22 November 2009

» Home » Media Indonesia » Sumpah

Sumpah

Hari-hari penuh sumpah karena pertikaian KPK, polisi, dan kejaksaan rupanya masuk ke rongga pikiran anak-anak di sekolah. Tidak seperti Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang penuh heroisme dan selalu diperingati anak-anak di sekolah. Sumpah para petinggi Polri dan KPK di layar TV membuat beberapa anak di sekolah secara kreatif menggali lebih dalam makna sumpah sesungguhnya. Misalnya, mereka mencoba membuat pertanyaan seperti "Apa bedanya sumpah Susno Duaji ketika di DPR dengan M Jasin (KPK), pejabat kejaksaan, dan sumpah pocong?"

Jawaban nakal pertama bilang bahwa sumpah Susno Duaji sinyalnya kurang kuat, karena hanya 2G (baca: Duaji), sedangkan sumpah kejaksaan lebih ringan alias pendek sinyal, yaitu hanya 1G alias Supandji. Sumpah M Jasin dari KPK memiliki kebenaran karena sudah teruji alias 3G. Menurut anak-anak di sekolah, sumpah pocong terlihat lebih alami, karena media yang digunakan adalah sesaji alias sesat-G. Begitulah cara ekspresi dalam komunikasi keseharian anak-anak di sekolah yang beredar dari SMS ke SMS. Edu membaca dengan amat jelas bahwa fenomena sumpah ini ditanggapi dengan dingin oleh anak-anak di sekolah, bahkan seperti ada proses desakralisasi sumpah yang sebelumnya memiliki makna agung karena membawa nama Tuhan.
Beberapa siswa di Aceh bilang bahwa sumpah Pak Susno sebagai seorang muslim tak bernas, karena dia tidak menggunakan huruf sumpah (harful qasam) yang terdiri dari huruf wa, ba, dan ta. Karena itu secara bahasa (lughowi) seharusnya sumpah dalam keyakinan umat Islam haruslah berbunyi dengan kalimat Wallahi, Billahi, dan Tallahi. Kalimat sumpah didahului oleh huruf wa, ba, dan ta. Tetapi yang diucapkan oleh Susno Duaji ketika bersumpah di hadapan peserta rapat kerja dengan Komisi III DPR agak aneh, karena dia mengucap sumpah dengan kalimat "Lillahi Ta'ala". Padahal dalam tradisi muslim, kalimat Lillahi ta'ala selalu berhubungan dengan sebuah keikhlasan karena artinya menjadi karena Allah, bukan demi Allah seperti sumpah dengan menggunakan harful qasam.
Dengan kalimat sumpah seperti itu, beberapa orang ustaz di pesantren dan madrasah juga terheran dan berkomentar lucu, jangan-jangan Pak Susno ikhlas menerima tuduhan telah menerima uang dari kasus Bank Century. Berbeda sekali dengan sumpah M Jasin dari KPK yang kita saksikan di salah satu stasiun TV, sumpahnya berbunyi sangat terstruktur, baik secara bahasa maupun logika. Pengucapannya pun sangat tegas disertai dengan doa-doa yang mengiringi sumpah, serta bahasa tubuh yang sedikit tegang karena tangan kanannya memegang Alquran. Lantas pelajaran apa yang dapat diambil para guru dan siswa di sekolah melihat fenomena sumpah para pejabat ini?
Berita di media dalam sebulan terakhir ini telah mengajarkan banyak hal bagi para guru dan orang tua, bahwa kasus-kasus pelanggaran hukum yang kasatmata dilakukan oleh para penegak hukum pasti akan membawa implikasi negatif terhadap sikap mental para siswa. Dapat dibayangkan, berapa banyak anak para polisi, anak para jaksa, dan anak anggota KPK yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah sambil menyadari bahwa orang tua mereka bekerja pada lembaga negara yang kotor dan penuh sampah. Meski kita tak dapat menggeneralisasi persoalan korupsi ini secara serampangan, akibat sorotan media yang begitu gencar membuat kita pantas untuk prihatin terhadap kondisi mental anak-anak para polisi, jaksa, dan anggota KPK.
Dalam keseharian anak-anak di sekolah, tak jarang mereka bertanya bukankah para orang tua mereka yang bekerja sebagai polisi, jaksa, dan pegawai KPK juga sudah menjalani sumpah jabatan di kantor masing-masing? Logika anak-anak bilang, jika sudah disumpah jabatan, mengapa mereka masih harus bersumpah lagi di muka khalayak umum? Jangan-jangan kita sedang mengajarkan kebohongan atas nama sumpah kepada anak-anak kita. Jika ini yang terjadi, apa yang pernah ditulis oleh Spiegelman dan Corbett tentang komitmen dan netralitas pegawai negeri tidak lebih dari sebuah mitos. Jika seorang polisi, jaksa, dan pegawai KPK telah bersedia disumpah, itu artinya mereka bersedia untuk menerima kekuatan untuk mengambil risiko apa pun, termasuk memberikan hak publik untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan oleh pejabat bersangkutan. Atau jangan-jangan sumpah mereka hanya untuk menutupi kecenderungan intrinsik dan sisi gelap manusia yang memiliki kekuasaan, persis seperti adagium Lord Acton bahwa 'power tends to corrupt, absolutely power tend to corrupt absolutely'.

(Ahmad Baedowi)
Colak Edu Media Indonesia 23 November 2009