30 Oktober 2009

» Home » Suara Merdeka » Keberanian Merombak Kabinet

Keberanian Merombak Kabinet

Presiden SBY telah lebih dari seminggu melantik menteri-menteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II. Dilihat dari segi persentase, dengan jumlah sebanyak 34 kementerian, 61% (karena ada 21 orang) berasal dari partai politik dan selebihnya diisi oleh kalangan (yang sering disebut) profesional. Sembilan di antaranya juga merupakan muka lama di KIB jilid I. 

Menjelang pembentukan kabinet, muncul tuntutan yang cukup santer, terutama dari para pengamat dan ahli, agar SBY membentuk zaken cabinet, yakni kabinet yang diisi oleh para ahli. Secara konsepsional, zaken cabinet mengidealkan struktur kabinet diisi oleh individu-individu yang memenuhi aspek profesionalitas dan kompetensi.

Singkatnya, mereka dipilih untuk menduduki jabatan menteri karena dipandang profesional, memiliki kompetensi, dan berpengalaman cukup di bidangnya masing-masing, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas untuk membantu presiden.

Profesionalisme, kompetensi, dan pengalaman yang ditunjukkan dengan track record aktivitas hidup sebelumnya, memang tak bisa ditawar-tawar, karena kabinet (baca: pemerintahan) tidak akan dapat berjalan secara efektif jika tidak digerakkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk itu.

Terlebih tantangan pemerintahan ke depan semakin kompleks. Menyerahkan posisi yang sangat strategis kepada yang bukan ahlinya, tentu tidak saja akan membuat struktur pemerintahan tidak bisa berfungsi secara optimal, tetapi juga dapat menghambat kinerja pemerintahan, bahkan bisa berpotensi menjadi bumerang yang akan mengurangi kredibilitas pemerintahan. 

Menghilangkan Dikotomi

Sayangnya, ada semacam pandangan keliru bahwa zaken cabinet hanya bisa dibentuk dengan meminimalisasi sedemikian rupa personil-personil yang berasal dari partai politik. Wacana yang muncul seolah-olah personil-personil yang berasal dari partai politik tidak memiliki kompetensi untuk menempati pos-pos kementerian. Mereka yang berasal dari luar partai politik dianggap lebih ahli dan menguasai.

Pandangan ini sesungguhnya bisa dikatakan menyesatkan. Bisa jadi, wacana zaken cabinet disuarakan oleh mereka yang berada di luar partai politik, tetapi memiliki ambisi besar untuk mendapatkan pembagian kekuasaan. Secara faktual, tidak sedikit anggota dan pengurus partai politik yang memiliki latar belakang sebagai profesional, seperti akademisi, peneliti, praktisi, dan lain sebagainya, dan selama menjalani aktivitas politik juga tetap menjalani aktivitas-aktivitas profesional yang sebelumnya telah digeluti.

Bahkan tidak sedikit kader-kader partai yang merupakan mantan-mantan pemimpin puncak organisasi atau lembaga yang diakui kredibilitasnya sebagai organisasi pengkaderan. Dengan demikian, pandangan yang mendikotomikan secara kontradiktif antara zaken cabinet dengan partai politik sangat tidak tepat dan tidak bijaksana.

Sama sekali tidak ada yang salah jika kabinet dibentuk dengan melibatkan partai-partai politik pendukung SBY. Pasangan SBY-Boediono maju dalam pilpres dengan dukungan koalisi besar yang melibatkan banyak partai politik. Karena itu, SBY tak bisa mengabaikan partai-partai pendukung tersebut. Mereka tentu menginginkan agar diakomodasi dengan mekanisme pembagian kekuasaan (power sharing) yang relatif proporsional.

Selain itu, walaupun Indonesia menganut sistem presidensiil, namun kenyataannya pemerintah memerlukan dukungan yang cukup dari DPR dalam merealisasikan program-program yang dicanangkan. Sebab, pemerintah akan mengalami kendala jika dalam merealisasikan program-program tersebut jika tidak mendapat dukungan DPR.

Karena itu, susunan kabinet dengan mempertimbangkan keterwakilan partai politik bisa dipahami agar dapat mengikat dukungan fraksi DPR dari partai-partai tersebut kepada pemerintah.

Yang terpenting penempatannya dilakukan secara tepat, sehingga yang terjadi adalah orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi di posisi yang sesuai (the right man in the right place).

Dengan cara ini, ada dua manfaat sekaligus yang didapatkan, yaitu kabinet diisi oleh personil-personil yang profesional, di satu satu sisi, tetapi disisi yang lain juga di DPR mendapatkan dukungan dari partai yang mengirimkan kadernya sebagai anggota kabinet.

Orang yang sebenarnya memiliki kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi justru ditempatkan di posisi yang tidak berkaitan dengan aspek kompetensinya (the right man in the wrong place) akan membuat kabinet hanya sebagai media bagi-bagi kekuasaan. Sebab, hal itu akan membuat kompetensi yang dimiliki tidak memiliki manfaat dalam pelaksanaan fungsi kebinet. 

Dengan demikian, kemampuan yang dimiliki oleh para personil anggota kabinet tidak dapat dapat berfungsi secara optimal untuk menggerakkan struktur-struktur pemerintahan untuk menyejahterakan rakyat. 

Berani Mereshuffle

Agar pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien, maka presiden tidak perlu ragu untuk melakukan reposisi anggota kabinet untuk penyesuaian dalam pelaksanaan kerja yang lebih baik.

Atau bahkan melakukan reshuffle jika memang ada anggota kabinet dari partai politik tertentu yang menunjukkan kinerja tidak baik. Partai politik sekarang sesungguhnya tidak kekurangan orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi di bidang-bidang tertentu.
Karena itu, bisa dikatakan tidak sulit untuk mencari pengganti yang lebih tepat.

Tentu menteri yang diganti berasal dari partai politik yang sama, sehingga tidak mengurangi representasi partai politik pendukung koalisi dalam konfigurasi strktur kabinet yang dapat menyebabkan gejolak lebih besar di internal partai yang kadernya terkena mekanisme penggantian.

Sebagai presiden terpilih dalam satu putaran pemilu dan dipilih lebih dari 60% rakyat, legitimasi SBY sangatlah kuat. Dengan demikian, ketegasan SBY sangat diperlukan untuk membuat kinerja pemerintahan menjadi semakin baik.

 Ketegasan SBY juga sangat diperlukan untuk semakin meyakinkan publik bahwa ia bukanlah pribadi peragu sebagaimana serangan lawan-lawan politiknya. Ini adalah kesempatan SBY untuk menunjukkan bahwa kinerja menjadi merupakan orientasi utama pemerintahan di bawah kendalinya, bukan hanya politik citra dengan tebar pesona. (80)

—Mohammad Nasih, kandidat doktor Ilmu Politik UI, Ketua Presidium Pengurus Pusat Masika ICMI
Wacana Suara Merdeka 31 Oktober 2009