BEBERAPA hari terakhir ini, berita seputar Banyumas di media massa dihiasi oleh banyaknya bangunan baru di wilayah Banyumas dan Purwokerto, yang diketahui tak berizin (mendirikan) bangunan (IMB).
Tak hanya bangunan pribadi, tetapi banyak bangunan dari kalangan bisnis yang juga tak menghiraukan pranata hukum itu.
Dari data Badan Penanaman Modal Banyumas (2009) disebutkan bahwa jumlah “pengemplang” IMB terus bertambah selama dua tahun terakhir. Jika tahun 2007-2008, ditemukan 52 kasus maka tahun ini sudah 109 kasus.
Jumlah itu baru ditemukan pada usaha mendirikan bangunan dari kalangan kolektif, unit usaha skala menengah dan belum diteliti jumlah pengemplang untuk kategori bangunan individu.
Kasus terakhir adalah bangunan tower telepon seluler di Desa Dukuwaluh, Kembaran dan tower tanpa izin di Kecamatan Purwokerto Utara yang pembangunannya berbuntut kisruh dengan warga sekitar, sehingga Satpol PP menyegel bangunan. (SM, 12/11/09).
Sebenarnya IMB adalah syarat mutlak sekaligus kebutuhan primer investasi. Ketidaktertiban dalam pengurusan dan tata kelola izin, bukan saja mencerminkan lemahnya sistem kontrol, tetapi juga minimnya kesadaran berbisnis yang bersih dan visioner dari segenap stakeholders investasi di Banyumas.
Pemkab Banyumas merasa telah melakukan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya secara benar sesuai prosedur hukum. Di pihak lain investor, masih menganggap birokrasi investasi cenderung bertele-tele sehingga menghambat minat investasi (SM, 9/11/09).
Kampanye Membangun visi dan misi sebagai daerah proinvestasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Berdasarkan paparan yang berulang kali dilakukan k Bupati Banyumas setelah k road show terhadap potensi investasi k, ternyata belum sepenuhnya diterapkembangkan justru oleh pelaku bisnis dan masyarakat itu sendiri.
Ada dua pendapat kontra produktif terkait masalah pengurusan izin yang berkembang di tengah publik. Pertama, pendapat bahwa mengurus izin perlu tetek bengek dan uba rampe yang tak perlu. Karena itu, banyak kaum usaha atau warga yang akhirnya kucing-kucingan untuk tetap mendirikan bangunan, meskipun izinnya belum rampung.
Padahal pemda sudah mewanti-wanti bahwa anggapan tersebut tidaklah benar, karena justru masyarakat dan beberapa kalangan pengusaha sendiri yang tak mau mengikuti prosedur yang berlaku dan berburuk sangka terhadap mekanisme.
Kedua, anggapan “bangun dulu, urus izin belakangan”, masih menjadi idiom baku di mata publik dan pelaku usaha umumnya mengingat banyak kasus serupa yang akhirnya “lulus”.
Anggapan inilah yang perlu diluruskan sekaligus perlu terus dikembangkan kampanye investasi dan tata kelola perizinan hingga tingkat akar rumput yang bermakna bukan saja menjadi pintu utama dan pertama mengkampanyekan prosedur, mekanisme, aturan main investasi dan IMB, tetapi juga menciptakan komunikasi yang intens antara publik, pelaku usaha dan regulator itu sendiri.
Diakui atau tidak, penyebarluasan informasi dan strategi komunikasi yang dibangun terkait masalah ini masih sangat terbatas baik dalam kuantitas apalagi kualitas.
Padahal seperti disebutkan pakar komunikasi pembangunan, Daniel Cole dalam bukunya “Strengthening Mass Communication on Development” (2002), konflik pembangunan di daerah-daerah yang selama ini terjadi bukanlah terjadi lantaran publik dan pelaku usaha antiregulasi dan ide-ide pembangunan yang dikembangkan elite daerah, tetapi semata-mata karena perbedaan persepsi dan visi terhadap isu-isu pembangunan daerah tersebut.
Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh
(1) kurang pahamnya publik menerjemahkan regulasi yang berkembang,
(2) tak tersedianya media komunikasi yang win-win solution,
(3) tak cukup infomasi dalam kampanye regulasi dan prosedur birokrasi terkini, dan
(4) kurang berfungsinya media-media yang berkembang di publik terkait dengan isu-isu pembangunan aktual.
Terkait dengan masalah ini, jika menengok kepada media dan sarana kampanye terkait masalah ini, memang terkesan masih sektoral, jauh dari nilai-nilai keterbukaan informasi seperti semangat yang selama dikobarkan.
Tengok saja misalnya bagaimana penjelasan, data dan informasi tentang apa, mengapa dan bagaimana berinvestasi dan mengurus administrasi IMB.
Misalnya, di media on-line yang ada di Banyumas. Dalam www.banyumaskab.go.id, sebagai satu-satunya situs pemkab yang masih dijadikan sumber rujukan utama dalam masalah ini, sulit ditemukan prosedur baku yang terstandar.(10)
— Tasroh, SS MPA MSc, pemerhati investasi dari Purwokerto dan alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
Wacana Suara Merdeka, 23 November 2009