MEDIA dan politik senantiasa memiliki tautan yang tak terpisahkan dengan masyarakat. Dalam menjalankan perannya, keduanya selalu membutuhkan dan sekaligus dibutuhkan masyarakat. Media merupakan jembatan untuk menghantarkan wacana yang dipikirkan masyarakat dan politik berkaitan dengan problem sosial masyarakat.
Di zaman komunikasi ini, tidak ada gerakan politik yang tanpa melibatkan peran media. Keduanya, antara media dan politik, memang saling membutuhkan.
Sekalipun media dan politik saling membutuhkan, terdapat aturan main atau batas-batas tugas di antara keduanya. Aturan dan etika media mengharuskan media bertindak objektif dan netral dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, muncul problem krusial manakala media telah menjadi tunggangan sebuah kekuatan politik tertentu.
Sebuah peristiwa yang ironis berkait dengan soal media dan politik telah terjadi pada Jumat malam, 25 September 2009. Dua stasiun televisi nasional, Metro TV dan TVOne, secara bersamaan menayangkan tema sama, yakni masalah lumpur Porong. Meski temanya sama, pesannya sangat jauh berbeda. Bahkan kontradiktif. Metro TV, dalam acara Kick Andy, mewawancarai sejumlah orang yang menceritakan penderitaan hidup akibat semburan lumpur. Sementara itu, TVOne menayangkan sejumlah kisah sukses PT Lapindo dalam memenuhi tanggung jawabnya terhadap korban semburan lumpur.
Kedua tayangan itu, jika dirunut, tak lepas dari kepentingan politik. Kebetulan, pemilik kedua stasiun TV itu adalah petinggi Partai Golkar yang sebentar lagi terlibat dalam pemilihan ketua umum. Metro TV secara nyata menaburkan citra diri Surya Paloh selaku pimpinannya. Sementara itu, TVOne secara lugas pula menebarkan pesona Aburizal Bakrie, selaku salah seorang pemiliknya.
Keberpihakan media terhadap politisi (politik) secara nyata-nyata tersebut seakan mengaburkan fungsi media yang seharusnya bertindak netral dalam soal apa pun, termasuk politik. Yang lebih memprihatinkan, media dijadikan alat perang untuk merebut kekuasaan politik. Meski memang sulit bagi media untuk tidak bertaut dengan politik, peristiwa itu merupakan sesuatu yang tidak elok dalam praktik hubungan media dan politik.
Ihwal keberpihakan media dalam perang perebutan kekuasaan politik itu tentu bisa mencederai kenetralitasan media. Apa kata dunia jika praktik perselingkuhan antara media dan politik semacam itu terus berlangsung?
Kekuatan Media
Pemanfaatan media untuk kepentingan politik harus diakui merupakan sesuatu yang lumrah saja. Itu disebabkan media memang memiliki kemampuan reproduksi citra yang dahsyat. Sejumlah peristiwa yang diangkat sebagai isi media tidak jarang berbeda atau bias dengan fakta sebetulnya. Dalam reproduksi citra tersebut, beberapa aspek bisa saja dilebihkan dan dikurangi dari realitas aslinya.
Kekuatan dan kemampuan media mendramatisasi peristiwa tersebut pada gilirannya merupakan amunisi yang baik bagi politisi. Apalagi, kala menjelang peristiwa pemilihan politik. Namur, keadaan itu memperlihatkan adanya disfungsional atas peran sejati media.
Secara normatif, terdapat empat fungsi media massa, yakni memberikan informasi, memberikan pendidikan, memberikan hiburan, dan melakukan kontrol sosial. Pada titik itu, justru media bukannya melakukan kontrol social, tetapi malah memproduksi pesan-pesan untuk memengaruhi pikiran masyarakat. Jika produksi pesan objektif, tentu itu tidak masalah. Tetapi, jika didasari kepentingan sepihak, keobjektifannya layak diragukan.
Distorsi pesan yang diproduksi media sangat disadari para peneliti komunikasi massa. Reese dan Shoemaker (1996) dalam bukunya Mediating The Message, misalnya, menguraikan bahwa isi media sangatlah dipengaruhi berbagai pihak. Termasuk, potensi di antaranya pengaruh dari para pemilik media itu sendiri.
Jika itu terjadi, media tidak lagi bertindak sebagai jembatan wacana publik. Media tidak lagi menjadi saluran aspirasi masyarakat, tetapi justru sebagai agen kekuasaan (politik).
Citra Buruk
Keterlibatan media secara berlebih dalam perebutan kekuasaan dan secara nyata memperlihatkan adanya sikap keberpihakan akan berimplikasi pada praktik jurnalisme. Hal yang terjadi kemudian, para pekerja media (editor dan wartawan) tidak lagi membawa misi idealisme. Padahal, seharusnya para pekerja media bertindak profesional dengan mengutamakan fakta-fakta dan kebenaran, bukannya malah mengaburkannya.
Bagi pekerja media, sejatinya praktik tautan media dan politik semacam itu tidaklah membuat mereka nyaman. Sebab, para pekerja menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam melaksanakan tugas-tugas. Secara kultural, pekerja media itu cenderung menjauhkan dari kepentingan partisan politik. Pakar media Herbert J. Gans melihat jurnalis sebagai individu yang objektif, tidak memihak. Menurut dia, keyakinan politik sang jurnalis ditinggalkannya di rumah, tidak saja karena jurnalis telah dilatih untuk berpandangan objektif dan tidak memihak, tetapi juga kredibilitas mereka bergantung pada nilai-nilai sosial dan profesional.
Sikap partisan media dalam politik tidak membuat pekerja menjadi repot dan tidak merasa nyaman. Para pekerja media yang secara alami sudah berjiwa netral tak sepatutnya dikeruhi kepentingan politik apa pun. Mereka harusnya mengabdi pada kebenaran, bukan juragannya.
Lebih dari itu, sikap partisan media dalam politik membuat media bercitra buruk. Praktik manipulatif isi media (sebagai akibat tujuan politik tertentu) mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa. Akibatnya bisa diduga, masyarakat akan menjauhinya.
Di tengah zaman yang semakin demokratis itu, sekali lagi tak sepatutnya media dijadikan sebagai tunggangan kepentingan politik secara sepihak. Kesadaran dunia politik dalam pemanfaatan media tidak seharusnya mengaburkan idealisme praktik jurnalistik. Para pengelola media massa harus berpikir bahwa dirinya tidak diperkenankan mengadopsi kepentingan-kepentingan politik secara berlebihan.
Sebuah kesalahan dan kekeliruan besar manakala media berperan sebagai bagian dari program politik sebuah golongan politik. Memang tidak gampang menghindarkannya. Tetapi, para pengelola media harus menarik garis demarkasi yang jelas agar peran media massa tidak bias. (*)
Opini Jawa Pos 28 September 2009
*) Suko Widodo, dosen Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Airlangga