Pada perkembangan mutakhir kita menyaksikan komisi III DPR RI masih istikamah berseberangan dengan suara rakyat untuk mementahkan rekomendasi tim 8. Upaya untuk mementahkan rekomendasi tim 8 ini ternyata diamini oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian.
Bahkan Jaksa Agung menilai kalau tidak ada korelasi dengan hasil temuan penyidik, rekomendasi itu akan diabaikan. Bahkan lebih jauh menurut Jampidsus Kejagung, Marwan Effendi, Presiden saja tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan kasus pidana.
Kebutuhan Tim 8
Upaya untuk mementahkan rekomendasi Tim 8 oleh komisi III DPR RI sebetulnya sudah bisa dibaca sejak awal. Penolakan itu akan konsisten mulai dari rekomendasi sementara sampai rekomendasi final berupa tiga alternatif, yakni penerbitan surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP3), penghentian penuntutan di Kejagung dan deponeering.
Penulis tidak tahu ada kepentingan apa Komisi III begitu getol menolak hasil kesimpulan atau rekomendasi tim 8? Apakah ini seperti yang dikemukakan para wakil rakyat untuk membangun sistem hukum yang baik dan mendidik rakyat agar paham tentang penegakan hukum atau mereka sepakat untuk melemahkan KPK bersama pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana opini yang berkembang di masyarakat?
Hanya saja bertolak dari logika yang diberikan Ketua Komisi III DPR RI bahwa tim 8 harusnya cukup melaporkan ke Presiden dan tidak perlu mempublikasikan. Kita wajib mempertanyakan apakah ada larangan? Lebih dalam lagi apakah Komisi III DPR RI yang tidak memberi tugas kepada tim 8 juga berhak menolak rekomendasinya dan menilai tim 8 menyalahi prosedur? Kalau tidak memiliki hak, kenapa hal itu dilakukan? Lalu mewakili siapa sebenarnya Komisi III?
Upaya untuk mementahkan hasil rekomendasi tim 8 perlu didudukkan pada porsi yang benar. Berdasarkan penuturan tim 8 dibentuk karena ada anggapan dari masyarakat bahwa kasus penetapan tersangka dan penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah telah terjadi kriminalisasi dan rekayasa dari penegak hukum. Di pihak lain, Kepolisian dan Kejaksaan (penegak hukum) menilai sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Perbedaan persepsi yang begitu tajam di kalangan rakyat dengan penegak hukum itulah yang kemudian mendorong dibentuknya Tim 8.
Tugasnya mencari fakta-fakta hukum atas kasus yang mengundang perhatian jutaan rakyat tersebut.
Jika dasar pembentukan tim 8 adalah seperti itu lalu bagaimana logikanya kalau hasil rekomendasi itu harus disampaikan secara tertutup kepada penegak hukum? Bukankah penegak hukum dalam masalah ini termasuk pihak yang ‘’bersengketa’’ dan diragukan kinerjanya?
Selebihnya, bukankah pihak penegak hukum adalah termasuk pihak-pihak yang dimintai klarifikasi karena ada tuduhan merekayasa kasus Bibit-Chandra? Jika menjadi bagian dari pihak yang dimintai keterangan untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya, bagaimana mereka harus diserahi tugas dan kewenangan untuk menentukan kuat tidaknya bukti hukum, dilanjutkan atau tidaknya proses hukum? Bukankah kinerja Kepolisian dan Kejaksaan yang dipermasalahkan?
Dalam konteks perseteruan KPK vs Kepolisian-Kejaksaan sebenarnya telah terjadi distrust dalam penegakan hukum dan sekaligus lembaga penegak hukum.
Pada posisi seperti ini untuk menyelamatkan penegakan hukum dan sistem hukum diperlukan tim independen, dan itulah Tim 8. Tim yang dibentuk oleh presiden terdiri dari figur-figur berintegritas baik untuk bekerja secara objektif demi menjernihkan dan menemukan fakta hukum yang sesungguhnya.
Dengan demikian, secara logika dan prinsip penyelesaian masalah mestinya yang harus dipakai adalah hasil tim 8 bukan sebaliknya menolak dan mementahkan rekomendasinya.
Dengan menolak, mementahkan atau mempersoalkan hasil rekomendasi tim 8 berarti mengembalikan kasus pada posisi semula dan tidak mengalami kemajuan sama sekali. Ini artinya benang ruwet dalam penanganan kasus KPK vs Kepolisian-Kejaksaan tidak menemukan titik terang. Perekayasaan kasus yang ditemukan oleh Tim 8 dianulir begitu saja, lalu apa artinya dibentuk tim 8.
Bukankah sikap itu sudah melecehkan presiden sebagai pihak yang memberi mandat kepada Tim 8? Itu hanya akan menimbulkan amarah rakyat semakin besar dan meluas sebab kebenaran sudah tidak mendapatkan tempat.
Perpindahan Medan Seteru
Di tengah-tengah kondisi publik yang semakin menurun tingkat kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum dan lembaga perwakilan rakyat, kenapa hasil tim 8 itu tidak disikapi dengan kearifan. Sebab bagi masyarakat, hasil tim 8 itu ibarat setitik embun di musim kemarau. Kalau setitik embun itu kemudian dinapikan begitu saja, apakah itu merupakan sikap yang arif?
Semua pihak semestinya bisa berpikir dan berperilaku arif. Memang perlu disadari pula bahwa keinginan publik tidak selalu benar bahkan bisa kebablasan. Namun dalam konteks perseteruan KPK vs Kepolisian-Kejaksaan, hati nurani rakyat berada di pihak yang benar. Terbukti selaras dengan hasil temuan Tim 8. Jika demikian kondisinya, mengapa komisi III masih ingin mementahkannya?
Sikap Komisi III DPR RI dalam merespons hasil rekomendasi tim 8 disadari atau tidak telah memindah medan perseteruan yang awalnya KPK vs Kepolisian dan Kejaksaan, kini berubah menjadi perseteruan rakyat vs lembaga penegak hukumñDPR.
Medan perseteruannya semakin meluas. Dan jangan dianggap enteng sebab terbukti rakyat lewat dunia maya (Facebook) bisa menggalang kekuatan yang begitu besar dalam waktu singkat.
Di episode lain, persidangan kasus Antasari Azhar (AA) dengan saksi mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Pol Williardi Wizard dinyatakan bahwa kasus AA direkayasa. Lalu apalagi yang harus dibeberkan agar DPR RI khususnya komisi III agar percaya bahwa telah terjadi rekayasa dalam penahanan dan penetapan tersangkan Bibit-Chandra? (80)
—Jabir Alfaruqi, Koordinator KP2KKN Jawa Tengah
Wacana Suara Merdeka, Sabtu 14 Nopember 2009