22 November 2009

» Home » Kompas » Pajak Penjualan Jadi Sumber Pendapatan

Pajak Penjualan Jadi Sumber Pendapatan

Di bidang ekonomi, kita sering mengetahui adanya pendulum ke kiri dan kanan bagaikan bandul jam. Pendulum itu juga terjadi di dunia perpajakan internasional.
Suatu saat, Pajak Penjualan merupakan sumber pendapatan utama pemerintah. Untuk memaksimalkan pendapatan, pajak ini dikembangkan dengan varian lain, yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Namun, karena kompleksnya upaya pengumpulan, pendulum bergerak ke kanan di mana Pajak Penghasilan lalu mendapat dorongan besar sebagai sumber penghasilan utama.


Mengingat besarnya kebutuhan keuangan pemerintah di negara maju, Pajak Penghasilan diupayakan sebesar mungkin dengan meningkatkan tarif pajak disertai tingkat progresivitas tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir kita melihat pendulum bergerak kembali. Negara Hongkong dan Singapura merupakan pelopor pergerakan pendulum itu. Tarif Pajak Penghasilan diturunkan signifikan. Kedua negara itu seakan bersaing untuk menjadi yang paling kompetitif di bidang perpajakan sehingga akhirnya menarik banyak perusahaan untuk membukukan laba di negara itu melalui transfer pricing.
Sementara itu, bagi banyak individu, Singapura dimanfaatkan untuk menghindarkan pajak di dalam negeri yang tinggi. Keadaan itu memperkuat Singapura sebagai tempat menaruh dana oleh perusahaan maupun individu dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Negara lain yang juga berhasil menggerakkan pendulum itu adalah Rusia, di mana tarif Pajak Penghasilan dibuat rata, pada tingkat 13 persen saja. Ternyata kesederhanaan peraturan dan perhitungannya membuat Rusia mampu mengumpulkan pajak berkali lipat.
Indonesia
Indonesia sendiri merupakan contoh menarik dalam pendulum perpajakan. Dari pengandalan pada Pajak Penjualan di awal pembangunan, pendulum bergerak ke arah Pajak Penghasilan. Dalam RAPBN 2010 misalnya, target Pajak Penghasilan diharapkan mencapai Rp 340 triliun (termasuk PPH Migas).
Sementara Pajak Penjualan dan Pajak Pertambahan Nilai ditargetkan Rp 267 triliun. Komposisi semacam itu terjadi meski tarif Pajak Penghasilan sudah mengalami penurunan signifikan. Hanya dalam tiga tahun, tarif Pajak Penghasilan Badan diturunkan dari 30 persen menjadi 25 persen. Bahkan, perusahaan yang sahamnya terdaftar di pasar modal dan saham yang floating melebihi 40 persen mendapat insentif perpajakan lebih lanjut sebesar 5,0 persen sehingga tarif pajaknya menjadi 20 persen.
Pada tingkat ini tarif pajak menjadi kian kompetitif, mendekati tarif yang ada di Singapura. Keputusan menurunkan tarif Pajak Penghasilan itu merupakan keputusan amat berani dan patut diberikan apresiasi.
Melihat perkembangan itu, rasanya tepat waktu untuk merencanakan pergerakan pendulum baru, dengan mendorong sumber perpajakan dari Pajak Penjualan. Singapura menerapkan strategi itu dengan awalnya memperkenalkan goods and services tax (GST) yang tarifnya dimulai 3,0 persen tahun 1994. Perlahan, tarif GST itu lalu dinaikkan dan sejak 2007 menjadi 7,0 persen. Dengan demikian, sumber perpajakan Singapura menjadi lebih berimbang, di mana Pajak Penghasilan-nya amat kompetitif, sedangkan Pajak Penjualan menjadi sumber pendapatan yang kian penting.
Pajak Penjualan
Pajak Penjualan di Indonesia berpotensi luar biasa. Perekonomian Indonesia, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) pada harga yang berlaku (PDB nominal), mengalami pertumbuhan amat tinggi. Tahun 2008, saat PDB riil tumbuh 6,1 persen, PDB nominal tumbuh 25,4 persen. Itulah yang membuat PPN mengalami pertumbuhan tinggi. Rasio Pajak Penghasilan terhadap PPN yang semula 1,40 (2004) menjadi 1,12 (2009).
Melihat prospek perekonomian Indonesia pada masa mendatang, potensi pengembangan Pajak Penjualan akan kian besar. Tahun 2015, misalnya, PDB nominal Indonesia mungkin mencapai di atas Rp 10.000 triliun. Jumlah ini memungkinkan tercapainya penghasilan Pajak Penjualan lebih besar karena daya beli masyarakat akan memungkinkan terjadinya transaksi jual beli yang jumlahnya dua kali lipat dari yang ada kini, dan amat mungkin terjaring pajak itu.
Di tingkat bisnis ritel, kian banyak kegiatan jual beli yang dilakukan melalui modern trade, seperti pasar swalayan, toserba, dan minimarket. Sebuah perusahaan multinasional di bidang barang konsumsi mengatakan, komposisi penjualan mereka yang dilakukan melalui modern trade meningkat pesat dari sekitar 20 persen beberapa tahun lalu kini mendekati 50 persen.
Demikian pula bisnis hotel, restoran, dan hiburan lain tumbuh subur. Jenis perdagangan barang dan hiburan ini menggunakan administrasi lebih modern sehingga pengenaan Pajak Penjualan dan pengumpulannya jauh lebih mudah dilakukan.
Untuk memperkuat pergeseran itu, pemerintah dapat memulainya dengan sedikit menaikkan tarifnya, misalnya dari 10 persen menjadi 11 persen. Penaikan tarif itu rasanya tidak akan secara signifikan memengaruhi tingkat inflasi kita. Dalam jangka waktu lima tahun, tarif pajak itu dapat diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi hasil signifikan, tetapi tetap tidak menjadi beban. Dengan cara ini tarif Pajak Penghasilan dapat dibuat lebih kompetitif lagi pada tahun-tahun mendatang.

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo Pemerhati Ekonomi
Opini Kompas 23 November 2009