12 Maret 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Fenomena Terorisme

Fenomena Terorisme

Oleh Dini Dewi Heniarti

Kita kembali dikejutkan dengan tertangkapnya Dulmatin tersangka Bom Bali I oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia di Pamulang pada 9 Maret 2010. Angkat topi untuk Kepolisian RI atas prestasi ini.
Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu, sekelompok individu, dan suatu organisasi. Terorisme dirasakan sebagai kejahatan luar biasa karena penerapan target yang bersifat acak (random target, target nonselektif), sulit diprediksi, penggunaan senjata-senjata canggih, bahkan kadang menggunakan alat yang tidak dipertimbangkan sebagai peralatan perang dan sering melibatkan kejahatan transnasional serta jaringan antarnegara. Pelaku tindakan teror biasanya adalah pelaku yang merupakan bagian dari organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau keyakinan tertentu.


Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan, tindakan teror bisa dilakukan dengan menyerang akses informasi dan data informatika (cyber terrorism). Unsur perbuatan sangat terkait dengan akibat yang diharapkan yaitu munculnya ketakutan atau korban secara massal, memaksa kepada pihak lain agar melakukan sesuatu, misalnya menyediakan dana untuk perjuangan kelompok, pembebasan tawanan, dan pembatalan kebijakan tertentu. Terdapat juga terorisme yang bersifat nasional atau domestik yang dinamakan single issue terrorist yang menunjuk pada kelompok yang menggunakan taktik ekstremis untuk mendukung isu tertentu, misalnya motif ketidaksenangan terhadap teknologi.
Aksi terorisme berlaku indiskriminatif terhadap warga biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai aksi teror, bahkan pada instalasi negara yang dipandang sebagai target yang sah. Kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam situasi isolasi di mana fakta-fakta menunjukkan, teorisme sulit dipisahkan dari berkembangnya organisasi kejahatan transnasional terorganisasi dalam beragam bentuknya seperti money laundering, perdagangan ilegal obat obat bius, dan perdagangan ilegal senjata api. Terorisme merupakan kejahatan internasional karena dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia, mengguncangkan hati nurani manusia, dan memengaruhi lebih dari satu negara.
Kelompok terorisme di berbagai tempat di dunia dengan cermat memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan perkembangan pesat teknologi dan komunikasi untuk mencapai tujuannya. Di samping menggunakan metode-metode klasik, aksi-aksi terorisme memiliki potensi menciptakan kerusakan dan korban jiwa lebih besar. Bahkan, terbuka kemungkinan penggunaan senjata pemusnah massal seperti senjata kimia dan biologi. Fenomena kasus-kasus terorisme membenarkan pendapat, terorisme tidak identik dengan aktivitas agama tertentu. Terdapat pula kelompok teroris nonagama seperti African National Congress (Afrika Selatan) yang pada mulanya memperjuangkan hak-hak kulit hitam tetapi akhirnya menempuh jalan teror, lalu Armed Forces of Columbia yang merupakan sayap militer komunis.
Dari pelbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan perang terhadap teorisme, terbukti bahwa dunia Islam sangat mengutuk terorisme. The Arab Convention on the Suppresion of Terrorism dan Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism merupakan dua peristiwa penting kepedulian dunia Islam.
Masyarakat internasional maupun regional telah melakukan berbagai upaya secara sistematik dan komprehensif terhadap aksi terorisme. Namun, seyogianya kebijakan kontraterorisme harus tetap memperhatikan mekanisme kelayakan demokratik. Tindakan kontrateror untuk mencegah (preventive dan preemtive measure) terjadinya teror bukan untuk memberangus kebebasan rakyat dengan memperhatikan lingkup fungsi utama aparat kepolisian, BIN, dan TNI. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang terperinci mengenai code of conduct dan rule of engangement. Pada dasarnya pengaturan antiterorisme tidak akan memadai jika hanya dalam satu undang-undang. Di samping langkah-langkah represif perlu diatur langkah preventif (counter terrorism measure) yang komprehensif seperti pencegahan infiltrasi elemen teroris dari berbagai negara. Pada tataran yang lebih operasional, pencegahan bisa dilakukan dengan deteksi dini untuk menghindari dan menggagalkan aksi teror. Misalnya dengan mekanisme kontrol terhadap peredaran bahan peledak dan senjata api.
Pengaturan penanggulangan terorisme meliputi dua aspek yaitu pencegahan (anti) dan pemberantasan (kontra). Tindakan-tindakan memerangi, membasmi, dan eliminasi terorisme yang bersifat represif harus disertai dengan langkah-langkah pencegahan yang memadai seperti pengamanan wilayah teritorial, kerja sama antarnegara, menyempurnakan sistem deteksi, memperkuat sistem prosedur pengawasan, memperkuat mekanisme pengamanan orang-orang penting dan instalasi vital, peningkatan sistem koordinasi dan pengamanan serta informasi. Pencegahan tidak bisa dilakukan melalui pendekatan hukum saja, tetapi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Pencegahan harus merupakan kebijakan yang mengeliminasi akar permasalahan. Usaha berbagai pihak untuk memahami akar permasalahan dari terorisme menyimpulkan persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan merupakan persoalan paling mendasar yang harus diselesaikan. Bahkan, fenomena globalisasi menjadi faktor signifikan yang menjadi kontributor terjadinya terorisme. ***
Penulis, kandidat doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran. Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Unisba.

Opini Pikiran Rakyat 13 Maret 2010