12 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Keunggulan Jati Diri Universitas

Keunggulan Jati Diri Universitas

Keunggulan universitas idealnya tak diukur dari kehebatannya sebagai lembaga melainkan kemampuannya membekali manusia muda dengan nilai dan kemampuan mencapai tujuan hidup

MESKIPUN diberlakukan sejak hari pertama tahun macan ini, saat sekarang rasanya genderang ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) masih bertalu-talu di ruang publik negeri ini. Rasa gamang dan khawatir menghadapi era perdagangan bebas itu serta merta melahirkan seekor kambing hitam, yaitu ‘’daya saing’’.


Seolah dunia bukanlah sebuah tamansari melainkan lintasan balap, di mana masing-masing ‘’pembalap’’ harus saling kejar untuk mencapai garis finis. Dalam lintasan balap yang dicari adalah sang juara bukan kemenangan bersama.

Saat ini, demam daya saing rupanya juga tengah melanda universitas-universitas di negeri ini. Untuk membahas salah satu tantangan globalisasi ini, penulis tertarik pada pandangan Horward Gardner, guru besar kognisi dan pendidikan di Universitas Harvard. Menurutnya, institusi-institusi pendidikan di seluruh dunia sebenarnya belum siap menghadapi arus kuat perubahan yang tengah berlangsung saat ini, terutama globalisasi.

Memang masyarakat bisa saja terkecoh oleh slogan-slogan keren (buzzwords) globalisasi, seperti  world class university, interdisciplinary curricula, the knowledge economy —yang nyaris digunakan serentak oleh institusi-institusi pendidikan di seantero dunia. Slogan-slogan itu mencerminkan betapa lembaga-lembaga pendidikan hanya menyentuh kulit proses pendidikan karena melupakan unsur nilai dan tujuan hidup manusia. Dalam ungkapan Gardner (2006) pendidikan formal saat ini masih terjebak dalam proses menyiapkan peserta didiknya untuk dunia masa lalu (the world of the past), bukan untuk kemungkinan-kemungkinan dunia masa depan (possible worlds of the future).

Keunggulan sebuah universitas idealnya tidak diukur dari kehebatan dirinya sebagai lembaga melainkan dari kemampuannya membekali manusia-manusia muda dengan nilai-nilai dan kemampuan untuk mencapai tujuan hidup. Dan jangan pernah dilupakan bahwa setiap manusia pada dasarnya unik sehingga tidak ada standar atau ukuran yang bisa menilai semua orang secara sempurna.

Saat ini dunia pendidikan kita diwarnai oleh semakin banyaknya universitas swasta dan semakin tidak jelasnya mekanisme penerimaan mahasiswa di universitas- universitas negeri yang berujung pada semakin ketatnya perebutan ‘’kue’’ mahasiswa baru. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit atau mustahil untuk sebuah universitas memperoleh asupan mahasiswa dengan kualitas akademik yang merata. Yang umum terjadi adalah adanya dua atau tiga kelompok mahasiswa baru dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda.

Setiap universitas ditantang untuk dapat mentranformasikan keragaman kualitas asupan mahasiswa menjadi sebuah keunggulan. Untuk bisa mewujudkannya, yang pertama harus dilakukan adalah perubahan cara pandang terhadap keunggulan itu sendiri. Keunggulan dalam cara pandang konvensional adalah keunggulan milik pengibar bendera (flag carriers) —segelintir mahasiswa cemerlang. Dalam cara pandang baru, keunggulan bukan hanya menjadi privilege mereka yang cemerlang (excellence for the excellent) melainkan untuk semua (excellence for all).

Cara pandang konvensional itulah yang menolak keras asupan mahasiswa baru yang masuk kategori tidak cemerlang, sehingga melahirkan adagium sinis dan sarkastik GIGO (garbage in, garbage out). Cara pandang yang baru justru menempatkan kemampuan mengubah asupan yang biasa-biasa menjadi lulusan yang istimewa sebagai keunggulan. Adagium GIGO selayaknya diubah menjadi lebih organik dan memberdayakan yaitu dari benih menjadi tanaman yang dapat terus tumbuh atau SISO (seed in, sapling out).     

