07 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Ancaman Perdagangan Bebas

Ancaman Perdagangan Bebas

PARADIGMA perdagangan bebas (free trade) bila diterapkan tanpa modifikasi yang sesuai dengan pandangan kita, dikhawatirkan akan menjauhkan Pancasila sebagai dasar bernegara, utamanya dalam cara berekonomi.

Seperti diketahui konsep  free trade yang berlaku sekarang ini membuang jauh-jauh nilai manusia seperti perilaku, moral,  kerja sama, dan keadilan. Perdagangan bebas itu diturunkan dari konsep  teori general equilibrium yang titik berangkatnya adalah efisiensi, dan nilai manusia sebagai the man behind the trade tidak terlibat di dalamnya.


Di samping itu, konsep equilibrium berasal dari teori yang disebut fundamental theorems of welfare economics. Yakni, pareto optimal dapat tercapai jika ekonomi bersaing dengan sangat sempurna. Teori ini dari  invisible hand Adam Smith. Ia menyatakan bahwa persainganlah yang membuat alokasi sumber daya ekonomi mencapai keseimbangan.

Sayangnya dalam praktik, persaingan sempurna tidak pernah dan tidak akan terjadi di dunia bisnis, bahkan bagi perusahaan kecil sekalipun. Dalam teori persaingan sempurna, perusahaan hanya penerima harga (price taker), bukan pembuat harga (price maker).

Kenyataannya semua perusahaan kecil, apalagi  besar, berusaha menjadi price maker melalui berbagai upaya di luar efisiensi harga, seperti memproduksi barang /jasa baru, memperbarui produk lama, membuat pelayanan lebih baik, dan pengiriman produk lebih cepat.

Memojokkan

Inilah yang disebut Ronald Coase sebagai blackboard economics, yaitu sebuah model atau teori yang ditulis di papan menggunakan istilah-istilah ekonomi, tetapi tidak mewakili yang terjadi di dalam ekonomi nyata. Inilah kesalahan fatal terbesar dalam metodologi ilmu ekonomi yang ada sekarang. (IS BEI, 2010)
Pemberlakuan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) juga patut dicermati sebagai usaha memojokkan ekonomi Pancasila karena ide sentral tentang peran negara, tolong-menolong, melindungi si kecil, free fight competition/liberalism, dan keadilan ditempatkan dalam posisi sangat ekstrem. Maka wajar seandainya ACFTA ditunda dan ditinjau konsepnya dengan modifikasi yang  disesuaikan dengan nilai kita.

Jika mau jujur, formula free trade dan free market sesungguhnya telah menjelma menjadi ‘’Tuhan’’ perekonomian dunia yang harus diterima seluruh bangsa. Bagi negara maju seperti AS, menolak perdagangan bebas hanya akan menyebabkan surutnya perdagangan dunia ke masa 1960-an. Kita sebenarnya tak boleh menolak ide  free trade dan free market.

Yang jadi masalah adalah ketika konsep ini dijadikan jalan oleh sebagian kelompok manusia untuk menguasai dan mengeksploitasi kelompok manusia yang lain, sebagaimana terjadi saat ini.

Kesalahan konsep perdagangan bebas saat ini adalah; pertama, kesalahan asumsi  dasar teori perdagangan bebas itu sendiri, yang memengaruhi paradigma pengambil kebijakan. Kedua, faktor kepentingan masing-masing negara, terutama negara maju, yang menginginkan adanya ekspansi tanpa batas untuk mencapai keuntungan ekonomi maksimal.

Fakta lain menunjukkan bahwa dengan  perdagangan bebas perusahaan-perusahaan mulitinational corporates (MNCs) yang menguasai dua pertiga perekonomian negara-negara maju, adalah yang paling diuntungkan. 

Seperti dinyatakan oleh komisi perdagangan Uni Eropa, Peter Mandelson,’’...liberalisasi perdagangan akan menumbuhkan pasar dan  dapat menjual berbagai komoditas dan jasa Eropa, negosiasi multilateral yang menawarkan hasil yang besar harus diupayakan’’

Untuk mengubah konsep dan strategi menghadapi ACFTA, kita perlu penyesuaian dengan memasukkan the man behind the market, di mana pasar memerlukan pedagang. Kita lupa bahwa agen harus memegang barang agar pasar berfungsi, bahwa pasar harus diorganisasi, bahwa hak properti harus didefinisikan dengan benar dan betul. Misalnya berapa banyak produk asli Indonesia yang sudah dipatenkan oleh asing.

Diperlukan beberapa solusi yang mungkin bisa dilakukan karena kita tidak bisa menolak ACFTA ini karena konsekuensinya sangat besar. Namun bisa dilakukan beberapa strategi, misalnya, pertama, menciptakan hambatan-hambatan nontarif, seperti melakukan standardisasi produk asing yang boleh masuk ke pasar domestik.

Termasuk di dalamnya mewajibkan sertifikasi halal, tidak hanya terhadap produk makanan dan kosmetika. Perlu kita tolak jika tekstil dan obat-obatan China menggunakan zat berbahaya dan haram. Kedua, meningkatkan mutu produk lokal agar memiliki nilai added value.

Selama ini, kita lebih banyak mengekspor bahan mentah dan bukan hasil olahan berkualitas. Pola ini sangat disukai oleh China yang memang sangat membutuhkan bahan mentah.
Ketiga, pemerintah sadar dan bekerja keras untuk mengembangkan ekonomi efisiensi tanpa korupsi, dan inovasi yang didukung rakyat dengan membuat Indonesia incorporated. (10)

— Drs H Bedjo Santoso MT, dosen FE Unissula, mahasiswa program S3 di International Islamic University Malaysia (IIUM)

 Wacana Suara Merdeka 8 April 2010