12 Maret 2010

» Home » Suara Merdeka » Terorisme dan Posisi Dilematis

Terorisme dan Posisi Dilematis

DENSUS 88 Polri kembali menangkap teroris di wilayah Pamulang, Tangerang, Provinsi Banten, Selasa, 9 Maret 2010. Tiga teroris tewas dalam penyergapan di warnet Multiplus Jalan Siliwangi dan di rumah Dokter Fauzi, Jalan Setiabudi yang juga ditemukan beberapa dokumen tentang teror.

Polri memastikan Dulmatin tewas. Buron itu sudah lama menjadi target Densus 88, setelah teror Bom Bali I namanya ikut disebut-sebut  sebagai pelaku beberapa kasus bom di Indonesia. Dulmatin yang memiliki nama asli Joko Pitono, lahir di Pemalang ini adalah ahli elektronik yang pernah berlatih di kamp Al- qaeda Afghanistan dan pernah  mengajar di Ponpes Luqmanil Hakim, Johor, Malaysia (SM, 10/03/2010).


Terlepas dari sosok Dulmatin beberapa isu juga berkembang seputar penangkapan pelaku teror yaitu terkait dengan terorisme di Nanggroe Aceh Darussalam dan juga terkait dengan rencana kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia.

Penyergapan teroris di beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat internasional. Bahkan AS akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang berhasil menunjukkan tempat persembunyian para pelaku teror di manapun dia berada. Ternyata AS masih ’’semangat’’ untuk membasmi teroris sampai ke akar-akarnya. Terorisme sendiri menjadi penting sejak peristiwa WTC 11 September 2001 di AS. Kampanye antiterorisme yang dilancarkan Presiden Bush telah menjadikan Asia Tenggara sebagai front kedua setelah Afghanistan (Bambang Cipto, 2007).

Mengapa wilayah Asia Tenggara menjadi target kedua dalam kampanye antiteroris AS? Pertanyaan ini mungkin tidak asing lagi. Setidaknya ada dua hal, yaitu pertama, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah Islam. Walaupun sudah banyak sanggahan tentang Islam di kawasan Asia Tenggara, tetap saja masyarakat internasional melihat kawasan ini sebagai sarang teroris.

Kedua, kenyataannya memang dikawasan ini terdapat beberapa kelompok minoritas Islam yang cenderung keras, seperti yang sering kita dengar di Filipina ada minoritas Islam Moro yang juga sering bermasalah dengan pemerintahnya dan sering disebut-sebut juga sebagai tempat persembunyian para teroris yang bekerja sama dengan jaringan teroris yang ada di Malaysia dan Indonesia.

Bahkan kedua negara sudah menerapkan Internal Security Act (ISA) atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri. Undang-undang ini mirip UU Antisubversif pada masa Orba di Indonesia. Maka wacana ISA di Indonesia sempat ditentang banyak kalangan karena dinilai sebagai langkah mundur bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Munculnya kelompok-kelompok Islam aliran keras di Indonesia, setelah era Orba seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir dan Laskar Jihad memicu masyarakat Internasional, khususnya AS, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap gerakan kelompok-kelompok ini di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung, terkait dengan terorisme.
Posisi Dilematis Kampanye antiterorisme yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya yang dikumandangkan sejak 2001 membuat banyak negara muslim berada dalam posisi dilematis, terutama dalam kerangka proses demokratisasi, yaitu:  pertama, pada tataran wacana perbincangan mengenai tema-tema demokrasi di berbagai negara muslim mengalami stagnasi. Wacana demokrasi bergeser ke isu terorisme yang tidak banyak memberikan manfaat bagi demokrasi.

Kedua, kampanye antiterorisme menimbulkan kesulitan bagi pemerintah negara-negara muslim untuk menyusun kebijakan politik dalam negeri. Dalam tataran ide, semua negara muslim setuju dengan kampanye tersebut, karena terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak identik dengan negara dan agama tertentu, sehingga teroris menjadi musuh bersama semua negara.
Namun, karena sejak awal terbangun citra, terorisme terkait erat dengan Islam radikal, maka banyak pemerintah negara-negara Islam kesulitan menentukan kebijakan dalam negerinya. Kesulitan ini terjadi karena negara-negara muslim memiliki ketergantungan yang amat besar di bidang ekonomi, politik dan militer AS.

Sementara pemerintah negara-negara muslim juga tidak mungkin begitu saja mengabaikan kekuatan politik muslim domestik dan bersedia menuruti kehendak AS untuk memerangi kelompok-kelompok Islam radikal di dalam negeri. Akibatnya muncul tindakan yang berbeda di masing-masing negara, khususnya Asia Tenggara. Misalnya saja Indonesia lebih memilih bekerja sama dengan AFP, FBI dan informasi dari negara lain untuk memberantas teroris. Lain halnya dengan Malaysia dan Singapura lebih memilih untuk menerapkan ISA.

Ketiga, isu terorisme telah menjadikan isu-isu tentang kelompok minoritas muslim di banyak negara nonmuslim menjadi terabaikan. Beberapa rezim seolah menjadi pembonceng gratisan (free rider) dan menggunakan isu terorisme untuk menekan kaum minoritas muslim, seperti di Rusia berusaha untuk menghancurkan minoritas muslim Chechnya, RRC dengan muslim Xinjiang, Filipina dengan Moro, bahkan Israel yang seolah mendapat alasan bahwa yang mereka lawan bukan sebuah bangsa Palestina yang menuntut hak, tetapi perang melawan kaum muslim teroris.

Memang di negara-negara itu konflik yang melibatkan kaum minoritas muslim telah terjadi sejak lama. Namun konflik itu menjadi berbeda ketika pemerintah AS bersedia memberikan bantuan keuangan dan militer untuk memerangi terorisme. Dalam hal ini, AS tidak lagi menekankan isu-isu demokratisasi dan HAM sebagai landasan kebijakan politik luar negeri.

Berbagai kontroversi pendapat yang ada mengenai terorisme, pemerintah Indonesia harus bisa bersikap hati-hati dalam membuat kebijakan-kebijakannya. Apalagi sejak awal isu terorisme mencuat, Indonesia sudah menjadi bagian dari perlawanan terhadap terorisme internasional. Indonesia dianggap sebagai komponen penting dari upaya memerangi terorisme karena posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim dan dengan peran politik organisasi-organisasi Islam yang semakin meningkat sejak runtuhnya rezim Soeharto.

Meskipun menolak tuduhan bahwa Indonesia sebagai tempat subur bagi kegiatan teroris, kenyataannya kegiatan teroris masih tetap aktif di Indonesia, terbukti dengan penyergapan Densus 88 di wilayah Aceh dan Pamulang Banten belum lama ini. Hal Ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan juga kerja sama dengan semua pihak, khususnya masyarakat untuk tetap aktif.

Bagaimanapun citra Indonesia tetap dipertaruhkan di mata masyarakat internasional, dan tercapainya Indonesia yang aman dan nyaman untuk ditempati, masih meninggalkan catatan tersendiri untuk tetap direnungkan dan diusahakan.(10)

— Anna Yulia Hartati SIP MA, peneliti pada Laboratorium Diplomasi, dan staf pengajar FISIP/Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang

Wacana Suara Merdeka 13 Maret 2010