Pascapenetapan Chanda M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua komisioner KPK, sebagai tersangka oleh Mabes Polri, nyawa lembaga superbodi ini seolah berada di tenggorok. Kisah muram itu makin lengkap setelah sebelumnya Antasari Azhar, Ketua KPK, terlebih dulu mendekam di penjara. Jika Antasari berurusan dengan hukum karena kasus pidana (dugaan pembunuhan berencana), dua pemimpin KPK lainnya tersandung tuduhan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan pernyataan penyidik Polri, Chandra dan Bibit dijerat Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang. Keduanya diduga memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berimplikasi pada penyimpangan. Tuduhan Polri ini tak begitu saja diamini oleh publik. Sejumlah pihak memberikan reaksi keras atas langkah Polri tersebut. Keputusan itu dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK.
Saling tikam
Lebih jauh, penetapan tersangka di atas juga dicurigai bermuatan politis, mengingat sepak terjang KPK yang sejauh ini cukup efektif dalam memburu para koruptor—utamanya para pejabat korup di seantero negeri. Efektifnya kerja KPK sebagai lembaga superbodi dalam memerangi korupsi tak ayal membuat sejumlah pihak di lembaga penegak hukum lain terkesan kurang nyaman. Imbasnya, wacana mengembalikan penyidikan hingga penuntutan kasus korupsi kepada institusi lama (kepolisian dan kejaksaan) akhir-akhir ini juga makin kencang diapungkan. Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan kewenangan penuntutan harus kembali pada kejaksaan. KPK menurutnya tak bisa melakukan penuntutan karena bertentangan dengan undang-undang kejaksaan yang lebih dulu dibuat. Ia juga menjamin pemberantasan korupsi tetap kuat kendati kewenangan penuntutan dikembalikan ke kejaksaan. Sah-sah saja Jaksa Agung menuntut dikembalikannya wewenang penuntutan. Hanya, sejak awal kita tahu bahwa KPK dibentuk karena mandulnya penanganan kasus korupsi di negeri ini. Dengan kata lain, KPK lahir waktu itu guna mempercepat upaya menangkap koruptor, mengingat demikian parahnya 'perampokan' uang rakyat, baik yang dilakukan oleh pejabat maupun pihak lain. Dengan ditambah dengan kesan ogah-ogahan DPR menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor, dugaan adanya skenario besar untuk mendorong KPK ke jurang tampaknya bukan sekadar isapan jempol. Sangat mungkin besar UU tersebut tak akan dapat diselesaikan pada periode ini. Itu artinya umur KPK makin pendek, mengingat sebagaimana ketetapan MK, bahwa UU Pengadilan Tipikor harus disahkan paling lambat akhir 2009.
Bukan hanya itu, penetapan tersangka Chandra dan Bibit juga diduga terkait dengan kasus panas Bank Century. Sebagaimana disampaikan Bambang Widjojanto, pengacara KPK, bahwa sangat mungkin ada konflik kepentingan terkait dengan kasus Bank Century yang sedang diselidiki KPK dengan penetapan status tersangka itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah petinggi Polri berinisial SD, dengan yang bersangkutan tengah dikaitkan dengan kasus Bank Century yang kini tengah diaudit BPK. Dalam situasi yang serbaterjepit ini, ada kesan Polri melakukan manuver dan serangan balik terhadap KPK. Apalagi isu 'persaingan' terselubung antara Polri dan KPK sejatinya bukanlah sesuatu yang baru. Munculnya idiom Cicak versus Buaya yang kini populer adalah potret nyata aroma persaingan tersebut.
Darurat
Setelah melihat aksi saling tikam antarlembaga penegak hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang awalnya tak mau terlalu masuk ke wilayah teknis hukum kali ini tak bisa lepas tangan. Benar bahwa intervensi pemerintah ke KPK hukumnya haram, mengingat kedua lembaga berdiri sejajar dan saling menguatkan. Namun, presiden bukan hanya kepala pemerintahan, melainkan juga kepala negara yang bertanggung jawab kepada rakyat. Pemberantasan korupsi sejak reformasi telah ditetapkan sebagai agenda prioritas siapa pun pemerintahannya. Dengan demikian, sejumlah cara untuk menjaga kelangsungan upaya tersebut merupakan sebuah keharusan. Bahkan jika dalam perjalanannya ditemui aral hingga mengarah ke suatu kondisi darurat, presiden memiliki ruang untuk melakukan 'ijtihad' politik yang dijamin konstitusi. Hilangnya tiga komisioner KPK dari kursi lembaga tersebut jelas suatu kondisi yang tidak biasa atau darurat. Bagaimana KPK bisa bekerja optimal jika setengah lebih dari pimpinannya tidak efektif?
