Aliran Bengawan Solo yang membelah Solo dengan wilayah kabupaten di sekitarnya menjadi tolok ukur dari fenomena datangnya musim bencana banjir. Aliran sungai itu, manakala masih berwarna hitam pekat menandakan situasi aman, namun ketika sudah berwarna cokelat keruh dan debitnya menanjak
maka sinyal bencana banjir akan datang menyambangi masyarakat.
Rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo akibat erosi, penyalahgunaan fungsi lahan bantaran, pencemaran ekosistem sungai menjadi penanda “abadi” bahwa Kota menyejarah tersebut tidak akan pernah terbebas dari banjir.
Banjir kiriman dari hulu bersua dengan rusaknya infrastruktur sanitasi kota. Kerusakan infrastruktur sanitasi yang membuat wilayah di dalam Kota Solo menjadi zona banjir musiman.
Dalam kalkulasi spiritual para penganut mistik kejawen, Kota Solo dianggap tidak akan mengalami banjir yang parah jika tidak memiliki keterkaitan dengan faktor kosmologi politik. Banjir besar tahun 1966 dihubungkan dengan tragedi kemanusiaan pasca-G30S/ PKI.
Namun kalkulasi spiritual tersebut mengalami penumpulan kesahihan, ketika realitas ekologi kota dan ekosistem Bengawan Solo dan anak sungainya mengalami kerusakan secara perlahan akibat ulah manusia.
Bengawan Solo yang tempo doeloe menjadi sarana transportasi dagang lintas kerajaan dan menjadi area wisata sungai bagi pembesar, dengan segala keelokan lingkungan kini menjadi unit penyebab bencana rutin yang berlangsung setiap paro musim.
Sungai tidak kuat lagi menahan volume air yang dialirkan dari hulu dan anak sungai disepanjang alur perjalanan menuju Laut Jawa.
Banjir memang menghantui masyarakat Solo ketika musim hujan menghampiri. Wilayah genangan banjir di kota bisa dipetakan menjadi beberapa zona.
Zona merah, adalah wilayah permukiman dan teritori administrasi kota yang selalu dan pasti menjadi wilayah genangan banjir abadi setiap tahunnya.
Terutama yang berada dalam alur bantaran Bengawan Solo dan anak sungai yang melintasi kota.
Wilayah Sangkrah, Semanggi, Serengan, Jebres adalah wilayah pelanggan banjir yang acapkali mengharuskan warga meninggalkan kampung untuk mencari wilayah pengungsian yang bebas dari banjir.] Zona hitam, adalah kawasan yang menjadi langganan banjir akibat luapan anak kali Bengawan Solo dan tata geografis kota yang rusak sanitasinya. Wilayah Nayu (Nusukan) dan Mojosongo yang dilewati Kali Anyar yang sejak era 80-an tetap menjadi wilayah impasan air Kali Anyar.
Degradasi Zona kuning, adalah wilayah di dalam Kota Solo yang kini juga menjadi wilayah rendaman banjir akibat degradasi saluran air dan sanitasi kota yang didukung oleh rusaknya DAS sungai-sungai kecil yang melintasi Kota Solo.
Wilayah Laweyan, Manahan, Pasar Gede yang dilintasi Kali Pepe dan Kali Laweyan saat ini juga potensial menjadi wilayah yang tidak aman dari limpahan (genangan) banjir.
Untuk mengatasi dampak sosio-ekonomi-kultural ancaman banjir, pemkot telah melakukan upaya maksimal meski masih dianggap kalangan pengkritik belum optimal.
Dari program relokasi penduduk bantaran Bengawan Solo dengan maksud mengurangi beban kawasan bantaran dari laju erosi akibat pemukiman dan kegiatan illegal ekonomi, perbaikan talud sungai anak Bengawan Solo, penggerukan dasar sungai, pembuatan tanggul baru, dan sebagainya.
Namun upaya pemkot tidak akan mampu menjawab sebuah pertanyaan kritis,” Kapan Solo terbebas dari banjir di musim penghujan?”.
Solo tidak akan terbebas dari bencana banjir apabila tidak ada situasi yang mendukung. Situasi yang mendukung tersebut adalah:
Pertama, DAS Bengawan Solo tidak mengalami proses rehabilitasi, reekologis, dan refungsionalisasi. Rehabilitasi dari laju erosi dan penyalahgunaan lahan yang tidak sesuai peruntukan.
Perbaikan ekologis dari pencemaran dan laju abrasi. Pemfungsian ulang sebagai wilayah penjaga aliran air yang benar-benar steril dari kepentingan ekonomi-sosial yang destruktif.
Kedua, perubahan paradigma pembangunan kota menjadi paradigma pembangunan yang menyelaraskan perbaikan tata kelola air dan sanitasi dengan agresivitas pembangunan fisik. Saat ini banyak bermunculan bangunan dan infrastruktur proekonomi yang mengabaikan program perbaikan sanitasi.
Ketiga, kesadaran publik dan pemangku kebijakan Kota untuk benar-benar mendukung program konservasi air dan lingkungan dalam berbagai jenjang aktivitas, sehingga memungkinkan adanya proses alamiah perbaikan tata kelola lingkungan sebagai solusi aktual penanggulangan banjir di masa depan.
Banjir di Solo yang mencapai titik puncak pada medio Desember 2007 dan awal Januari 2008-2009 menjadi penanda kota itu kehilangan salah satu karisma kulturalnya.
Karisma itu adalah bahwa kota perintis Kerajaan Islam Jawa tersebut tidak lagi dilindungi oleh “roh” alam mikroskosmos. Roh alam yang berdamai dengan masyarakat dan Kota. (10)
— Ari Kristianawati, guru SMAN 1 Sragen
Wacana Suara Merdeka 23 November 2009