Menarik untuk disimak lebih jauh pernyataan politisi muda Partai Golkar, Bambang Susetyo, di Metro TV Senin (10/5), yang tetap yakin bahwa anggota Pansus Hak Angket Century dari Partai Golkar tidak akan berubah sikap, sekalipun ketua umumnya, Aburizal Bakrie, menjadi Ketua Harian Sekber (Sekretariat Bersama) Koalisi dengan Partai Demokrat. Tentu saja pernyataan jujur dan ikhlas politisi muda itu harus diuji kebenarannya ke depan, mengingat dia adalah salah satu pelopor gigih Pansus Hak Angket Century. Bahkan ia telah meluncurkan buku dengan judul tak tanggung-tanggung, Skandal Gila Century.
Di sisi lain, publik seperti meragukan efektivitas tekad mulia Bambang sebab ia harus berhadapan dengan sang ketua yang memilih bersatu dengan Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang nyata tidak menerima Paripurna DPR atas kasus Century. Namun, Bambang tidak sendirian sebab kawan-kawannya yang teguh berjuang seperti Maruarar Sirait, Eva Kusuma Sundari dari PDI Perjuangan, Akbar Faisal dari Hanura, Ahmad Muzani dari Gerindra, dan rekan lainnya terus mengawal keputusan Paripurna DPR 3 Maret itu.
Namun, konsistensi sikap Bambang dan rekan Golkarnya mungkin saja harus mengayuh sendirian. Sebab kawan seperjalanannya seperti Azis Sjamsuddin, dalam dialog dengan Metro TV beberapa hari lalu, juga berubah sikap. Demikian pula dengan seniornya di DPR, seperti Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso yang menyatakan jika ada kemungkinan Pansus Hak Angket Century dipetieskan, Golkar tidak masalah (Media Indonesia 7/5). Memori publik serentak memutar kembali gerak-gerik politik Golkar selama ini--minimal pimpinan minus Bambang Susetyo dan kader muda lain yang cerdas, kritis, konsisten--bagaimana jagonya partai ini 'bermain di air keruh'. Di air keruh itulah geliat para korporat dan kartel politik mencari strategi memenangkan kepentingan mereka.
Korporatokrasi
Jika benar asumsi itu, berarti kita kini berhadapan dengan politik korporatokrasi. Bagi John Perkins (The Secret History of The American Empire, 2007) korporatokrasi itu lahir dari ulah para gangster yang mendirikan firma bagi korporasi dagang mereka, bahkan menunggangi negara, demi meraih keuntungan di atas keringat bahkan derita negara lain. Korporat-korporat 'Negeri Paman Sam' menggurita di belahan dunia, mulai dari eksploitasi minyak di negara Hugo Chavez, Venezuela, perusahaan listrik di Bolivia, Cile, Argentina, eksploitasi minyak di Mesir, Kuwait, Nigeria, bahkan sampai megaproyek listrik bertenaga uap (PLTU) Paiton I dan II Situbondo, Indonesia.
Cara kerja mereka, menurut Perkins, menonjolkan pola 'bandit'. Bandit bagi Olson, seperti dirujuk Didiek Rahbini dalam bukunya Teori Bandit (Rahbini, 2008), menyatakan bahwa kerja para bandit memang berdampak positif dalam menyumbang kesejahteraan publik. Namun, yang menonjol justru dampak negatif seperti berburu rente bagi kepentingan mereka sendiri dan sikap anarkistis dengan aneka cara yang tidak disadari pihak lain.
Jika analogi kita dengan korporatokrasi politik mirip dengan korporatokrasi ekonomi, bukan tidak mungkin pembentukan Sekber Koalisi Golkar dan Demokrat menjadi sebuah bentuk korporatokrasi politik yang akan melemahkan bahkan mematikan demokrasi berbasis partai. Media Indonesia dalam headline dan Editorial (Media Indonesia 11/5) dengan gamblang menyoroti kartel politik yang oligarkis, dan makin mengaburkan sistem presidensial ke arah quasy-parlementer. Melemahkan karena korporasi politik itu akan membentuk kekuatan yang tidak seimbang sebab sekber itu juga ditambah partai lain seperti PAN, PPP, dan PKB dan mungkin juga PKS. Ketua umum dan mantan presiden keempat partai ini sudah lama di genggaman korporasi politik, sebagai menteri di KIB II.
