejak dini harus segera dilakukan. Masih banyak lagi ragam kondisi kejiwaan yang bisa dialami oleh anak jalanan yang kadarnya dianggap di atas sekadar juvenile delinquency (kenakalan remaja) seperti penyalahgunaan zat dengan bahaya mematikan, gangguan emosi dan perilaku, gangguan afektif seperti depresi, kepribadian antisosial, perilaku impulsif. Namun cukup dengan menelaah satu kasus Babeh saja, kita dapat membayangkan betapa berbedanya cara hidup anak pada umumnya dan anak jalanan.

Anak-anak pada umumnya dapat hidup nyaman dan tenteram dalam lingkungan keluarga (nature) dengan pola asuh (nurture) yang baik untuk anak, sementara anak jalanan bertanggung jawab atas tubuh dan dirinya secara utuh. Mereka wajib kebal terhadap risiko atas kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima oleh anak seusianya. Seolah-olah mereka hidup dengan menggantungkan panjang usia hidupnya pada proses seleksi alam.

Metode Terapeutik

Berbagai program telah diciptakan untuk menangani anak jalanan. Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI memiliki program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dengan salah satu sasaran adalah anak jalanan. Pada April 2010 lalu juga dikatakan bahwa Kementerian Sosial berencana memberikan bantuan tunai bersyarat yang besarnya antara Rp900.000 sampai dengan Rp1,8 juta per anak per tahun. Bantuan tunai itu akan disalurkan melalui lembaga sosial anak yang ditunjuk pemerintah dan harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar anak jalanan serta meningkatkan akses mereka ke sarana pelayanan sosial dasar seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan.

Namun, jangan diabaikan bahwa jika jiwanya sudah rapuh, tidak mudah untuk memenetrasi anak jalanan agar mau belajar dan peduli dengan kesehatan. Pada shelter ataupun program Kota Layak Anak (KLA) sebagai bagian dari upaya Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, perlu diselipkan metode terapeutik seperti community intervention strategies yang ditujukan untuk memperkuat kemampuan dari komunitas untuk meningkatkan perilaku yang prososial dan mengurangi sikap antisosial dan kenakalan remaja. Caranya dengan mengombinasikan case management komunitas yang agresif, pendekatan keluarga secara intensif, dan pembentukan pola perilaku yang spesifik untuk mengurangi kriminalitas, kedekatan dengan teman sepergaulan yang menyimpang, penyalahgunaan zat, dan sebagainya.

Metode ini tampaknya mempunyai dampak jangka panjang yang paling efektif terhadap perilaku remaja, terutama anak jalanan, sehingga keluar dari kubangan rasa ketidakberdayaan atau learned helplessness. Anak jalanan bukan pesakitan dan tidak boleh distigma sakit jiwa. Namun, dengan menghitung logika beban jiwa yang harus mereka hadapi, mereka berhak untuk terganggu jiwanya.(*)

dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Demokrat 

opini okezone 17 mei 2010