Untuk dapat mewujudkan SISO diperlukan proses pembelajaran yang memberdayakan (empowering learning process). Dalam proses pemberdayaan ini, curahan waktu dan tenaga saja tidaklah mencukupi, para dosen juga harus terus-menerus mengasah empati. Dalam interaksi dengan para mahasiswanya seorang dosen berperan sebagai mentor yang dituntut memiliki sejumlah kualitas, antara lain sebagai teman sekaligus pembimbing, lebih matang, otoritas akademik, pengasuh, dan sepenuh hati (friend/counselor, older, authority in field, nurturer, respectful, devoted) (Widianarko, 2007).
Peran Dosen Saya optimistis bahwa pola interaksi akademik untuk mewujudkan excellence for all tersebut dapat diciptakan. Salah satu alasan utamanya terpulang pada sisi kemanusiaan para dosen. Pada dasarnya manusia ”mewarisi” perilaku altrusitik ñ rela berkorban untuk kepentingan pihak lain. Hal ini bukan berarti bahwa manusia pada dasarnya baik. Manusia pada dasarnya rumit (complicated). Setiap saat manusia selalu ”terseret” untuk memenuhi kebutuhan personal sekaligus kepuasan moralnya. Di samping sadar akan kebutuhannya sendiri pada saat yang sama manusia juga sadar akan keutuhan orang lain dan akan ”terseret” untuk bertindak altruistik. Manusia adalah mahluk dua dimensi yang terus terombang-ambing oleh egoisme dan altruisme.

Memberdayakan mahasiswa bukannya tanpa îimbalanî sama sekali bagi para dosen. Secara alami, seorang dosen akan mengalami apa yang disebut oleh Dooley et al. (2004) sebagai personal enjoyment atau the feel good effect ketika menyaksikan mahasiswa yang dibimbingnya berhasil. Sejumlah fakta ilmiah termutakhir yang dihimpun oleh Stephen Post dan Jill Neimark (2007) dari Institute for Research on Unlimited Love (IRUL) menunjukkan bahwa perbuatan baik, terutama pemberian atau pengorbanan untuk orang lain, ternyata berasosiasi kuat dengan rasa damai, kesehatan dan bahkan umur panjang sang pelaku.  

Untuk mewujudkan pembelajaran yang mengarah pada excellence for all ini tentu bukan hanya diperlukan perubahan cara pandang, baik di pihak pengelola universitas, fakultas maupun individu dosen. Interaksi yang baik memerlukan lingkungan pembelajaran yang baik, begitu pula interaksi yang semakin bermutu memerlukan lingkungan belajar yang lebih bermutu pula.

Mungkin kita dapat memetik pelajaran dari pengalaman Uri Treisman, profesor matematik di Universitas California ñ Berkley, seperti diceritakan oleh OíBrien (1998) berikut ini: Profesor Uri Treisman sangat terusik mendapati kenyataan para mahasiswa berkulit hitam peserta kuliah dasar-dasar kalkulusnya memperoleh nilai yang sangat jelek. Semula Uri menduga hasil buruk itu berhubungan dengan faktor-faktor standar seperti pengalaman sekolah menengah yang buruk, kurangnya dorongan orang tua, kesulitan keuangan, dan sebagainya. Ternyata, Uri sama sekali tidak menemukan korelasi yang ia duga.

Mahasiswa kulit hitam dengan pengalaman sekolah menengah yang baik ternyata juga memperoleh nilai jelek seperti rekan-rekannya yang memiliki pengalaman sekolah menengah yang biasa-biasa saja (mediocre). Begitu pula, faktor ekonomi dan orang tua sama sekali tidak berkorelasi. Uri tidak langsung menyerah. Ia kemudian melakukan riset kecil dengan memilih kelompok mahasiswa China, yang semuanya memperoleh nilai bagus, sebagai pembanding (control).

Ternyata Uri menemukan rahasianya. Para mahasiswa China suka bekerja dalam kelompok (work gang), sebaliknya para mahasiswa kulit hitam cenderung bekerja mandiri. Berdasarkan temuannya, Uri lantas mengubah kondisi dan tata letak kelas serta menerapkan sistem pembelajaran kelompok (cohort learning). Tak berapa lama kemudian ternyata prestasi para mahasiswa kulit hitam meningkat luar biasa. 

Profesor Treisman telah membuktikan bahwa ‘’hanya’’ dengan memperbaiki kondisi pembelajaran (condition of learning) keunggulan untuk semua dapat diwujudkan. Pertanyaannya sekarang adalah apakah  di tengah pragmatisme dunia pendidikan di Indonesia saat ini, masih adakah empati dan kemauan para dosen untuk melakukannya? (10)

— Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata Semarang, anggota Dewan Pakar Budi Santoso Foundation

Wacana Suara Merdeka 13 Maret 2010