NALAR anggota dewan memang benar-benar telah tumpul! Itulah saya kira kalimat yang tepat untuk menggambarkan perilaku para wakil rakyat terkait kengototan mereka atas rencana pembangunan gedung baru anggota dewan dengan konsep sangat mewah dan biaya yang luar biasa mahal, Rp 1,8 triliun! Itu berarti satu kamar anggota DPR senilai Rp 3,3 miliar.
Alasan klisenya: gedung yang ada saat ini sudah tidak representatif dan mengalami keretakan dan kemiringan 7 derajat. Padahal, menurut Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum, kondisi gedung tidak miring dan masih aman hingga 50 tahun mendatang. Bahkan, masih lekat dalam ingatan kita bahwa baru saja renovasi gedung dilakukan dengan menelan biaya miliaran rupiah yang juga menuai kontroversi.
Itulah paradoks sekaligus ironi dalam demokrasi kita. Wakil rakyat yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan dan keterwakilan kerapkali perilakunya justru mencoreng wajah demokrasi. Pembangunan gedung yang menelan biaya triliunan rupiah jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal tersebut juga merupakan potret akan miskinnya empati anggota dewan atas penderitaan rakyat dan hilangnya akal budi.
Ironis memang. Di tengah kesulitan hidup dan impitan kemiskinan yang membelit sebagian besar masyarakat, kepekaan dan nurani anggota dewan dengan demikian justru patut dipertanyakan. Gelombang pengangguran kini menghadang di depan mata. Dampak pemberlakuan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), dari Januari hingga Maret 2010 pemutusan hubungan kerja telah mencapai 68.332 pekerja. Sementara jumlah pekerja yang dirumahkan telah mencapai 27.860. Jumlah pengangguran pun telah menyentuh angka 9,82 juta orang.
***
Menyikapi kondisi gawat seperti itu, langkah yang seharusnya dilakukan anggota dewan adalah bagaimana membuat regulasi-regulasi yang dapat memberikan daya hidup kepada rakyat, bukan justru menghambur-hamburkan uang negara untuk sesuatu yang sesungguhnya tidak urgen. Sementara, pada saat bersamaan, kinerja para anggota dewan dalam menelurkan regulasi-regulasi masÃh sangat memprihatinkan. Begitu pula integritas mereka yang hancur akibat skandal korupsi yang terus dipertontonkan dengan telanjang
Kita tentu tidak sedang mengadili anggota dewan. Tetapi, pada situasi seperti ini sesungguhnya yang dibutuhkan adalah sebuah tindakan yang tepat serta kepekaan dan empati untuk menyikapi masalah. Apa pun kebijakan yang hendak diambil, apalagi yang menyedot anggaran negara begitu besar, selayaknya juga harus meletakkan pembenaran etis sebagai dasar penting atas munculnya sebuah kebijakan. Kita butuh landasan etika dalam berpolitik.
Dalam konteks itulah, saya kira tepat apa yang dikatakan Eric Weil (1956) bahwa dimensi moral merupakan dasar rasionalitas paling utama dalam sebuah kegiatan politik berikut kebijakan yang dilahirkan. Dari titik tolak itulah setiap kebijakan yang diproduksi tidak boleh hanya dipasok dari segi-segi yang amat pragmatis, tetapi ada landasan etis yang membimbingnya.
Sikap anggota dewan yang tetap ngotot ingin membangun gedung mewah di tengah penderitaan rakyat jelas merupakan sikap politik yang bebal. Kita lantas bertanya, apakah tindakan itu diambil karena mereka selama ini merasa telah bekerja keras memikirkan nasib rakyatnya? Lebih celaka lagi, apabila di balik proyek tersebut terdapat praktik markup akut yang saldonya dibagi secara proporsional kepada setiap pihak yang terlibat dalam "operasi".
Pertanyaan selanjutnya, lalu di mana letak keberpihakan terhadap rakyat yang merasa telah diwakilinya? Tak ada sangkut pautnya! Sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan impitan hidup saat ini kondisinya mirip orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun akan menenggelamkannya.
Ombak kecil itu saat ini berupa kemiskinan yang terdedah di depan mata, gelombang PHK yang terjadi di mana-mana, pengangguran yang terus membengkak, sulitnya mencari lapangan kerja, harga-harga kebutuhan pokok yang tetap bertengger tinggi, biaya kesehatan yang terus melangit, serta persoalan-persoalan lain yang dengan mudah menenggelamkan mereka yang selama ini terpinggirkan secara politik, sosial, dan terlebih secara ekonomi.
Banyak persoalan kemiskinan yang membuat kita miris dan menyayat nurani. Gizi buruk melanda anak-anak bangsa di pelosok negeri di tengah iklan partai politik yang menelan miliaran rupiah. Ketimpangan pembagunan begitu mencolok antarwilayah. Masyarakat miskin dipaksa bertarung melawan ganasnya liberalisasi pasar tanpa proteksi negara yang mengawalnya.
***
Mencermati berbagai persoalan tersebut, yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan yang benar-benar berpihak rakyat, bukan akrobat politik para politikus yang membosankan. Kita muak dengan "panggung teater" politisi yang hanya menampilkan citra, kesan, dan topeng manisnya. Sudah saatnya kita mengikis dan membabat habis nalar politik culas dan bebal yang ingin selalu mentransaksikan seluruh urusan negara atas nama wakil rakyat. Persoalan rakyat bukanlah komoditas layaknya tas, busana, atau TV, tetapi ia ikut pula menentukan bagaimana sesungguhnya bangsa ini memperlakukan dirinya sendiri dan juga rakyatnya.
Ruang-ruang perdebatan publik tidak boleh kita biarkan hanya diisi dan disesaki oleh persoalan-persoalan hiruk pikuk politik semata, urusan cabup/cawabup yang bertarung dalam pilkada, atau artis yang mencoba keberuntungan lewat panggung politik. Ada yang lebih mendasar dari itu semua, yakni menyangkut persoalan-persoalan yang bersinggungan langsung dengan kondisi riil masyarakat.
Karena itu, seperti pernah ditulis Marion (2000), otoritas yang begitu besar yang dimiliki anggota dewan sebagai penentu kebijakan harus dikontrol dan dipastikan bahwa ia dijalankan untuk fungsi keterwakilan, bukan untuk kepentingan para anggotanya. Itu berarti proses-proses politik yang hanya terlokalisasi pada sekelompok kecil elite harus mulai dikikis karena sangat rentan dengan penyimpangan.
Terkait dengan proyek pembangunan gedung baru anggota dewan, tampaknya tegas harus dikatakan bahwa kebijakan yang tak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat dan hanya menghambur-hamburkan uang negara itu harus dihentikan! Banyak persoalan bangsa yang lebih urgen mendapat prioritas
penyelesaiannya. (*)
*). Achmad Maulani, peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada
Opini Jawa Pos 8 Mei 2010
08 Mei 2010
Mengikis Nalar Politik Bebal
Thank You!