M Lili Nur Aulia
(Pengamat Dunia Islam)
Siapa pun yang menyaksikan rekaman video bagaimana polisi Israel melakukan serangan hingga ke lorong-lorong masjid sambil menembakkan peluru karet dan melontarkan gas air mata, pasti hatinya takkan tenang. Masjid, sebagai tempat suci untuk beribadah bagi umat Islam, sangat tidak pantas diperlakukan seperti itu. Apalagi, yang dinistakan itu adalah Masjid Al Aqsha yang menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum Masjid Al Haram di Makkah. Dalam hadis Rasulullah, Masjid Al Aqsha adalah masjid ketiga yang patut dimuliakan setelah Masjid Al Haram dan Masjid Nabawi. Maka, sudah sewajarnya, tragedi penyerangan Al Aqsha pada pagi hari, 25 Oktober, itu menjadi pembicaraan hangat oleh banyak tokoh Islam dunia, tak terkecuali Indonesia.
Komisi I DPR RI saat ini sudah berencana memanggil menlu untuk mendiskusikan langkah yang harus segera diambil menyangkut meningkatnya intensitas penistaan Israel atas Masjid Al Aqsha dan juga masalah kemerdekaan Palestina secara lebih luas.
Israel memang ingin menguasai, bahkan menghancurkan Masjid Al Aqsha. Itu bukan berita baru. Usai Israel mendeklarasikan negara di atas tanah Palestina dengan mengusir penduduknya di tahun 1948, sejak itulah umat Islam sebenarnya telah tersadarkan adanya usaha sistematis Israel untuk menguasai Masjid Al Aqsha. Kini, konspirasi itu terus bergulir. Andai tak ada gerakan konkret dari umat Islam dunia, penghancuran Masjid Al Aqsha, lalu pembangunan Jewish Temple (Kuil Yahudi) yang diyakini kelompok Yahudi garis keras, bukan tidak mungkin bisa terjadi.
Tahap demi tahap penghancuran sudah dilakukan. Secara terang-terangan, para rabi Yahudi, bahkan oleh tokoh Israel sendiri, menyatakan, agenda mereka paling dekat saat ini adalah mengajukan opsi membagi dua Masjid Al Aqsha antara kaum Muslim dan Yahudi. Mereka ingin mendapat legalitas melakukan kegiatan ritual agama Yahudi di dalam masjid. Jika berhasil, itu menjadi kartu truf mereka memiliki hak untuk tetap eksis di Palestina. Itu sebabnya Masjid Al Aqsha yang sekaligus tempat di Isra-kannya Rasulullah SAW itu saat ini benar-benar membutuhkan usaha umat Islam.
Skenario Israel
Ada beberapa strategi besar Israel untuk membagi dua Al Aqsha. Pertama, meningkatkan intensitas aksi penyerangan terhadap Masjid Al Aqsha secara terus-menerus dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama. Berulang kali, kelompok Yahudi ekstrem menyeruak di area Masjid Al Aqsha. Di bulan April tahun ini, mereka masuk kompleks masjid yang dipimpin oleh rabi Yahudi radikal dengan perlindungan polisi Israel. Mereka juga menyerang Muslim Palestina yang akan shalat dalam waktu itu. Sumber-sumber di Palestina mengatakan, kelompok ekstremis Yahudi sayap kiri berusaha masuk ke kompleks Masjid Al Aqsha sebanyak tiga kali: pagi, siang, dan sore, dalam satu hari pada 13 April 2009. Diduga kuat, para Yahudi ultraortodoks itu memang sudah berencana menyerbu Al Aqsha pada hari Kamis pekan yang sama untuk menggelar ritual agama Yahudi di dalam masjid. Setelah itu, berulang kali kelompok Yahudi ekstrem itu memaksa dan memasuki wilayah masjid.
Pengujung September lalu, ratusan orang Yahudi garis keras sudah memaksa menggelar ritual keagamaan Yahudi yang dinamakan Hari Pengampunan di area masjid. Kedua, di awal Oktober, mereka mengadakan ritual lagi untuk merayakan Hari Perlindungan di tempat yang sama. Lalu, ketiga, beberapa hari lalu (25/10), mereka melakukan aksi yang dinamakan Hari Mendaki ke Jabal Haekal hingga memancing bentrokan dengan pemuda Masjid Al Aqsha.
Ratusan polisi Israel berbekal tameng plastik, pentungan, senjata peluru karet, dan gas air mata datang menyerang para jamaah yang shalat Subuh di Al Aqsha hingga masuk ke lorong-lorong masjid, bahkan menaiki atap Masjid Al Aqsha. Anggota Dewan Internasional Manajemen Yayasan Al-Quds, Suud Abo Mahfud, mengungkapkan, intensitas penyerangan Al Aqsha tahun 2009 meningkat empat kali lipat dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 54 kali setelah penyerangan terakhir di bulan Oktober.
