Tidak perlu rumit-rumit, pemerintah cukup menjamin bahwa angkutan kereta api kelas ekonomi mencukupi jumlahnya, tiket yang bebas calo sekaligus murah, jaminan keselamatan dan kenyamanan, serta jalan raya yang mulus
Sesungguhnya 576 nyawa yang melayang selama arus mudik dan arus balik Lebaran selama ini sudah dapat disebut sebagai bencana. Jumlah itu akan makin banyak jika nyawa yang tewas pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya diperhitungkan.
Disebut bencana karena kematian mereka disebabkan oleh keburukan manajemen transportasi di negeri ini. Kaum migran yang tinggal di Jakarta, adalah orang yang turut berjasa dalam membangun Jakarta. Tidak dapat dibayangkan Jakarta tanpa para pendatang yang bersedia menjadi pedagang kaki lima, pembantu rumah tangga, sopir, tukang sayur, sampai yang menjadi pejabat.
Karena itu apa sulitnya jika pemerintah bersedia berendah hati untuk memprioritaskan kebutuhan mereka, minimal dalam bulan Lebaran saja? Tidak perlu rumit-rumit, pemerintah cukup menjamin bahwa angkutan kereta api kelas ekonomi mencukupi jumlahnya, tiket yang bebas calo sekaligus murah, jaminan keselamatan dan kenyamanan, serta jalan raya yang mulus dan relatif bebas hambatan.
Keburukan transportasi menyebabkan kaum migran terpaksa naik motor berboncengan bersama dua anak, istri dan barang-barang sejauh 600-an kilometer di jalanan yang panas, gersang, penuh marabahaya. Di sisi lain ada sekelompok masyarakat urban yang rela antre puluhan jam hanya untuk mendapatkan tiket dan tempat duduk di kereta api kelas ekonomi. Mereka rela berdesak-desakkan, panas, pengap, menahan kencing selama puluhan jam, serta dalam intaian tukang bius, copet, serta calo.
Manajemen transportasi makin memburuk jika melihat kebiasaan (jelek) birokrasi yang mengurusi jalan raya. Lihat saja, meski Lebaran sudah berlangsung bertahun-tahun, namun kebiasaan sistem kebut untuk tambal sulam jalan raya terus dilakukan menjelang Hari Raya.
Tidakkah pemerintah memiliki telinga dan mata hati yang jernih tentang nyawa sejumlah 576 tersebut? Belum lagi berapa yang luka serta kerugian nonmaterial laina. Fakta ini menunjukkan betapa ketimpangan pembangunan itu terus dilembagakan, sadar atau tidak.
Pemerintah demikian cepat mengambil langkah penyelamatan manakala ada bank yang kolaps. Uang 6,7 triliun langsung mengucur. Untuk membangun jalan tol juga cepat sekali responsnya, padahal tol hanya menguntungkan mobil pribadi. Sebaliknya sekadar untuk menambah rel ganda atau gerbong kereta api yang manusiawi tidak mampu. Yang terjadi malahan banyak kasus korupsi terhadap pembangunan sarana transportasi. Ada terminal yang baru diresmikan, sudah rontok dan mengelupas, serta berbagai korupsi lain.
Urban Bias Peristiwa mudik dapat dilihat dari perspektif kewilayahan. Dalam pembangunan kewilayahan, isu keadilan selalu menjadi perbincangan hangat, terutama terkait dengan masalah ”kesenjangan wilayah”. Sampai saat ini isu kesenjangan wilayah terpusat kepada kesenjangan antara desa dan kota, antara kawasan Timur Indonesia dan kawasan Barat Indonesia, serta antara Jawa dan luar Jawa.
Banyak indikator yang digunakan untuk memperlihatkan bahwa sebuah wilayah dianggap lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang lainnya. Hill (1993) misalnya menyebut indikator yang bersifat statis seperti Indeks Pembangunan Manusia (human development index), Indeks Kualitas Kehidupan secara Fisik (physical quality of life index), maupun laju PDRB (product domestic regional bruto). Sebagai contoh Jakarta yang memiliki PDRB per kapita sebesar 1,76 juta rupiah pada 1991, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata PDRB per kapita secara nasional yang hanya Rp 0,55 juta rupiah pada saat sama.
Gambaran sederhana ini hanya ingin menunjukkan bahwa Jakarta berkembang terlalu pesat dibandingkan dengan wilayah provinsi di Indonesia yang lain. Konon uang yang beredar di Jakarta mencapai 70 persen dari peredaran uang nasional.
