14 November 2009

» Home » Kompas » Krisis Listrik (Re)-Publik

Krisis Listrik (Re)-Publik

Belakangan ini, selain berita yang menyentuh keadilan, perhatian media tentu saja masalah (pemadaman) listrik. Mengapa? Karena kini listrik sudah menjadi bagian kebutuhan dasar masyarakat.

Manajemen PLN menyatakan, secara menyeluruh kondisi sistem kelistrikan saat ini dalam keadaan ”siaga” dan ”defisit”. Namun, bahasa kedokteran mungkin lebih cocok dipakai, yakni situasi listrik kita dalam ”stadium darurat lanjut”. Barangkali yang dalam keadaan ”normal” hanya sistem kelistrikan di Bontang dan Batam. Artinya, di Bontang dan Batam tidak ada pemadaman dan cadangan operasi pasokan listrik lebih besar dari kapasitas unit pembangkit terbesar di daerah itu.
Kondisi sistem kelistrikan

Bila ditimbang dari ketersediaan pembangkit listrik dan beban, sistem Jawa-Madura-Bali seharusnya sudah normal mengingat daya mampu pembangkit wilayah ini sebesar 21.000 megawatt di atas beban puncak yang hanya 16.800 megawatt.

Keadaan defisit (pemadaman) seputar daerah Jakarta, Bekasi, Tangerang dilecut oleh terganggunya trafo Kembangan dan Cawang yang menyebabkan penyumbatan pasokan listrik dari kabel tegangan ekstra tinggi (500 kilovolt) ke kabel tegangan menengah (150 kilovolt). Upaya darurat untuk menyisipkan aliran dari arah utara Jakarta terkendala oleh gangguan trafo dan pembangkit Muara Karang.

Belum habis keluhan pelanggan listrik, baru-baru ini manajemen operasi PLN terpaksa mematikan arus listrik di Pusat Pengendalian Beban Jawa-Madura-Bali yang terletak di Gandul dan, sekali lagi, Kembangan. Hal ini dilakukan karena terdeteksi melelehnya isolator dan bagian kritis lain dari trafo pengatur beban.

Kabar buruk

Kabar buruk lanjutan minggu kedua November ini, terjadi penurunan daya mendadak dari pembangkit Paiton milik swasta dan Suralaya milik Indonesia Power. Kedua pembangkit ini berpotensi mengurangi pasokan listrik Jawa Timur-Barat-Banten. Upaya pemindahan cadangan trafo dari Jawa Timur ke Jakarta dan perawatan memerlukan waktu. Karena itu, pelanggan listrik masih harus siaga terkena giliran pemadaman hingga Desember 2009.

Wilayah Bali juga mengalami defisit. Kabel listrik dari Jawa hanya beroperasi dua dari empat yang pernah terpasang. Pembangkit listrik swasta panas bumi di Bedugul tak bisa diteruskan pembangunannya karena protes warga. Pembangunan listrik swasta berbahan bakar batu bara sebesar 380 megawatt di utara Bali, yang seharusnya mulai masuk jaringan akhir 2009, hingga kini baru sebatas pemasangan tiang pancang.

Bali akan relatif normal (siaga) pada Januari 2010 setelah selesainya perawatan pembangkit PLN Gilimanuk. Namun, bakal benar-benar normal dalam jangka panjang serta memenuhi permintaan pelanggan kelak tahun 2013. Kebutuhan itu terpenuhi setelah terpasangnya tambahan empat kabel laut dari Jawa dan (diharapkan) pasokan listrik swasta yang 600 megawatt.

Untuk wilayah luar Jawa-Bali, kendala utama yang terjadi adalah pada jumlah pasokan yang tidak memadai dibandingkan dengan permintaan yang naik pesat seiring pertumbuhan ekonomi.

Kontrak-kontrak listrik dari pengembang swasta sebagian besar gagal pasok dan upaya PLN membangun listrik melalui program 10.000 megawatt di luar Jawa baru akan selesai seluruhnya pada tahun 2011. Penanggulangan sementara defisit listrik luar Jawa dilakukan dengan menyewa pembangkit diesel. Tindakan ini terpaksa dilakukan PLN meski hal ini mengakibatkan melonjaknya biaya operasi dan jelas tak efisien.

Kendala investasi

Untuk meningkatkan kemampuan dan rasio elektrifikasi, kita menghadapi beberapa tantangan. Pertama, tarif listrik yang tidak bisa menutupi biaya operasi. Kedua, sistem subsidi yang hanya menutup biaya operasi tetapi tidak mendukung kemampuan investasi. Ketiga, kendala likuiditas PLN untuk investasi. Keempat, tingkat pengembalian aset yang rendah.

Tingkat pengembalian aset perusahaan utilitas, termasuk listrik, di Eropa dan Amerika Selatan berkisar 7,0 persen hingga 9,0 persen dan Thailand sebesar 6,0 persen.

Angka perbandingan pada tahun yang sama, 2008, untuk PLN minus 2,0 persen. Padahal, PLN didorong untuk mengurangi sebesar mungkin ketergantungan pada (dana) pemerintah. Artinya, selain memberi peran investasi swasta, juga menggali dana dari pasar uang.

Peran swasta

Meski pemerintah menjamin PLN tidak akan bangkrut, melalui mekanisme subsidi sesuai UU, tidak serta-merta meningkatkan kemampuan pinjaman PLN. Aturan di pasar modal dan uang mensyaratkan batasan kemampuan pengembalian pinjaman yang dicerminkan oleh neraca dan tingkat keuntungan perusahaan. Melanggar ketentuan akan dianggap cedera janji dan semua pinjaman harus dibayar seketika.

Memberi kesempatan luas bagi investor swasta akan mengurangi tekanan likuiditas PLN. Namun, keuntungan pengembang plus tingkat bunga pinjaman swasta yang umumnya lebih tinggi dari sumber pendanaan PLN juga menambah biaya produksi listrik. Apalagi, biaya energi —pembangkit swasta maupun PLN—dibeli dengan harga pasar, sementara tarif listrik lebih mengakomodasi sisi politis ketimbang keekonomian.

Investasi swasta maupun PLN, termasuk penggantian aset lama pembangkit, transmisi, dan distribusi, amat dibutuhkan. Merupakan tantangan besar bagaimana seharusnya meletakkan kelistrikan sebagai penggerak investasi di berbagai sektor pembangunan ekonomi.

Alhilal HamdiKomisaris Utama PT PLN
Opini KOMPAS - Sabtu, 14 November 2009 |