Publik Indonesia tengah menyaksikan satu babak perang di antara punggawa Polri. Pertanyaannya adalah, perang atas nama apa? Mempersepsikan Mabes Polri sedang berjuang menegakkan hukum melawan koruptor sepertinya tak meyakinkan. Sebaliknya, ketangguhan Susno melawan Mabes Polri pun tidak bisa dirasakan sebagai komitmen atas kebenaran hukum. Pada situasi ini, SBY memahami politik demokrasi secara normatif tanpa melihat makna dan dinamika perang para punggawa Polri.
Publik sudah paham, mafia hukum dan para koruptor menguasai lembaga-lembaga negara, mulai dari kejaksaan, DPR, hingga kepolisian. Beberapa teman sempat menyebut eskalasi konflik Susno vs (jenderal-jenderal) Mabes Polri tak lebih sebagai perang antarkoruptor. Nantinya mungkin secara normatif tak ada pahlawan dalam peperangan tersebut. Jika salah satu menang, pemenangnya adalah koruptor. Dan siapa pun pemenangnya tetap jadi masalah dalam proses reformasi hukum dan demokratisasi Indonesia.
Jika benar perang antarpara punggawa Polri adalah perang antarkoruptor tentunya ada makna lain yang harus disingkap oleh publik, demi kepentingan reformasi hukum yang sedang tertatih di bawah SBY. Kubu Susno menyebutkan, banyak jenderal polisi yang juga terlibat korupsi. Selain itu, ada praktik lain yang dianggap dosa seperti jenderal berpoligami dan pelecehan seksual. Maknanya jelas, Susno tidak sendirian. Dosa yang ia lakoni adalah dosa berjamaah, alias kolektif dan sistemik.
Begitu pun sebaliknya Mabes Polri. Keputusan menangkap seorang jenderal polisi sulit dimaknai sebagai bagian dari penegakan hukum. Karena jika Mabes Polri berkomitmen terhadap penegakan hukum, mungkin saat ini sudah banyak jenderal polisi masuk bui. Namun, kenyataannya, penangkapan Susno terlihat hanya sebagai reaksi atas berbagai informasi penting Susno mengenai para jenderal korup lain di tubuh Polri. Mobilisasi perangkat wewenang dan aparatur lembaga kepolisian dalam menindak Susno menjadi serba dicurigai. Yaitu, sebagai upaya politis jenderal yang disebut korup oleh Susno untuk menyelamatkan diri.
Sayangnya, kondisi perang antarpunggawa Polri ini tak mendapatkan perhatian cukup dari pemerintahan SBY. Padahal, intervensi pada kasus Susno vs Mabes Polri sudah merupakan kebutuhan mendesak berkaitan dengan reformasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Melalui Staf Khusus, SBY menegaskan, ia tidak akan campur tangan terhadap kasus Susno melawan Mabes Polri (Kompas, 15/5).
Penolakan SBY melakukan intervensi pada kasus Susno dalam kasus ini jelas politik normatif yang abai pada dinamika penegakan hukum. Ranah hukum memang tidak boleh diintervensi secara politik karena bisa mengakibatkan kerancuan pada tatanan hukum. Namun, secara gamblang eskalasi perang Susno vs ”Mabes Polri” lebih kental makna politisnya. Kenyataannya, lembaga dan perangkat hukum dalam kepolisian serba mungkin dipolitisasi dan dijadikan sebagai alat melindungi kepentingan kelompok jenderal tertentu. Jelas dinamika perang Susno vs Mabes Polri sudah tidak mungkin hanya dipahami secara normatif.
Berbagai informasi penting Susno seharusnya mendapatkan dukungan politik Presiden, tanpa mengabaikan dosa korupsi yang dia lakukan jika nanti terbukti di pengadilan. Sering kali muncul kecurigaan publik atas perilaku politik rezim yang normatif dan lamban dalam mememerangi koruptor. Kecurigaan yang melihat bahwa rezim SBY tidak imun dari korupsi. Seperti buku George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas (2010). Kecurigaan publik yang diabaikan bisa menuntun pada degradasi kepercayaan publik, bukan saja pada pemerintah, tetapi juga lembaga penegak hukum. Menurut Adrian Little (2008), ketidakpercayaan yang terus terjadi, akan memberangus kesalehan demokrasi warga (democratic piety). Kondisi yang menjadi akar berbagai penyakit sosial politik bangsa, seperti konflik kekerasan, kriminalitas, dan praktik korupsi itu sendiri. Nalar politik SBY seharusnya memahami hal ini. Namun, tetap saja enggan melakukan intervensi.
Kecurigaan di ruang publik bukan tak mungkin terus membesar. Terlepas dari masalah kecurigaan atau bukan kecurigaan terhadap pemerintahan SBY, penting bagi publik untuk menekan pemerintahan SBY melakukan intervensi pada perang Susno vs ”Mabes Polri”. Intervensi tersebut tidak bertujuan mencampuri proses hukum positifnya. Namun, melalui kekuasaan eksekutif Presiden, intervensi melakukan kontrol agar hukum bisa dimanfaatkan dan dilaksanakan secara transparan. Sehingga perang tak suci di tubuh Polri bisa dikelola sebagai bagian dari reformasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Perang para punggawa Polri saat ini telah menyeret hukum sebagai sumber daya politik kelompok kepentingan tertentu, sehingga pembiaran yang terjadi atas kasus ini selain akan menurunkan kepercayaan publik, juga mengancam proses reformasi lembaga hukum termasuk kepolisian. Untuk itu, intervensi dalam koridor politik demokrasi, sebaiknya segera dilakukan SBY.
Opini Kompas 18 Mei 2010