Pada masa Orde Baru untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan. Konsep ini menurut Douglass (1998) dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar. Harapannya, pertumbuhan ekonominya dapat menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect). Asumsinya, barang-barang yang dihasilkan diekspor ke luar dan pusat-pusat metropolitian untuk menjadi ”mesin pembangunan”.
Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa industrialisasi dipandang sebagai resep yang mujarab untuk mengurangi kemiskinan, keterbelakangan, dan pengangguran di negara-negara sedang berkembang. Dengan industrialisasi, diharapkan akan muncul peluang kerja dan mampu menampung luapan kerja dari sektor pertanian.
Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak cocok karena ada dualisme antara sektor pertanian dan industri. Pada satu sisi sektor pertanian banyak mengalami hambatan karena lahan pertanian —terutama— di Jawa sangat sempit karena ada fragmentasi atau pewarisan. Di sisi lain, sektor industri sangat padat modal dan berorientasi kepada substitusi impor.
Kendali ada di Negara-negara maju, dan Indonesia hanya sebagai ”tukang jahit”. Akibatnya hanya tenaga kerja terampil yang dapat memasuki sektor industri. Adanya urban bias semacam ini mengakibatkan tumbuhnya sektor informal, karena luapan tenaga kerja dari sektor pertanian tidak banyak yang dapat ditampung di sektor industri.
Akibatnya dapat diduga, arus migrasi dari desa ke kota di negeri ini luar biasa, karena kota menyediakan lapangan pekerjaan yang sangat ”luwes” seperti di sektor informal. Pada 2008 Jawa Tengah ”sukses” mengirimkan 13.000 tenaga kerja ke Jakarta dalam arus balik Lebaran (Lihat SM edisi Oktober 2008) lalu. Ini artinya, desa-desa di tanah air mengalami kelangkaan kesempatan kerja.
Atasi Kesenjangan Kesenjangan wilayah merupakan hal yang wajar dalam sebuah pembangunan. Masalah pokok yang harus dipecahkan adalah adanya konsepsi kuat untuk jangka waktu yang panjang yang dilandasi keadilan sosial, serta adanya sistem ekonomi politik negara yang tidak memihak terlalu kuat pada wilayah tertentu. Jalan yang harus ditempuh diantaranya bagaimana memberi kemandirian sekaligus dukungan kepada sebuah wilayah sehinga mereka memiliki daya saing.
Daerah-daerah yang kurang berkembang didorong dengan mobilisasi seluruh kelembagaan, baik dari kalangan perguruan tinggi, LSM, dunia penelitian, pengusaha kecil menengah dan pengusaha besar, lembaga keuangan daerah, lembaga keuangan nasional, serta kemampuan aparatur daerah yang terampil dan memiliki visi misi ke depan yang jelas. Kesemunya mestinya dijalankan dalam sebuah jaringan yang erat.
Di sisi lain, Hirschman mengatakan bahwa strategi pembangunan harus dipusatkan kepada sedikit sektor lalu disebarkan ‘’backward linkage’’ dan ‘’forward linkage’’. Jika leading sector dikaitkan dan disebarkan ke berikutnya, dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain. Namun yang jelas, kurangnya keterkaitan ke belakang atau backward linkage banyak disebabkan oleh lemahnya permodalan petani di negara-negara sedang berkembang. Pada umumnya para petani sangat tergantung produk-produk pertanian dari luar seperti obat-obatan dan pupuk.
Akibatnya mereka sering menjadi obyek permainan pasar. Jika panen berlimpah harga turun drastis, jika musim tanam tiba pupuk dan obat-obatan menghilang. Demikian pula teknologi pertanian lainnya seperti inseminator buatan, reparasi alat-alat pertanian atau pelayanan jasa keuangan.
Banyak petani yang terjerat renternir dan sistem ijon. Disamping itu, banyak industri modern yang tidak terkait dengan produk pertanian —forward linkage—. Industri padat modal menguasai jaringan dari hulu sampai hilir. Misalnya pabrik supermie, mereka memiliki jaringan tersendiri dan tidak mengambil terigu, cabe, rempah-rempah, dst dari petani.
Dari titik inilah arus migrasi ke kota-kota besar akan terus terjadi, dan jika manajemen transportasi juga jelek, maka bencana juga akan terus berulang. (35)
Wacana Suara Merdeka 29 September 2009
—Saratri Wilonoyudho, pengajar MK Planologi di Universitas Negeri Semarang