07 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Mengelola PKL Kota Semarang

Mengelola PKL Kota Semarang

Selama ini penanganan yang dilakukan Pemkot terlihat tidak sinergis. Bahkan, koordinasi antarinstansi lemah sehingga masing-masing pihak berkesan berjalan sendiri-sendiri

PEDAGANG kaki lima (PKL) masih dianggap sebagai salah satu masalah bagi kehidupan perkotaan, termasuk di Kota Semarang. Padahal, problema tersebut hanya merupakan imbas urbanisasi, lonjakan pengangguran, serta tingginya tuntutan ekonomi yang memaksa manusia kota kreatif untuk berusaha di bidang ekonomi.


Pengelolaan PKL secara tepat memungkinkan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang menyulap kekumuhan menjadi sumber pendapatan daerah. Sayangnya, Pemkot tak pernah memperhatikan hal itu sehingga, penanganannya cenderung menggunakan cara ringkas, dengan kekerasan.
Hal ini terjadi pada pembongkaran paksa PKL Sampangan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berakhir ricuh (SM, 13/03/10). Bila masalah PKL tak serius diperhatikan, amuk antara pedagang dan aparat akan sering terjadi. Belum lagi tarik ulur penataan dan penertiban PKL di Tlogosari yang berlarut-larut. (SM, 12/03/10).

Mengingat jumlah PKL di Semarang tidak berkurang dan justru meningkat, rencana untuk meniadakan mereka dari wilayah Semarang hampir dirasa mustahil. Untuk itu, Pemkot perlu memikirkan strategi penataannya secara menyeluruh untuk mengendalikan keberadaan nereka. Selama ini penanganan yang dilakukan Pemkot terlihat tidak sinergis. Pemkot dinilai tidak memiliki konsep yang menyeluruh. Bahkan, koordinasi antarinstansi lemah sehingga masing-masing instansi berkesan berjalan sendiri-sendiri.

Kebijakan utama pengelolaan PKL harus meliputi penataan, pembinaan, dan penertiban. Penataan berarti mengelola secara fisik agar mereka lebih rapih teratur. Pembinaan mengasumsikan bahwa bisnis dan karakter pedagang perlu dibangun dan dikembangkan dengan memberi mereka bimbingan dan penyuluhan, termasuk informasi tentang peraturan dan tanggung jawabnya dalam memelihara ketertiban.

Penertiban, merupakan kebijakan yang dilakukan dalam upaya memaksa mereka untuk pindah atau merelokasi pedagang ke tempat baru yang disusun secara persuasif dengan melibatkan kelompok-kelompok pedagang itu sendiri.
Semarang perlu menimba ilmu dari Kota Solo. Solo dapat menata PKL di Jalan Slamet Riyadi dan juga membangun Galabo sebagai tempat kuliner yang menarik. Kebijakan yang pro-PKL harus diawali dengan adanya keberpihakan pada nasib rakyat kecil dan pengakuan bahwa pedagang kecil itu adalah napas dari kehidupan perkotaan yang tidak bisa dihilangkan. Realitas ini tentunya harus diperhitungkan dalam alokasi ruang. Karena itu, Pemkot perlu memiliki visi yang jelas tentang tata ruang yang bisa mengakomodasi keberadaan pedagang tersebut.
Aturan Zonasi Dalam perda sudah seharusnya ada aturan tentang alokasi ruang perkotaan ataupun aturan zonasi yang akan memberikan panduan mana lokasi yang boleh dan tidak boleh dijadikan tempat berjualan. Beberapa kawasan dapat dikembangkan menjadi zona-zona pedagang dengan jenis dagangan tertentu seperti pusat kuliner, pusat kerajinan, pusat onderdil, dan pusat barang bekas. Keberadaan kawasan pedagang harus didukung dengan fasilitas publik yang lain seperti area parkir, jalur pejalan kaki, lampu penerangan, air bersih, dan utilitas lingkungan perkotaan lainnya.

Kota Semarang sebenarnya telah memiliki Perda Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda ini sudah digunakan sebagai pijakan penerapan regulasi-regulasi seperti surat edaran dan keputusan wali kota. Dalam Pasal 6 disebutkan hak, kewajiban dan larangan yang harusnya dapat tersosialisasi dengan baik sampai ke lapisan paling bawah. Jangan sampai perda ini membelenggu keberadaan dan pengaturan pedagang.

Sudah saatnya Semarang memiliki database PKL yang lengkap dan selalu up to date secara periodik, minimal tentang berapa jumlah di tiap ruas jalan, jenis barang yang dijual, serta biodata tentang pemiliknya ataupun pekerja yang terlibat. Tanpa data yang jelas, mustahil Pemkot bisa memahami apa masalah riil yang menjadi persoalan pedagang tersebut.Memang, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama antara Pemkot dan pedagang. Pemkot berkepentingan untuk menata demi keindahan kota, dan pedagang berkepentingan untuk mendapatkan pendapatan dari berjualan itu. Karena itu, kedua pihak mestinya saling mengerti dengan kepentingan masing-masing. Pada dasarnya, pedagang telah memberikan kontribusi bagi pemasukan kas daerah, melalui retribusi. (10)

— Sukawi, dosen arsitektur dan Sekretaris Program Diploma Desain Arsitektur Undip


Wacana Suara Merdeka 8 April 2010