Maka persaingan parlemen akan menghasilkan tirani para bandit politik atas nama demokrasi mayoritarian (suara terbanyak) dalam setiap pertarungan di DPR. Tirani berbaju demokrasi itu diperankan 'bandit-bandit politik' pendukung korporatokrasi parlemen Indonesia. Maka pernyataan kader Golkar cerdas, konsisten lainnya, Agun Gunanjar (dialog Metro TV 11/5) sangat tepat bahwa koalisi ini mengancam kekuatan demokratisasi partai politik ke depan. Menurutnya, koalisi baru ini hanya koalisi pemimpin yang oligarkis dan belum menjadi keinginan dan sikap pengurus Golkar umumnya.
Kosmologi kebingungan?
'Kepentingan' selalu menjadi alasan pembenar bagi perilaku politik kartelian dan korporatik. Politik kartel versi Harold D Laswell yang mengumumkan adagium who gets what and how (siapa mendapatkan apa dan dengan cara bagaimana), sebenarnya bertolak belakang dengan penunjukan Aburizal sebagai ketua harian sekber. Sebab semua orang tahu bahwa pada pemilu 2009 Partai Golkar mengajukan capres sendiri, Jusuf Kalla dan Wiranto. Golkar tidak berkeringat sedikit pun untuk menghantar SBY-Boediono ke kursi RI-1 dan RI-2, tetapi malah mendapat tiga kursi di kabinet, malah sekarang ketua harian dalam kartel.
Jika sekber hanya 'ruang' kompromi dan komunikasi politik, dipastikan Aburizal hanya pemegang stempel dokumen kesepakatan, sedangkan eksekusi tetap di tangan SBY dan Demokrat serta partai-partai yang berkeringat pada Pilpres 2009. Namun, kalau Bakrie diberi 'lengan' kekuasaan kartel, sudah pasti Golkar akan merajalela bersama rekannya, Demokrat. Jika benar, itu merupakan sebuah kosmologi kebingungan seorang SBY menghadapi derasnya desakan perubahan demokrasi.
Sebab ada beberapa indikator penjelas kebingungan. Staf Khusus Presiden Andy Arif, misalnya, pernah mendekati pemimpin PDI Perjuangan, baik Taufiq Kiemas, mantan Sekjen Pramono Anung maupun pimpinan fraksi DPR untuk berkoalisi. Namun, hasil kongres III PDI Perjuangan justru teguh menancapkan kaki oposisi partai ini. Selain itu, pemimpin Demokrat Ahmad Mubarok pernah melontarkan pernyataan bahwa the rulling party itu ingin berkoalisi dengan PDI Perjuangan, setelah koalisi pelangi mereka berantakan akibat skandal Century.
Jika kosmologi kebingungan SBY itu benar, kita berharap Sekber Koalisi Demokrat-Golkar plus partai koalisi yang telah 'berkeringat' ditantang untuk menampakkan demokratisasi politik yang elegan, jujur, dan bermartabat serta antioligarkis. Aburizal selaku 'masinis' yang mengendalikan gerbong sekber tidak dibiarkan melakukan 'politik tukar guling' baik kasus pajaknya, penuntasan kasus Lapindo, ditambah bidikan pemakzulan Wapres Boediono. Sebab jika hak menyatakan pendapat DPR dimungkinkan, itu bukan jasa Golkar dan Aburizal, melainkan konsistensi lembaga DPR untuk mengungkap mafia money laundering dan aliran dana Century. Demokrasi politik terus melangkah, minus kekonyolan politik tukar guling.
Oleh Ansel Alaman, Pengajar character building Unika Atma Jaya dan Binus, Jakarta
opini media indonesia 18 mei 2010