14 November 2009

» Home » Kompas » Cengkeraman Al Capone

Cengkeraman Al Capone

Mengikuti penayangan di televisi sidang Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan percakapan telepon seluler Anggodo Widjojo dengan pejabat kepolisian dan kejaksaan, kita diingatkan pada film Untouchables karya Brian De Palma (1987).

Film ini menggambarkan kekuasaan mafia atas lembaga peradilan di Chicago, Amerika Serikat. Para penegak hukum amat mudah didikte dan diatur gembong mafia Al Capone, yang diperankan Robert De Niro, sehingga Al Capone dan anak buahnya tak tersentuh hukum.


Al Capone amat digdaya. Dengan uang dan kekuasaannya, termasuk kebiasaan melakukan berbagai kekerasan, ia mampu menyulap pengadilan menjadi drama komedi yang menggelikan sekaligus menyedihkan.

Keadilan tak ubahnya kelinci di tangan tukang sulap, yang muncul sekadar sebagai tipuan lalu dimasukkan kembali ke dalam kotak dan digembok. Masyarakat pun menjadi apatis terhadap keadilan karena telah kehilangan kepercayaan atas lembaga peradilan dan para penegak hukum.

Kemunculan tokoh Eliot Ness, polisi sederhana dan tidak bercitra hero yang diperankan Kevin Costner, memberi secercah harapan. Ness yang sebenarnya merasa miris (gemetar) melawan Al Capone tidak yakin mampu meringkus bedebah berkantong tebal itu. Namun, berkat dukungan polisi senior yang diperankan Sean Connery itu dan tumbuhnya keyakinan atas kebenaran dan keadilan, ia pelan-pelan mengumpulkan bukti dan saksi untuk menjerat Al Capone. Upaya ini berhasil. Di dalam persidangan, Al Capone terbukti bersalah melakukan penggelapan pajak dan akhirnya dijebloskan ke penjara.

Hoegeng dan Bismar

Pelajaran penting film ini: integritas, komitmen, kemampuan, serta keberanian mampu merebut kembali keadilan dari tangan-tangan hitam mafia.

Eliot Ness memang tidak lahir di sini. Namun, negeri ini pernah melahirkan tokoh-tokoh besar dunia peradilan semacam Jenderal Hoegeng dan Bismar Siregar yang memiliki komitmen, integritas, kemampuan, dan keberanian seperti Eliot Ness.

Hoegeng dan Bismar telah menjadi legenda sekaligus ikon dalam penegakan hukum di negeri ini. Gus Dur pernah melemparkan anekdot kritis bahwa di Indonesia ini hanya ada dua polisi yang jujur: Jenderal Hoegeng dan ”polisi tidur”.

Amat mungkin Hoegeng dan Bismar semasa bertugas juga menghadapi banyak godaan suap dan tekanan dari para cukong yang ingin mengendalikan hukum dan keadilan. Namun, mereka mampu lolos dari jebakan. Mereka mampu mempertahankan idealisme, integritas, dan komitmen hingga akhir hayat.

Polisi dan jaksa sejati seperti Hoegeng dan Bismar amat sadar bahwa negara akan karut-marut jika hukum yang dijalankan dalam kondisi compang-camping. Bahkan, eksistensi negara dan bangsa bisa lenyap jika hukum hanya menjadi aksesori sebab keadilan tampil gagah hanya dalam ucapan, tetapi hampa dalam kenyataan.

Pengawal

Hukum menjadi pengawal penting bagi praksis politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Tanpa kawalan hukum, politik akan menjadi pasar kekuasaan yang brutal dan hanya melahirkan demokrasi semu serta kekuasaan yang rakus. Tanpa hukum, ekonomi akan menjadi pasar bebas yang menendang warga negara ke pinggiran. Tanpa hukum, kehidupan sosial menjadi kerumunan tanpa tatanan. Tanpa hukum, budaya menjadi wilayah tanpa orientasi etik.

Selain visi atas negara dan bangsa, polisi dan hakim sejati semacam Hoegeng dan Bismar amat sadar bahwa menjadi penegak hukum sejatinya adalah menjadi pelayan masyarakat untuk mewujudkan keadilan, seperti kesadaran tokoh Eliot Ness yang menggetarkan itu.

Memilih menjadi pelayan berarti memiliki kepercayaan atas nilai-nilai ideal yang dijadikan orientasi aktualisasi diri dan peran sosial. Kepercayaan itu mendorong mereka memiliki harapan akan terjadinya perubahan menuju tata kehidupan yang lebih bermartabat dan bermanfaat bagi masyarakat. Otomatis mereka memiliki kecintaan atas profesi. Cinta atas profesi itulah yang membuat seorang polisi atau jaksa tidak akan merusak kepercayaan yang telah diamanahkan kepada mereka.

Pendangkalan nilai

Akibat pragmatisme dan materialisme, kini terjadi berbagai pendangkalan nilai dalam jagat profesi, termasuk para penegak hukum. Pendangkalan itu mengakibatkan profesi dijalankan tanpa idealisme, komitmen, integritas, atau martabat. Setiap persoalan hanya didekati secara teknis dan tidak menyentuh substansi. Itu juga termasuk dalam praktik-praktik peradilan kita. Akibatnya, hukum hanya memenuhi standar kebenaran material atau formal; bukan standar nilai, etika, dan moral.

Hal yang menyedihkan bahwa standar kebenaran material dan formal itu sering tak menemukan presisinya karena tekanan kekuatan eksternal, baik berupa kekuasaan maupun uang. Akibatnya, hukum selalu gonjang-ganjing.

Kini kita merasakan gonjang-ganjing hukum. Seperti dalam Untouchables, bos mafia yang buas itu mengendalikan jagat peradilan dan para penegak hukum kita. Polisi, jaksa, pemerintah, dan masyarakat pencinta penegakan hukum belum terlambat untuk melakukan pembenahan, baik struktural-sistemik maupun kultural (nilai, etik, dan moral), sebelum banyak manusia ala Al Capone mencengkeram jagat peradilan kita.

INDRA TRANGGONO Cerpenis; Tinggal di Yogyakarta
Opini KOMPAS- Sabtu, 14 November 2009 |