Abbas dikenal konsisten mengedepankan negosiasi penyelesaian Israel-Palestina.
Banyak yang mengaitkan keputusan itu dengan kekecewaan Abbas atas AS yang dinilai tidak mendukung perdamaian, seperti sikap AS dalam pembangunan permukiman Yahudi. Yang penting bagi Palestina—dibandingkan dengan mencari tahu alasan dan untuk apa keputusan itu diambil—adalah menyiapkan regenerasi kepemimpinan secara damai.
Sebagai tangan kanan Yasser Arafat, Abbas dianggap bagian rezim lama Palestina, menjadikan posisi politiknya sering dipertanyakan. Munculnya Marwan Barghouti, kandidat presiden dalam pemilu terdahulu, atau upaya kudeta oleh Mohammad Dahlan adalah salah satu contoh. Hal ini merupakan bagian konflik kelompok muda dan tua Fatah, berakar pada ketidakpuasan generasi muda Fatah terhadap ”pembantu Arafat”. Mundurnya Abbas dari politik Palestina akan membuka perubahan yang berdampak pembaruan kebijakan dan ide dasar perdamaian.
Tidak seperti hilangnya Arafat dari politik Palestina, pilihan untuk memberikan sinyal yang dilakukan Abbas akan dimanfaatkan untuk menjaga regenerasi berjalan lancar. Sebagai dasar, Abbas telah melakukan aneka perubahan, berpusat pada upaya membuka jalur politik bagi kelompok muda. Reformasi terhadap komite pusat atau dewan revolusioner dalam Fatah telah memberikan akses lebih besar bagi kemunculan generasi muda Fatah. Pelaksanaan kongres Fatah menjadi indikasi lain bagi regenerasi ala Abbas dalam tubuh Fatah.
Upaya regenerasi ini akan berdampak positif pada citra Fatah yang terkikis beberapa tahun terakhir karena korupsi dan mismanajemen. Pilihan ini akan meningkatkan daya tawar Fatah vis-à-vis Hamas dalam pemilu legislatif yang akan digelar hampir bersamaan. Menciptakan sinergi antara kelompok muda dan tua menjadi pekerjaan tersendiri.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait rencana Abu Mazen adalah program reformasi sistem ketatanegaraan. Salah satu kelemahan yang sering dimanfaatkan dalam perdamaian adalah dominasi peran presiden dalam sistem politik Palestina.
Proses perdamaian sering hadir sebagai one man show dari sisi Palestina. Pemusatan kekuasaan di tangan memungkinkan presiden mengontrol hasil perdamaian dalam bentuk apa pun tanpa perlu dikonsultasi dengan cabang-cabang kekuasaan lain. Akibatnya, keputusan berdamai sering dipandang mengingkari kebutuhan mendasar publik. Tidak jarang, keputusan berdamai menimbulkan perpecahan kian lebar. Situasi ini menjadi ciri utama politik perdamaian di Palestina sejak penandatanganan Oslo.
Kondisi perimbangan kekuasaan harus mulai ditumbuhkan untuk bisa menjadikan proses perdamaian sebagai urusan semua pihak. Meski hal ini akan menyulitkan negosiasi damai, penolakan terhadap hasil negosiasi damai akan menjadi minimal. Selain itu, langkah ini juga akan mampu memperbaiki perseteruan intra-Palestina yang sebenarnya berpusat pada keinginan untuk menggapai kekuasaan dan ketidaksepakatan mengenai skema perdamaian.
Kinerja Abbas dalam hal ini memang belum maksimal. Meski membuka saluran bagi masuknya berbagai kelompok di luar PLO untuk terlibat kehidupan demokrasi, beberapa pembenahan perlu dilakukan. Tantangan terbesar untuk program pembenahan ini, selain niat kuat politik, adalah gangguan kondisi eksternal. Rencana yang digulirkan Abbas bisa dijadikan pijakan untuk menumbuhkan niatan politik itu. Abbas akan dikenal sebagai penjaga proses transisi menuju Palestina yang lebih baik.
Selain itu, keputusan Abbas memunculkan dua tantangan mendesak untuk dilakukan.
Pertama, upaya untuk membangun kondisi yang kondusif di dalam negeri. Siapa pun bisa memanfaatkan keputusan Abbas, baik mereka yang ada di Fatah maupun Hamas, untuk memaksimalkan posisi politiknya menjelang pemilu. Kedewasaan untuk tidak mengambil keuntungan dengan kekerasan, atau memaksimalkan akumulasi sumber kekerasan, menjadi penting.
Dalam kebutuhan ini, peringatan dini Abbas harus dilihat sebagai kesempatan untuk bertarung di gelanggang politik sekaligus membangun jejaring dalam menghadapi pemilu secara fair. Upaya rekonsiliasi yang difasilitasi Mesir dapat diarahkan dalam kebutuhan ini.
Kedua, meyakinkan pihak luar, terutama donor. Proses perdamaian terikat aliran dana para donor. Mundurnya figur Abbas yang identik dengan perdamaian akan memunculkan tantangan untuk meyakinkan donor bahwa stabilitas di Palestina dan niatan untuk menggelar proses perdamaian akan tetap terjaga.
Keberhasilan dari upaya itu akan ditentukan kemampuan para pihak di Palestina untuk tetap teduh hingga pelaksanaan pemilu. Kebutuhan untuk menjaga kondisi teduh ini akan jadi kian sulit mengingat provokasi Israel terus berlangsung. Kemampuan aneka kelompok Palestina untuk menahan diri dari provokasi Israel menjadi hal penting.
Jika memang Abu Mazen memilih mengakhiri karier politiknya pada pemilu mendatang, hal itu harus dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk memperbarui proses perdamaian dan bukan sebagai sinyal kematian proses perdamaian.
Opini Kompas 23 November 2009