Pintu konstitusional bagi masuknya presiden ke dalam kasus ini terdapat pada Pasal 22 UUD 1945. Di sana dinyatakan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Apalagi program antikorupsi sejak awal telah menjadi 'trade mark' SBY sehingga secara moral ia harus melakukan langkah terobosan dengan mempertimbangkan kondisi yang memaksa. Maka dalam konteks ini kita dapat memahami keluarnya Perppu KPK, yang menunjuk dan memberi wewenang kepada Tim 5 untuk menyaring nama-nama yang akan diusulkan kepada presiden. Selanjutnya presiden memilih nama-nama terbaik yang memenuhi 14 kriteria yang telah ditetapkan oleh tim. Selain itu, perppu dimaksud juga sekaligus membuktikan komitmen SBY dalam mengawal pemberantasan korupsi. Bisa kita bayangkan jika tidak ada perppu, KPK dan Polri akan terus berjibaku dan saling melemahkan. Ujung-ujungnya koruptorlah yang tertawa karena dua lembaga yang seharusnya bersinergi justru berkubang dalam konflik.
Eksistensi KPK
Siapa pun yang direkomendasikan Tim 5 kepada presiden untuk dipilih sebagai komisioner KPK, mereka memiliki tugas yang berat. Pertama, mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga ini pascabadai kasus yang menimpa Antasari Azhar. Bukan rahasia lagi bahwa KPK di bawah Antasari, walaupun awalnya sempat diragukan, seiring dengan waktu ia mampu mencuri perhatian publik sehingga mendapatkan banyak dukungan. Apresiasi publik itu terbukti dari banyaknya laporan masyarakat ke KPK menyangkut pelanggaran dan dugaan tindak korupsi di sejumlah daerah. Hingga 2008, lebih dari 30 ribu laporan masyarakat masuk ke Gedung KPK. Sebuah angka yang luar biasa sekaligus membuat kita prihatin karena itu adalah realitas korupsi di negeri ini. Di tahun yang sama, KPK berhasil menuntaskan 25 kasus korupsi yang melibatkan koruptor kakap dan mengirim sejumlah elite ke bui.
Kedua, menyelamatkan KPK dari kematian dini. Buntut berbelitnya pembahasan UU Pengadilan Tipikor di DPR, cepat atau lambat akan mengancam eksistensi KPK. Oleh karena itu, komposisi pimpinan KPK yang baru nanti harus dapat meyakinkan DPR bahwa UU Pengadilan Tipikor dengan KPK sebagai instrumen di dalamnya mutlak adanya. Cara meyakinkan wakil rakyat tak cukup dengan menggelar rapat dan lobi saja, tetapi membuktikan bahwa KPK tetap dapat bekerja optimal meski komposisi pimpinan berganti. Ketiga, harmonisasi dengan lembaga penegak hukum lain. Konflik antara KPK dan Polri adalah contoh buruk dalam kampanye antikorupsi. Ke depan, komisioner KPK yang baru harus mampu merangkul kepolisian dan kejaksaan untuk bersama-sama memerangi korupsi. Jangan sampai soliditas ketiganya justru dipecah belah oleh koruptor sehingga mengorbankan agenda besar pemberantasan korupsi yang kini sudah berjalan baik.
Di tengah sejumlah guncangan yang melanda KPK, publik tetap menaruh harapan kepada lembaga ini untuk memerangi korupsi di masa depan. Ditambah lagi dengan terpilihnya kembali SBY, komitmen presiden untuk melawan virus korupsi diharapkan tetap sama seperti periode pertama pemerintahannya. Bila belajar dari pengalaman Hong Kong dalam memerangi korupsi, dibutuhkan waktu setidaknya 15 tahun bagi lembaga sejenis KPK di sana untuk menciptakan clean government. Itu artinya KPK yang baru berusia enam tahun masih dapat diharapkan menjadi garda terdepan melawan koruptor—bahkan mungkin lebih cepat daripada Hong Kong.
Publik kini menunggu apakah elite politik di negeri ini masih memiliki komitmen untuk membasmi korupsi, seperti yang mereka ucapkan kala sumpah jabatan di depan rakyat dan Tuhan.***
Opini Media Indonesia 29 September 2009
Oleh Zaenal A Budiyono
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta