Selama ini publik masih sangat berharap oleh eksistensi pihak-pihak di luar lingkaran kekuasan untuk melakukan kontrol kepada penguasa.
Langkah pimpinan DPR membatalkan rapat Komisi IX dengan Menteri Kesehatan hari Rabu (28/10) lalu mengesankan kebijakan parlemen yang melindungi pemerintah. Sebelumnya, parlemen juga tak memiliki suara untuk mengkritisi rencana kenaikan gaji presiden dan menteri meski masyarakat merasa keberatan.
Langkah-langkah DPR di awal masa jabatannya tersebut tentu memprihatinkan. Parlemen dikhawatirkan akan selalu melindungi kekuasaan (pemerintah) apapun kebijakan pemerintah. Kalau kecenderungan seperti ini yang terus berlangsung, maka wajar bila publik memandang parlemen sekarang tak beda jauh dengan parlemen di era Orde Baru.
Parlemen era Orde Baru identik dengan institusi yang tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Boleh dikata parlemen selalu ”yes man”, mengiyakan apa yang dikatakan pemerintah. Istilah tukang stempel diberikan kepada institusi Senayan ini.
Apa yang terjadi di parlemen sebenarnya sudah diperkirakan banyak kalangan. Hal itu tak lain karena pemerintah memiliki mitra yang kuat di parlemen. Mayoritas kekuatan di parlemen merepresentasikan komposisi di kabinet.
Upaya melancarkan jalannya kekuasaan memang merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh penguasa. Seorang penguasa tentu tidak ingin pemerintahannya direcoki (”diganggu”) kekuatan politik manapun. Sebaliknya, penguasa (pemerintah) menginginkan adanya keleluasaan menjalankan kebijakan-kebijakan tanpa direpotkan tekanan politis pihak lain.
Langkah kompromistis dengan membagi-bagi jabatan menteri pada kenyataannya merupakan langkah yang sudah jamak dilakukan sejak pemerintahan-pemerintahan terdahulu. Pasangan presiden/ wapres merasa perlu mengakomodasi berbagai kekuatan politik dengan merekrut elite-elite penting dari partai besar dalam jajaran kabinetnya.
Bahkan jika bisa, anggota kabinet tersebut juga merangkap pemimpin parpol. Sebab, dengan ”menguasai” parpol dukungan politis semakin mudah diperoleh.
Kemunduran Demokrasi?
Apa yang dilakukan penguasa untuk memuluskan kekuasaannya tersebut sekali lagi sah-sah saja. Namun, dilihat dari aspek demokratisasi sejumlah pihak menilai akan cenderung kembali mengkerdilkan demokrasi yang selama ini dibangun di Indonesia.
Sinyalemen itu didasarkan oleh asumsi bahwa ketika kekuatan-kekuatan politik yang ada telah terkooptasi oleh kekuasaan, maka tidak ada lagi kekuatan-kekuatan yang bertindak sebagai pengawas dan penyeimbang (check and balances).
Dan ketika tidak ada pihak yang dapat melakukan fungsi tersebut dengan baik, yang terjadi selanjutnya ialah ancaman terhadap pemerintahan yang cenderung otoriter. Situasi dengan jaringan kekuasaan seperti itu rentan menggelincirkan pemerintahan pada status absolutisme.
Di sejumlah negara, pemerintahan mengalami pergeseran dari demokratis menuju otoriterianisme karena tiadanya kontrol yang efektif dari kekuatan lain.
Di Indonesia sendiri pengalaman di masa awal orde baru yang relatif demokratis pada perkembangannya berbalik menuju pemerintahan yang cenderung otoriter setelah semua kekuatan politik terkooptasi oleh kekuasaan.
Kita berharap, berakhirnya demokrasi di era orde baru tidak lagi berulang.
Pengalaman demokrasi kita telah mengajarkan bahwa pemerintahan yang cenderung tidak terkontrol akan berpotensi mengarah pada penyimpangan. Kekuasaan absolut juga potensial menimbulkan bias kepentingan.
Keberadaan pihak oposisi yang selalu mengawasi kinerja pemerintah diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas demokrasi di negara kita. Sayangnya, budaya untuk menjadi oposan di Indonesia belum mewabah. Partai politik pada realitasnya masih tergoda untuk masuk dalam kekuasaan. Hanya PDI-P, Hanura, dan Gerindra yang tersisa saat ini yang tidak masuk dalam kabinet.
Oleh karenanya, dalam konteks Indonesia kekinian, publik masih sangat berharap oleh eksistensi pihak-pihak di luar lingkaran kekuasan untuk melakukan kontrol kepada penguasa. Perguruan tinggi (PT/ akademisi), media massa, LSM, dan Ormas merupakan sebagian kekuatan yang diharapkan masih mampu secara jernih menyuarakan aspirasi masyarakat bawah.
Artinya, andaikata mayoritas kekuatan parlemen telah terkooptasi oleh kekuasaan, kita masih berharap mereka tetap konsisten mengawal suara rakyat bawah. Terlepas dari itu semua, masyarakat masih tetap berharap pemerintahan SBY-Boediono selalu memperjuangkan kesejahteraan seluruh rakyat, sebagaimana prioritasnya sekarang ini. (80)
—Didik G Suharto, pengajar FISIP UNS Solo
Wacana Suara Merdeka 31 Oktober 2009
30 Oktober 2009
» Home »
Suara Merdeka » Memproteksi Kekuasaan Pemerintah
Memproteksi Kekuasaan Pemerintah
Thank You!