28 September 2009

» Home » Jawa Pos » Reformasi Setengah Hati IMF

Reformasi Setengah Hati IMF

BELUM satu minggu KTT G-20 di Pittsburgh-Pennsylvania dilaksanakan. Beberapa keputusan penting yang mengubah struktur ekonomi politik internasional diambil dalam konferensi tersebut. Selain mengevaluasi penanggulangan krisis finansial global, negara-negara itu melakukan sebuah terobosan baru dalam proses partisipasi kepentingan dan representasi sistem keuangan global, khususnya dalam lembaga IMF.
Dari KTT ini muncul pandangan bahwa IMF tetap dipercaya menjadi instrumen yang kredibel sebagai lembaga penyedia likuiditas keuangan internasional pascakrisis. Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat ditarik dalam konteks politik internasional atas fenomena ini.

Pertama, IMF masih menjadi instrumen diplomasi negara dalam melangsungkan manuver politik dalam sistem internasional yang telah diporakporandakan oleh sistem keuangan internasional yang anarkis. Bukan hanya dalam forum G-20, blok berkembang seperti China, Rusia, Brazil, dan India yang belum lama bertemu dalam Konferensi BRIC di Yaketerinburg, juga menyatakan untuk segera menambah kuotanya dalam IMF.

Kedua, kebijakan persyaratan (structural adjustment) yang dibebankan pada setiap kredit yang diajukan, secara politis akan banyak berkiblat kepada negara dengan penyumbang kuota terbesar di dalamnya.

Jika menggunakan logika neofungsionalisme, kita tidak hanya harus menilik kembali efektivitas peran IMF, namun juga harus memproyeksikan kepentingan setiap negara di dalamnya. Dengan krisis finansial global yang mengisyaratkan lalu lintas modal yang sangat padat di dunia, logika dasar mekanisme kerja IMF patut dipertanyakan. Logika bahwa sejumlah dana dicadangkan untuk menutup instabilitas mata uang jika krisis likuiditas terjadi di suatu negara merupakan cara pikir represif. Dunia pascakrisis 2008 bukan hanya menuntut jaring pengaman, namun juga harus menggunakan logika berpikir preventif.

Segala yang terkandung dalam IMF merupakan langkah-langkah darurat pascakrisis. Padahal, yang diperlukan adalah pencegahan krisis. Memang siklus ekonomi akan menempatkan para pelakunya bak di dalam roda, dan fase pertumbuhan (growth) akan diikuti dengan ledakan pertumbuhan (booming) yang kemudian mengarah pada krisis. Logika semacam ini digunakan para ekonom neoklasik seperti Keynes dan Minsky. Namun, dampak siklus ini dapat diminimalkan dengan dilakukannya upaya pencegahaan atas krisis, bukan dibiarkan hingga dampaknya lebih sulit diatasi.

Segala keputusan IMF tidak serta-merta menitikberatkan pada persoalan kuota. IMF sendiri memiliki banyak persoalan. Pertama persoalan kursi karena terkait dengan proses pengambilan keputusan di tubuh IMF. Dari 24 direktur eksekutif yang mewakili seluruh negara anggota, delapan posisi dimiliki secara tunggal (one seat) oleh Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris, Rusia, Prancis, China, dan Arab Saudi. Sedangkan 16 direktur eksekutif sisanya dibagi ke dalam 178 negara anggota lain. Karena itu, wajar jika lebih dari 40 persen hak suara (voting) dikuasai oleh hanya lima negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang.

Kedua, penambahan kuota dalam IMF sebenarnya telah dihitung secara adil dalam statuta yang digariskan pada rezim keuangan ini. Terdapat empat hal yang menjadi dasar (prerequisites) sebagai pertimbangan untuk menambah (dan mengurangi) kuota. Keempatnya adalah besarnya cadangan devisa; GDP; volume perdagangan; dan besarnya ekspor. Namun, dalam praktiknya prinsip ini belum sepenuhnya diimplementasikan dan cenderung politis (Isaard, 2005).

Penambahan kuota hingga lima persen yang disepakati dalam G-20 memang mementahkan stigma politik dalam IMF. Namun, kebijakan ini berimplikasi pada peningkatan kapasitas negara untuk melakukan pinjaman eksesif terhadap IMF (moral hazard), khususnya bagi negara berkembang yang sistem finansialnya masih rapuh. Penambahan kuota terhadap negara berkembang tanpa pembatasan kuota terhadap negara maju juga akan memunculkan hambatan teknis dalam pelaksanaannya, mengingat masih besarnya keinginan negara-negara maju untuk terus meningkatkan modal dan kuota.

Ketiga, sistem pengawasan yang dimiliki IMF sebagai satu-satunya kebijakan preventif tidak berjalan maksimal. Lembaga ini hanya menuangkan berbagai penelitian dan prediksi ekonomi yang dipublikasikan dalam bentuk World Economic Outlook. Sedangkan pengawasan intensif hanya dilakukan kepada negara yang mengajukan kredit. Bahkan, berbagai proposisi kebijakannya terhadap negara berkembang kerap memberikan dampak negatif terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat (Jack Donnelly, 2003).

Terakhir adalah sistem penarikan bunga yang tidak efisien bagi peminjam. Dari seluruh paket pinjaman IMF, suku bunga pengembalian kuota yang diajukan untuk peminjaman berkisar antara 100 persen-300 persen. Padahal, pinjaman dilakukan dalam jangka waktu singkat.

Dengan bunga sangat besar, IMF tidak kurang hanya menjadi lembaga bisnis pada umumnya yang kurang memperhatikan survivabilitas debitor. Karena itu, komitmen lembaga ini untuk mencegah krisis juga mesti dipertanyakan.

Sinyalemen reformasi IMF dalam KTT G-20 tampak masih setengah hati. Stigma politik bahwa rezim dan lembaga internasional menjadi instrumen negara untuk memperoleh keuntungan bagi kemakmuran rakyat belum sepenuhnya dibenahi. Kini kita hanya bisa berharap bahwa manifesto G-20 terhadap pentingnya peran negara berkembang bisa menjadi nyata dengan mekanisme panambahan kuota tiap anggota yang berasal dari negara berkembang menjadi sebesar lima persen. (*)

 opini Jawa Pos 28 September 2009
*). Pamungkas Ayudhaning D., pengamat Ekonomi Politik Internasional, Departemen HI, FISIP UI; Direktur Eksekutif Syndrome, UI