Penggunaan dana bagi hasil cukai (DBHC) di Kabupaten Kudus tahun 2009 ini senilai Rp 70,2 miliar menuai kritik pedas berbagai kalangan masyarakat.
Pasalnya sebagian dana tadi dibelikan sejumlah mobil dan motor untuk kelengkapan sembilan kecamatan dan operasional Pol PP setempat. Hal ini dianggap sebagai pemborosan anggaran dan memberatkan biaya operasional yang dibebankan APBD.
Sementara Bupati Kudus H Musthofa Wardoyo menilai peruntukan pembelian mobil dan motor dari uang cukai rokok sudah sesuai ketentuan (Suara Merdeka, 27/10). Kata Musthofa, pemkab memastikan tidak akan membuat program jika tidak sesuai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) DBHC.
Sesuai Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai ada lima sasaran penggunaan cukai rokok yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan bidang cukai serta pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Melihat isi UU di atas jelas pengadaan barang dan jasa berupa pembelian mobil dan motor tidak menyalahi ketentuan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana cara mengelola DBHC secara bijak dan cerdas dan langsung menyentuh lapisan paling bawah sektor industri rokok kretek yaitu buruh rokok itu sendiri.
Pembenahan sektor pendidikan anak-anak buruh rokok patut diapungkan untuk mendapat bagian DBHC. Jaminan pendidikan akan memberi perasaan adil dan meringankan beban keuangan buruh rokok.
Sesuai peta jalan (road map) tahun 2007-2020 yang dirancang pengusaha rokok kretek nasional ada tiga tahapan yang harus dilalui pabrikan rokok.
Yakni tahun 2007-2010 konsentrasi kepentingan pendapatan (pro-income), 2010-2015 tenaga kerja (pro job) dan 2015-2020 kepentingan kesehatan (prohealth).
Jika peta jalan terlaksana sesuai rancangan maka dalam enam tahun ke depan pabrikan rokok mendahulukan kepentingan kesehatan.
Dapat dibaca dalam kurun waktu itu pabrikan rokok mengandalkan rokok SKM (sigaret kretek mesin) jenis mild yang ringan kadar tar dan nikotin. Sementara rokok SKT (sigaret kretek tangan) bersifat padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja akan tergerus dan lapuk dimakan zaman.
Lihat saja iklan rokok di layar kaca umumnya mengandalkan rokok jenis mild yang minim tenaga kerja. Pabrikan rokok sadar bertumpu kekuatan rokok SKT-kadar tar dan nikotin relatif tinggi-akan menyulitkan kiprah mereka menghadapi isu kesehatan masyarakat.
Mari kita berhitung jika 20 persen saja DBHC Kudus tahun 2009 digelontorkan ke sektor pendidikan akan diperoleh angka sekitar Rp 14 miliar.
Dana pendidikan anak buruh rokok bisa kita bagi dua. Masing-masing Rp 7 miliar untuk beasiswa serta pembangunan sarana dan prasarana fisik sekolah.
Mengacu nilai beasiswa miskin (BSM) tahun 2009 yang digariskan pemerintah adalah sebesar Rp 50.000/ bulan atau Rp 600.000/ tahun.
Beasiswa dana cukai rokok bisa diberikan kepada siswa anak buruh rokok sebanyak Rp 7 miliar dibagi Rp 600.000 atau mencapai 12.000 orang. Jumlah angka sangat fantastis mengingat selama ini alokasi BSM di Kudus pertahun hanya untuk kurang 2.000 murid saja.
Mengacu DAK (dana alokasi khusus) bantuan SD tahun 2009 sebesar Rp 450 juta/ sekolah maka uang cukai rokok cukup membantu sekolah sebanyak Rp 7 miliar dibagi Rp 450 juta atau 16 unit.
Dari DAK cukai rokok sekolah terbantu mengembangkan pendidikan mulai pembelian alat-alat peraga dan komputer sampai pembangunan sarana dan prasarana fisik sekolah.
Sokongan dana pendidikan DBHC ditambah program pemerintah BOS (bantuan operasional sekolah) akan meringankan beban pendidikan Kudus.
Guyuran uang cukai pada akhirnya tidak hanya dinikmati kalangan anak buruh rokok saja namun secara nyata akan meringankan beban biaya pendidikan di Kudus. Bagaimanapun selama menempuh pendidikan sekolah perlu biaya tinggi yang selama ini kurang terjangkau rata-rata buruh rokok setempat.
Tentu saja Pemkab Kudus tidak berani menjalankan program pendidikan cukai rokok selama payung hukum belum terpenuhi. Untuk itu sudah kewajiban Pemkab Kudus dan daerah lain penerima DBHC bersama-sama memperjuangkan program pendidikan anak buruh rokok.
Selama ini kesan bancakan DBHC kental dirasakan masyarakat umum. Seperti pembelian mobil dan motor belum jelas manfaat yang nanti diperoleh.
Belum lagi sosialisasi dampak rokok melalui dialog interaktif di media televisi sebanyak 20 kali, radio 24 kali, pembuatan spot iklan, ceramah di kalangan pelajar sekolah dituding banyak pihak hanya menguntungkan kalangan tertentu tanpa sasaran jelas dan nyata.
Timbal balik antara sosialisasi dan hasil yang diharapkan selama ini kurang tampak. Namun yang pasti uang cukai rokok selalu habis saban tahun.
Tinggal bagaimana political will penentu kebijakan Kudus menyikapi uang cukai rokok yang jumlahnya relatif besar pertahun.
Apakah hanya sekadar menjalankan ketentuan perundangan atau mencoba bersikap bijak dan cerdas demi masa depan pendidikan anak buruh rokok. (80)
—M Basuki Sugita, pendidik, tinggal di Desa Kaliputu, Kudus
Wacana Suara Merdeka 31 Oktober 2009