Menyempitnya luas lahan pertanian seiring penyempitan penguasaan petani atas lahan pertanian menegaskan gejala ”konversi” lahan pertanian ke nonpertanian berbanding lurus dengan ”ploretarisasi” petani.
Tampaknya, inilah yang mendorong Suswono, Mentan baru, mengajukan agenda mendasar dan penting diapresiasi. Mentan berjanji menjalankan reforma agraria melalui koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) (Kompas, 23/10/2009).
Selama ini, reforma agraria ”dititipkan” Presiden Yudhoyono ke BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006. Salah satu tugas dan fungsi BPN ialah menjalankan reforma agraria yang setelah lebih dari tiga tahun berjalan terseok-seok. Penyebabnya, komitmen dan dukungan lembaga pemerintah yang lain yang terkait urusan agraria, termasuk Departemen Pertanian, terbilang minim.
Menyusul sinyal dari Mentan, ada sejumlah agenda penting lanjutan. Pertama, identifikasi subyek calon penerima manfaat program reforma agraria. Di sektor pertanian, petani miskin, tak bertanah, yang lahannya sempit, buruh tani, nelayan tradisional, dan masyarakat adat/lokal harus diprioritaskan.
Kedua, identifikasi tanah yang layak dijadikan obyek reforma agraria yang akan diterima oleh subyek miskin. Tanah-tanah subur yang selama ini ditelantarkan ”pemiliknya” perlu dibangkitkan dan diproyeksikan bagi kebutuhan rakyat miskin. Revisi PP No 36/1998 tentang tanah telantar harus menjadi agenda mendesak untuk dituntaskan.
Ketiga, mengembangkan mekanisme yang transparan, partisipatif, dan demokratis dalam menjalankan distribusi, redistribusi, dan konsolidasi tanah pertanian agar reforma agraria mencapai tujuan serta sampai target dan sasaran. Jika tujuan pokok menghadirkan keadilan agaria tanpa konsentrasi penguasaan tanah dan kekayaan alam di segelintir orang, ini harus dikawal jangan sampai melenceng.
Keempat, perlu reorientasi, reformulasi arah, fokus agenda, dan program pertanian. Orientasi dan formulasi lama cenderung ”produktivitas mengandalkan efisiensi” yang ditopang pembangunan pertanian bermodal besar dengan perspektif agrobisnis. Kelak, perlu rumusan lebih berkeadilan dengan ”produktivitas mengutamakan pemerataan” yang ditopang penguasaan dan pemilikan aset produktif tanah, modal dan sarana produksi pertanian oleh kaum miskin desa.
Kelima, dalam kebijakan pangan, Deptan perlu menggeser paradigma ketahanan pangan menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keseluruhan, Deptan bertanggung jawab menyediakan akses pada berbagai sarana dan input pertanian yang dibutuhkan petani miskin mengiringi program landreform.
Titik tekan agenda lanjutan bagi Deptan ada pada poin empat dan lima. Untuk ketiga poin sebelumnya, Deptan perlu berkoordinasi dengan BPN. Maka, posisi, fungsi, tugas, dan kewenangan BPN perlu diperkuat dan diperluas, termasuk dalam konteks ”penataan ruang”, guna memastikan program landreform sebagai inti reforma agraria agar dapat berjalan efektif dan terkoneksi dengan sektor lain.
Mengingat waktu yang tersedia bagi pemerintah tidak panjang (2009-2014), perlu aneka kebijakan yang sifatnya lompatan besar. Deptan sebagai lembaga pemerintah di sektor pertanian dan mengurus puluhan juta petani yang umumnya miskin butuh cara pikir dan tindak melompat jauh ke depan.
Sektor pertanian akan jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang, jika lompatan kebijakan itu gagal ditemukan. Gagal membangun sektor pertanian, maka gagal pula membangun fondasi eksistensi negeri agraris. Untuk itu, Mentan perlu melakukan lompatan dengan mengintegrasikan kebijakan pertanian dan kebijakan penataan struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain kemakmuran rakyat.
Menghubungkan kebijakan pertanian dengan reforma agraria. Inilah jantung dari tantangan terbesar sekaligus tugas mulia Mentan dan jajarannya. Mentan baru ditantang mengembalikan sektor pertanian sebagai primadona pembangunan yang membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan, sambil mengurai perangkap krisis pangan dan energi serta degradasi lingkungan akibat gurita kapitalisme dan pemanasan global, dan sistem perdagangan yang tak adil.
Di tangan jajaran pemerintahan terkait pertanian dan keagrariaanlah makna hakiki dari ”demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan” yang digaungkan Presiden Yudhoyono dapat dibumikan ke alam nyata, bukan dibumihanguskan ke alam mimpi tak berujung.
Opini Kompas 23 November 2009