Target serangan-serangan ini, disamping untuk terus menekan mental publik Palestina agar bisa menerima keabsahan mereka menggunakan Masjid Al Aqsha, juga sebagai bagian dari test case yang mereka lemparkan kepada publik umat Islam dunia. Jika dunia Islam tak banyak bereaksi, itu berarti lampu hijau bagi Zionis melanjutkan aksinya.
Strategi kedua adalah mempersempit area yang bisa digunakan oleh umat Islam yang ingin melakukan shalat berjamaah di Masjid Al Aqsha. Ini dilakukan dengan membangun sinagog dan memperbanyak pos-pos pemeriksaan yang menyebar di berbagai pintu masjid dengan dalih keamanan. Ada lebih dari 10 penjagaan yang harus dilewati setiap Muslim yang ingin masuk dan shalat di Masjid Al Aqsha. Mereka semuanya diperiksa dan hanya diizinkan masuk satu per satu. Ribuan orang Muslim tak jarang akhirnya shalat di luar kompleks Al Aqsha karena dilarang masuk oleh tentara Zionis Israel.
Ketiga, dengan cara menghilangkan simbol-simbol Islam di Masjidil Aqsha dan juga di Kota Al Quds (Jerussalem) secara umum. Proyek ini sudah berjalan sejak beberapa bulan lalu, di mana Israel menetapkan undang-undang di Al Quds (Jerussalem) bahwa semua plang berbahasa Arab atau mencirikan Islam diganti dengan plang petunjuk berbahasa Yahudi atau berhuruf Ibrani.
Langkah keempat, mempersempit gerak dukungan dan perlindungan terhadap Al Aqsha dengan menjatuhkan vonis pengasingan bagi siapa pun orang yang dianggap aktif dan berpengaruh di Al Quds agar tidak mendekati Al Aqsha atau Al Quds. Mereka mengincar para aktivis organisasi Palestina, seperti Al Aqsha Foundation dan Harakah Islamiyah di Palestina 48. Para tokoh organisasi itu selama ini yang mengkoordinasikan jamaah shalat di Masjidil Aqsha. Mereka juga yang mengatur jadwal orang-orang yang melakukan ribaath (penjagaan dengan menginap) di Masjid Al Aqsha setiap hari dengan mendatangkan jamaah dari berbagai kota di Palestina.
Penjajah Israel mengajukan gugatan tuduhan terhadap tokoh yang berpengaruh di Al Quds itu dan jaksa memintanya dijauhi dalam rentang waktu tertentu, baik dari Masjid Al Aqsha maupun dari kota lama atau juga dari Al Quds, selama satu tahun. Para tokoh Palestina sadar bahwa ini adalah cara yang digunakan Zionis Israel untuk mengosongkan Al Quds dan Masjid Al Aqsha dari orang-orang berpengaruh yang dianggap bisa menghalangi upaya penguasaan Al Quds atau Al Aqsha.
Cara seperti ini sudah dimulai sejak tahun 2007 saat pengadilan Israel mengeluarkan keputusan pengasingan pada 7 Februari 2007 terhadap Syekh Raid Shalah, ketua Harakah Islamiyah Palestina 48. Dirinya dilarang mendekati Masjid Al Aqsha dalam radius 50 meter. Kemudian, hukuman itu diperpanjang hingga satu bulan. Dan, disebabkan ceramah Syekh Shalah yang dianggap membahayakan Israel, hukuman pengasingan kemudian ditambahkan lagi dalam rentang waktu yang lebih lama lagi. Hingga hari ini, Syekh Shalah belum boleh memasuki wilayah Al Aqsha. Bulan Oktober lalu, tak kurang ada 50 orang tokoh Al Quds yang diasingkan melalui vonis pengadilan Israel. Deliknya sama karena terlibat dalam upaya mempertahankan Masjid Al Aqsha ketika sekumpulan Yahudi garis keras merangsek masuk ke areal Masjid. Para pengamat menyebutkan, pengasingan dalam jumlah besar itu sebagai peringatan kepada para pemuda yang berjaga di Masjid Al Aqsha dan peringatan pada kaum Muslim di Al Quds pada umumnya bahwa Israel-lah yang berkuasa di Al Aqsha.
Kelima, dari aspek publikasi, berbagai tokoh dan media Israel mengangkat anggapan terorisme yang dituduhkan atas pemuda Palestina di Masjid Al Aqsha. Jerussalem Post, misalnya, dalam edisi pekan terakhir Oktober lalu, menyebutkan perkataan Dewan Hakhom (tokoh agama) Yahudi di Tepi Barat meminta Pemerintah Israel di bawah pimpinan Netanyahu agar segera menutup Masjid Al Aqsha dengan alasan orang-orang Islam yang ada di sana telah mengubah Al Aqsha menjadi sarang teroris dan kekerasan. Padahal, justru mereka-lah yang berjaga dan melindungi masjid dari aksi teror Israel.
Opini Republika 31 Oktober 2009
30 Oktober 2009
Masjid Al Aqsha Terbagi
Thank You!