14 November 2009

» Home » Suara Merdeka » Insentif Pajak dan Daya Saing Investasi

Insentif Pajak dan Daya Saing Investasi

Ketika negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tidak dapat dihindarkan.

TAJUK rencana Suara Merdeka (26/10) seolah mewakili harapan investor yang sudah lama merindukan insentif dari pemerintah. Isinya, paket kebijakan yang bersifat memberi kemudahan baik dalam soal perizinan, pajak, kepabeanan, suku bunga dan lain-lain. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan biaya produksi, biaya modal dan meningkatkan daya saing.


Pemikiran tersebut realistis, mengingat jika investasi berjalan baik, industri berkembang, menyerap tenaga kerja, daya beli rakyat meningkat, dan dari mereka akan mengalir pembayaran pajak. Secara tidak langsung penduduk miskin dapat dikurangi, melalui pemanfaatan pajak oleh berbagai institusi/ departemen lain.

Problem daya saing investasi (penanaman modal) memang tidak dapat lagi dianggap remeh sebab ada beragam keterkaitan yang melingkupinya, termasuk sektor perpajakan dan adanya tuntutan koordinasi pusat-daerah dalam hal membuat regulasi. Pertanyaannya, apakah insentif pajak menjadi faktor penentu daya saing bagi investor dalam menetapkan lokasi dan tujuan investasinya?

Faktor Fundamental

Menurut Kaziah Abdul Kadir (2005), insentif pajak bukan faktor penentu utama daya saing bagi investor dalam menentukan lokasi dan tujuan investasi. Faktor-faktor fundamental adalah lebih penting seperti stabilitas politik dan ekonomi, ketersediaan infrastruktur, serta ketersediaan tenaga kerja terampil dan terdidik.
Memberikan insentif untuk investasi bukanlah fenomena khusus bagi negara-negara berkembang. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris juga memberikan insentif substansial berupa hibah untuk bersaing dalam mendapatkan investasi.

Tetapi, untuk negara berkembang pemberian insentif (pajak) harus selektif karena sangat mahal dan dapat menciptakan distorsi dalam sistem perpajakan, mengurangi penerimaan pajak, dan mengekang anggaran.

Namun demikian, insentif pajak melalui UU PPh merupakan bagian dari program reformasi di bidang perpajakan secara berkesinambungan, khususnya perubahan perangkat organik seperti lembaga administrasi dan aparat pelaksana serta formulasi kebijakan dalam bentuk peraturan.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru M Tjiptardjo beserta jajarannya, menghadapi tantangan cukup berat. Sebab, pencapaian penerimaan pajak sebagai salah satu indikator keberhasilan kinerja, hingga 30 September 2009 baru mencapai Rp 377,8 triliun atau 65% dari target akhir tahun ini Rp 577,3 triliun. Ada kecenderungan bahwa penerimaan pajak mengalami perlambatan. Kanwil Jateng I sampai dengan kwartal III 2009 baru mengumpulkan Rp 4,82 triliun atau 66,19% dari target Rp 7,28 triliun.

Situasi ekonomi yang belum pulih semuanya terlihat dari pajak pertambahan nilai (PPN) impor dan pajak penghasilan (PPh) khususnya large tax office (LTO) yang masih di bawah target. Itulah penyebabnya.

Di samping itu, sejak diberlakukannya Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang baru mulai 1 Januari 2009, sudah diperkirakan akan terjadi pengurangan potensi penerimaan pajak pemerintah sebesar Rp 40 triliun per tahun dan bea fiskal berkurang Rp 2,5 triliun.

Namun pengurangan tersebut akan dikompensasi oleh pertambahan Wajib Pajak (WP) baru setelah perpajakan kita semakin kompetitif usai UU PPh baru disahkan. UU PPh nomor 36 Tahun 2008 ini bertujuan mengoptimalkan penerimaan pajak melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.

Diharapkan lebih memberikan keadilan dan kemudahan WP dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Mengusung semangat kesederhanaan administrasi, menjamin kepastian hukum, konsistensi, dan transparansi serta meningkatkan daya saing investasi.

Substansi UU PPh antara lain pengecualian objek PPh, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), besaran tarif pajak, pembebasan pajak ke luar negeri (bea fiskal), dan fasilitas perpajakan bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Tarif PPh badan yang semula terdiri atas tiga lapisan yaitu 10%, 15%, dan 30% diubah menjadi tarif tunggal 28 % pada tahun 2009, dan diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010. Dalam pandangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penerapan tarif tunggal bertujuan menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan mengacu international best practice.

Tak pelak, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak beserta jajarannya segera melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi untuk mengejar perolehan pajak. Langkah yang ditempuh antara lain program benchmarking perpajakan bagi 1200 kelompok usaha. Upaya itu untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Menurut Penanggung Jawab Teknis Benchmarking Direktorat Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Singgih, saat ini 20 sektor usaha sudah siap dijadikan benchmark, meliputi industri minyak, minyak goreng, rokok, pulp, dan kertas.

Selain itu, usaha perdagangan besar bahan-bahan konstruksi, perdagangan eceran berbagai barang utamanya makanan minuman atau tembakau di pasar swalayan, industri radio televisi, serta industri makanan dari cokelat dan kembang gula.

Data hasil benchmark tersebut akan diperiksa ulang dengan data penyampaian surat pemberitahuan (SPT) masa maupun tahunan serta data lain yang telah disampaikan oleh wajib pajak. Apabila dalam proses verifikasi antara data hasil benchmark dan SPT wajib pajak ternyata ditemukan alasan yang tidak masuk akal. Ditjen Pajak akan melakukan tindak lanjut berupa imbauan, konseling, maupun pemeriksaan.

Ketika negara membutuhkan pajak untuk melanjutkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, kesadaran dan kepatuhan seluruh masyarakat untuk membayar pajak tidak dapat dihindarkan. Siapa pun tentu tidak ingin dikatakan sebagai penumpang gelap (free rider) karena tidak mau bayar pajak. Begitu juga, orang tidak mau dikatakan sebagai pengemplang pajak karena membayar pajak tidak benar.

Program benchmarking tersebut juga harus dibaca sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan membayar pajak yang ditengarai masih rendah, meski tarif pajak diturunkan dan nilai PTKP dinaikkan menjadi Rp 15,84 juta per tahun. Untuk itu kunci keberhasilan UU PPh yang baru adalah sosialisasi dan edukasi.

Pemerintah juga akan memberikan sanksi berupa denda sebesar 20% hingga 100% dari tarif normal kepada WP penerima penghasilan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kesadaran masyarakat agar mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dengan pemberlakukan disinsentif bagi WP yang tidak memiliki NPWP pada 2009.

Daya saing investasi akhirnya akan bersandar pada seberapa kuat kepercayaan investor kepada negeri ini dan seberapa besar prospek investasi jangka panjangnya. (80)

—Amin Purnawan, dosen FH Unissula, peserta Doktor Ilmu Hukum Undip dan program sandwich-like di Belanda
Wacana Suara Merdeka-Sabtu 14 Nopember 2009