28 September 2009

» Home » Jawa Pos » Indonesia dan Kian Kuatnya G-20

Indonesia dan Kian Kuatnya G-20

KTT G-20 di Pittsburgh, AS, pada 24-25 September lalu menyepakati bahwa G-20 menggantikan G-8 sebagai lembaga paling utama dalam mengurusi keuangan dan ekonomi dunia. Kesepakatan itu amat penting karena dua hal. Pertama, kesepakatan tersebut mengubah secara mendasar bangunan kerja sama internasional yang selama ini didominasi G-8. Kedua, peran Indonesia cukup besar dalam mendorong G-20 menggeser G-8 dan diharapkan juga mewakili kepentingan negara-negara yang sedang berkembang.
Tanda-tanda G-20 lebih dianggap penting daripada G-8 tampak dalam waktu yang amat singkat, yaitu sepuluh bulan terakhir. Bayangkan, dalam kurun sepuluh bulan G-20 telah mengadakan tiga pertemuan puncak. Masing-masing dilaksanakan di Washington DC (November 2008), London (April 2009), dan Pittsburgh (September 2009).

***

G-20 dibentuk pada 1999 untuk menjadi forum bagi para menteri keuangan dan gubernur bank dari negara maju dan berkembang. Forum tersebut dirancang untuk membahas isu-isu kunci dalam ekonomi global, terutama dipicu krisis moneter di beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Timur waktu itu. Forum tersebut didirikan demi menguatkan arsitektur finansial internasional; memberikan kesempatan berdialog tentang kebijakan nasional, kerja sama internasional, dan lembaga-lembaga finasial internasional; serta mendukung pertumbuhan dan pembangunan seluruh dunia.

Diperkuatnya fungsi G-20 dalam KTT G-20 di Pittsburgh tersebut menunjukkan pengakuan bahwa persoalan ekonomi dan keuangan tidak bisa diselesaikan oleh negara-negara maju saja. Selama ini, secara pongah dan sombong negara-negara maju selalu mengadakan pertemuan puncak (G-8) setiap tahun. Negara-negara sedang berkembang atau organisasi-organisasi regional tidak bisa mengikutinya. Kalaupun mau didengar, mereka harus memohon dan mendaftarkan diri sebelum KTT G-8 diadakan. Misalnya, Presiden Soeharto sebagai ketua GNB pun harus merengek agar suaranya bisa didengar dalam KTT G-8 di Tokyo.

Krisis keuangan di Asia Tenggara dan Asia Timur pada 1998 mengakibatkan para pemimpin G-8 merasa kurang efektif dalam mengatasi persoalan keuangan dan ekonomi global. Para ahli ekonomi sadar bahwa persoalan tersebut tidak bisa selesai bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi di luar delapan negara ekonomi kuat tersebut. Karena itu, dibentuk forum G-20 untuk para menteri keuangan dan gubernur bank 19 negara dan Uni Eropa pada 1999.

Krisis keuangan dan ekonomi global yang dimulai di AS pada pertengahan 2008 makin memaksa para pemimpin dan ahli ekonomi dunia untuk berpikir bahwa ekonomi global tak hanya digerakkan oleh AS, Eropa, dan Jepang, tetapi juga negara-negara lain, seperti Tiongkok, India, dan Indonesia, juga negara-negara sedang berkembang lain. Karena itu, untuk mengatasi problem ekonomi dan keuangan, diperlukan kerja sama antara para pemimpin negara maju dan negara sedang berkembang.

Fungsi forum G-20 kemudian dimanfaatkan dan ditingkatkan dengan pertemuan puncak pada November 2008. G-20 lebih kuat daripada G-8 bukan hanya karena merangkul lebih banyak negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Kelompok itu menghimpun hampir 90 persen GNP dunia, 80 persen total perdagangan dunia, dan dua pertiga penduduk dunia. Karena itu, keputusan-keputusan G-20 tentu bisa lebih efektif dan efisien dalam menghadapi problem-problem global.

***

Peran Indonesia amat penting dalam menggeser G-8 dan mendorong G-20 sebagai forum yang lebih permanen serta terlembaga: G-14 or the G-20. Peran Indonesia juga menonjol dalam memperjuangkan skema dana siaga global.

Menurut catatan saya, dalam tiga KTT G-20, Indonesia memang telah dan selalu menegaskan kemauan: (1) mengusulkan skema dana siaga global atau global support fund; (2) mengusulkan reformasi sistem dan lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia; (3) mengingatkan KTT agar tidak mengabaikan isu-isu penting lain seperti perubahan iklim, efektivitas bantuan, dan keamanan energi; serta (4) memperjuangkan agar forum G-20 menjadi lebih permanen dan dilembagakan.

Soal dana talangan, usul itu dimaksudkan untuk membantu negara-negara sedang berkembang dalam mengatasi dampak krisis keuangan internasional dan menjaga pertumbuhan ekonomi mereka. Pengelolaan dana siaga tersebut memerlukan lembaga yang sudah ada, seperti IMF dan Bank Dunia.

Usul Indonesia tentang dana siaga global itu disambut baik oleh para pemimpin G-20 lain. Buktinya, dalam KTT G-20 di London (April 2009) disepakati dana talangan 1,1 triliun dolar AS dalam bentuk penambahan modal kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan bantuan pembiayaan ekspor impor (trade financing), khususnya untuk negara-negara berkembang.

Pada KTT G-20 di Pittsburgh, ditetapkan IMF menjadi wadah yang mengelola dana siaga itu. Walaupun, usul dana talangan tersebut bisa mengundang kritik. Ide menggunakan IMF dan Bank Dunia juga bisa dianggap akan memperkuat lembaga tersebut, yang selama ini menguatkan liberalisme dan beroperasi seperti bank pada umumnya.

Perjuangan Indonesia untuk menjadikan G-20 sebagai forum utama yang permanen dan terlembagakan telah berhasil. Keberhasilan Indonesia tentu didukung fakta bahwa Indonesia (bersama Tiongkok dan India) secara ekonomi dianggap lebih mampu mengatasi krisis global setahun terakhir ini, juga menjadi negara demokrasi terbesar ketiga (setelah India dan AS) yang relatif stabil serta moderat.

Kini tinggal bagaimana Indonesia menempatkan posisi agar lebih strategis dalam G-20 untuk menyuarakan kepentingan nasional serta kepentingan negara-negara sedang berkembang lain. Kita berharap para pemimpin dan diplomat kita bisa memanfaatkan momentum tersebut. (*)

Opini Jawa Pos 28 September 2009

*). I Basis Susilo , dosen hubungan internasional FISIP Universitas Airlangga.