07 April 2010

» Home » Media Indonesia » Pemimpin Berpikir Reaktif versus Pemimpin Berpikir Proyektif

Pemimpin Berpikir Reaktif versus Pemimpin Berpikir Proyektif

Keadaan Indonesia sekarang ini telah membuat banyak orang berkesimpulan bahwa para pemimpin negara ini lebih mengandalkan berpikir reaktif daripada berpikir proyektif dalam menjalankan kepemimpinan. Berpikir reaktif berarti hanya bereaksi pada persoalan yang muncul, sedangkan berpikir proyektif melebihinya dengan mengantisipasi persoalan yang mungkin muncul serta menyelesaikan semuanya secara tuntas sampai ke akarnya. Banyak contoh persoalan yang membuktikan bahwa para pemimpin Indonesia hanya bersikap reaktif. Lihatlah tindakan mereka untuk ikut menandatangani kesepakatan perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (ACFTA), persoalan kekurangan pasokan listrik, penanganan masalah pertambangan, peraturan-peraturan investasi yang tidak sinkron antara satu departemen dan departemen lainnya, penanganan masalah kemiskinan, penanggulangan bencana banjir, bencana alam, dan sejumlah contoh lainnya.
Mereka hanya bereaksi pada persoalan-persoalan yang muncul saat itu dan mencoba menyelesaikan sedapatnya saja untuk mendapatkan keuntungan sesaat atau demi kepentingan politik bersifat ad hoc. Mereka meletakkan persoalan-persoalan dalam bentangan waktu yang pendek saja, tanpa pernah mengantisipasi atau meletakkannya dalam suatu visi kemajuan negara jauh ke masa depan. Dalam tindakannya, biasanya mereka hanya mendasarkan diri pada kepentingan politik partainya atau orientasi politik dirinya sendiri. Dengan demikian, ada kecenderungan mereka akan memilah mana yang bisa menguntungkan dengan cepat kalau diselesaikan dengan cepat. Mereka akan menghindari persoalan yang tidak bisa membawa manfaat politik atau yang tidak mendatangkan materi dengan cepat. Padahal, jika persoalan-persoalan tersebut dituntaskan, tentu akan sangat membantu mempercepat perwujudan negara Indonesia yang maju dan sejahtera.


Kebutuhan bereaksi cepat dan mendapatkan keuntungan dengan cepat membutakan mereka pada usaha-usaha untuk menganalisis persoalan dengan tuntas agar bisa menemukan akar persoalan. Ketidaktahuan pada akar persoalan hanya akan membawa mereka pada tahapan penyelesaian tambal sulam terhadap semua persoalan yang mereka coba pecahkan.
Tapi kemudian, karena tindakan penyelesaian mereka yang tidak tulus dan tuntas dalam melihat persoalan sampai ke perspektif masa depan, mereka akhirnya gelagapan ketika harus menghadapi dampak dari langkah yang mereka ambil sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Berikutnya mereka hanya akan mengambil tindakan sekenanya dalam usaha mengatasi dampak yang muncul tersebut.
Hal ini terlihat jelas antara lain dalam tindakan mereka menandatangani ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) baru-baru ini, serta tindakan mereka kemudian dalam menangani dampak yang muncul akibat persetujuan perdagangan bebas itu. Memang harus diakui bahwa sikap reaktif itu akan cenderung lebih cepat membawa popularitas dan barangkali bisa mengantarkan pemimpin bersangkutan kepada penghormatan sebagai 'pahlawan' karena mereka akan dengan jelas terlihat berhasil menyelesaikan persoalan yang sudah kelihatan muncul dalam masyarakat. Sementara itu, pemimpin yang berpikir proyektif, butuh waktu lebih lama untuk bisa dikenal atau malah bisa-bisa tidak dikenal orang, karena dalam tindakan, mereka lebih cenderung mencegah munculnya persoalan dengan memberlakukan suatu konsep jangka panjang dan visioner untuk mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan orang banyak.
Dengan melihat keadaan politik Indonesia sekarang ini, ada prinsip aji mumpung dari masing-masing partai untuk mendapatkan keuntungan politik dan materi yang sifatnya sesaat dan adanya sikap dari tiap-tiap politikus untuk melakukan hal yang sama, karena merasa posisi mereka hanyalah singkat dan tidak jangka panjang. Dengan begitu, godaan untuk berpikir reaktif sangatlah kuat.
Kondisi politik seperti itu menjadi tanah gersang yang hampir tidak mungkin menumbuhkan para pemimpin yang berpikir proyektif yang sangat dibutuhkan Indonesia sekarang ini untuk mengantarkannya ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Tentu bagi para warga negara Indonesia yang masih cinta dan peduli pada nasib bangsa ini, keadaan seperti itu hanya akan semakin menambah tumpukan kekecewaan mereka. Kekecewaan demi kekecewaan sudah bertumpuk dalam hati mereka, teristimewa semenjak terjadinya krisis ekonomi pada 1998, ketika pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto jatuh berantakan. Waktu itu, mereka sangat berharap lengsernya Soeharto akan menjadi awal penciptaan negara Indonesia yang maju. Namun, tampaknya harapan seperti itu masih mimpi belaka hingga kini.
Tentulah mereka melihat bahwa di tangan para pemimpin yang hanya berpikir reaktif itu Indonesia tidak akan sampai ke mana pun, karena sulit beranjak. Sementara banyak negara-negara tetangga justru sedang berlari dengan suatu masterplan menuju suatu keadaan negara maju dan sejahtera. Sebagai contoh, Malaysia ingin memperkokoh diri sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, para pemimpinnya mengarahkan semua sektor pembangunan (pendidikan, iptek, dan keamanan) guna menunjang misi tersebut.
Di mata masyarakat yang kritis, para pemimpin yang berpikir reaktif itu hanyalah oportunis yang bertindak seperti para mucikari. Bukankah tindakan mereka menipu rakyat agar memilih mereka dalam pemilihan umum sama dengan sikap para mucikari yang menipu para gadis desa dengan iming-iming pekerjaan bagus, agar bisa menjual tubuh mereka kepada para hidung belang? Kenyataannya, para gadis itu telah mengorbankan segalanya hanya untuk imbalan sedikit, atau bahkan mungkin tanpa imbalan sama sekali.
Mereka yang telah memilih para pemimpin (dan politisi) model saat ini boleh jadi sedang menyesali bahwa keikutsertaan mereka dalam pemilu tahun lalu ternyata tidak bisa menghindari munculnya para pemimpin yang berpikir reaktif dan hanya memosisikan diri mereka dalam persepsi jangka pendek. Dengan sikap reaktif, para pemimpin tersebut hanya akan memfokuskan segala daya dan upaya mereka semaksimal mungkin untuk menjawab pertanyaan what do you have? (Apa yang kau miliki?) bagi partainya dan dirinya, dan bukan untuk menjawab semaksimal mungkin pertanyaan what do you make? (Apa yang kau perbuat?) untuk mengantar bangsa ini ke arah kemajuan dan kesejahteraan.
Jika melihat kondisi Indonesia sekarang ini yang masih karut marut dalam hampir semua sektor setelah krisis ekonomi 1998, tentulah semua orang sepakat untuk berpendapat bahwa negara ini sudah sangat membutuhkan para pemimpin yang berpikir proyektif agar bisa melihat persoalan dalam perspektif yang luas dan menyelesaikannya dalam suatu kerangka visi ke arah kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia di masa depan.
Pemimpin dengan pemikiran proyektif akan selalu meletakkan semua persoalan dalam ruang yang komprehensif agar persoalan bisa terlihat utuh dari segala arah. Dengan demikian, mereka bisa memosisikan diri dengan tepat, dalam jarak yang sejauh mungkin dari kepentingan diri dan politik partai mereka, sehingga bisa menyelesaikan persoalan secara tulus dan tuntas sampai ke akar-akarnya dalam suatu jalur ke arah perwujudan visi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini. Karena berpikir projektif merupakan bagian utama dari kualitas seorang negarawan, tampaknya sekarang ini harapan akan munculnya para negarawan dengan visi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia di masa depan masih hanya sebatas mimpi.

Oleh Jannus TH Siahaan, Mahasiswa Program S-3 bidang Sosiologi Pascasarjana FISIP Unpad
 Opini Media Indonesia 08 April 2010