07 April 2010

» Home » Media Indonesia » Pesona Selebritas dalam Panggung Demokrasi

Pesona Selebritas dalam Panggung Demokrasi

Maraknya para artis mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah merupakan fenomena yang merambah panggung demokrasi di Indonesia. Seolah-olah panggung hiburan berubah menjadi media yang kurang menarik, sehingga panggung politik mulai menjerat para artis untuk mengekspresikan dirinya. Sebut saja 'si ratu goyang ngebor' Inul Daratista, Ayu Azhari, dan juga Julia Perez. Mereka berlomba menggoyang panggung demokrasi di Indonesia dengan pesonanya masing-masing yang penuh semangat dan ambisi menata pemerintahan daerah pemilihannya.
Fenomena tersebut mulai marak seiring dengan munculnya perjuangan kebebasan perorangan mengekspresikan diri, sehingga setiap orang merasa layak dan mampu bahkan cenderung menganggap dirinya kapabel dalam memimpin pemerintahan di suatu daerah.
Namun, benarkah pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) merupakan bentuk dari penyelenggaraan demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam konstitusi? Bukankah pemilihan langsung kepala daerah tersebut hanya sebatas pada upaya seleksi, bukan eleksi?



Arti demokratis dalam konstitusi
Dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa: 'Gubernur, bupati, wali kota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten/kota, dipilih secara demokratis.' Selanjutnya dalam ayat (7) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa 'Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.' Sebagai derivasi ayat tersebut ditetapkanlah UU Nomor 32/2004 yang telah mengalami beberapa kali perubahan.
Dalam konstitusi tidak satu pun norma yang secara tegas menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung, sehingga pemilihan kepala daerah diserahkan para pengubah konstitusi dalam bentuk aturan pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat daerah, yakni dalam bentuk undang-undang. Arti demokratis dalam konstitusi merupakan pedoman penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang harus berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, baik demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Pemberian arti kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sama dengan pemilihan langsung merupakan penafsiran yang tendensius dan emosional, sehingga pengaturan lebih lanjut arti demokratis diserahkan dalam bentuk undang-undang.

Pilkada, seleksi atau eleksi?
UU Nomor 32/2004 sebagai undang-undang organik merupakan derivasi dari norma pemilihan kepala daerah, sehingga arti demokratis dapat ditemukan dalam undang-undang tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, pemilihan kepala daerah merupakan suatu proses penyeleksian (bukan eleksi) sehingga pengertian demokratis dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam konstitusi merupakan demokrasi perwakilan, bukan demokrasi langsung(BPHN: 2009).
Hal tersebut tampak pada pengaturan Pasal 109 ayat (3) UU Nomor 32/2004 yang menyatakan bahwa 'Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.' Untuk calon bupati dan wakil bupati berlaku ketentuan Pasal 109 ayat (4) UU Nomor 32/2004, bahwa, 'Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Mengacu pada norma tersebut, penafsiran formal tentang makna 'pemilihan' pada pilkada lebih tepat dinyatakan sebagai, seleksi bukan eleksi, sehingga pilkada merupakan proses pelibatan masyarakat dalam menyeleksi calon kepala daerah. Dengan demikian, penafsiran pilkada merupakan proses eleksi kepala daerah harus dikembalikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Konksekuensi demokrasi langsung
Kecenderungan penafsiran bahwa pilkada merupakan proses eleksi kepala daerah di antaranya dipengaruhi oleh mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sedangkan dalam peraturan pelaksana pilkada bukan merupakan eleksi. Namun, proses demokrasi langsung yang dianggap sebagian pakar merupakan tingkat proses demokrasi terbaik, perlu dikaji kebenarannya dikaitkan dengan pelaksanaannya.

Beberapa hal yang terkait dengan konsekuensi demokrasi langsung antara lain:
1. Demokrasi langsung menuntut adanya hubungan yang erat antara pemilih dan kontestan peserta pemilihan sebagai bentuk kepercayaan antara pemilih dan kontestan.
2. Demokrasi langsung cenderung ditujukan bagi pengumpulan suara (kuantitas) tanpa selalu diikuti dengan kualitas kontestan. Kecenderungan ini ditambah dengan fenomena metode penghitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei melalui metode polling.
3. Kecenderungan kuantitatif tersebut merupakan bentuk bergesernya kualitas makna demokrasi dalam era digital (digital democracy).
4. Kualitas kontestan bukan merupakan faktor signifikan bagi demokrasi langsung. Pemilih hanya menentukan kontestan berdasarkan popularitas secara finansial (money politics) ataupun secara visual (image building).
5. Demokrasi langsung--dalam bentuk ideal--menuntut adanya keterlibatan langsung pemilihan, penyelenggaraan tugas, pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pejabat publik yang dipilih.
Lima konsekuensi demokrasi langsung itulah yang memengaruhi para perumus UU Nomor 32/2004 mencantumkan Pasal 109 ayat (3) dan ayat (4) sebagai bentuk pengawasan lembaga perwakilan daerah bagi penetapan calon kepala daerah terpilih. Berdasarkan batasan peraturan perundang-undangan tersebut, lebih tepat jika istilah 'pemilihan' dalam pilkada dibaca dengan 'penyeleksian' sehingga demokrasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 merupakan demokrasi perwakilan dan bukan demokrasi langsung. Hal ini sesuai dengan sila keempat Pancasila, bahwa 'ke-(daulatan) rakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.' Demokrasi perwakilan merupakan bentuk demokrasi yang dipilih oleh para perumus Undang-Undang Dasar 1945, sebaliknya demokrasi langsung dipilih oleh para pengubah Undang-Undang Dasar 1945.

Bahan introspeksi
Mengacu pada ketentuan Pasal 109 UU Nomor 32/2004 bahwa adanya keterlibatan DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam menentukan pengesahan pemenang pilkada perlu kiranya dipertimbangkan para selebiritas yang kelak berlaga di panggung demokrasi, mengingat ketenaran dan modal (secara finansial dan visual) yang dimiliki selebritas yang digadang-gadang bukan jaminan selebriti tersebut mulus melenggang sebagai pemenang dalam pilkada.
Kecenderungan partai politik menjaring calon kepala daerah dari kalangan selebritas merupakan salah satu strategi penjaringan suara (bahkan penggalangan dana) bagi kepentingan partai politik tersebut, bukan untuk kepentingan rakyat, bahkan bukan pula untuk kepentingan selebiritas yang digadang-gadang.
Panggung demokrasi merupakan panggung yang tepat bagi selebritas sepanjang mereka mampu menguasai pemangku kepentingan yang tidak hanya terdiri dari para sutradara, pemain lain, penonton, tapi juga para 'penumpang-penumpang gelap' yang tidak mampu dibendung dengan peraturan perundang-undangan.
Sepanjang selebritas yang dimaksud hanya terpesona dengan sorotan lampu demokrasi tanpa dibekali dengan kemampuan penataan kelembagaan dan penyelenggaraan pemerintahan secara mapan, niscaya selebritas itu hanya diposisikan sebagai 'golek politik' yang dikendalikan oleh sutradara dan berbagai kepentingan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaaat sebagai bahan instrospeksi bagi para selebritas yang digadang-gadang sebagai calon kepala daerah. Selamat menggoyang panggung demokrasi.

Dr Mochamad Isnaeni Ramdhan SH MH, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Opini Media Indonesia 08 April 2010