Perpu, sebagai salah satu bentuk perundang-undangan yang sejajar dengan UU (Pasal 7 ayat (1) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), merupakan legislasi lahir karena ”operasi caesar”. Dalam situasi normal, UUD 1945 menuntut supaya UU harus dengan persetujuan DPR. Tetapi, konstitusi juga memberikan ”senjata” kepada Presiden untuk, ”dalam hal ikhwal kegentingan memaksa”, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945). Namun demikian, legislasi tidak normal itu, demi penghormatan kepada demokrasi dan mencegah penyalahgunaan wewenang Presiden, harus memperoleh persetujuan DPR pada masa sidang berikut (Pasal 22 UUD 1945 ayat 2).
Karena legislasi yang sejajar dengan UU, maka secara ekstensif, materi muatan Perpu sama dengan UU. Hanya, dalam tafsir teleologis, menilik eksistensinya dalam Pasal 22 UUD 1945, Perpu nampaknya legislasi yang ”tidak normal”, tetapi jelas, ia bukan UU Darurat.
Limitasi Satu hal yang amat riskan, jika Perpu disamakan begitu saja dengan UU, mengingat daya jangkau UU menyangkut atribusi konstitusi. Artinya, ”hal ikhwal yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan dan mencapai tujuan negara” merupakan perintah UUD 1945, untuk ditindaklanjuti dengan UU. Sementara Presiden, selaku administrator pemerintahan tertinggi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), kadang-kadang harus mengatasi persoalan yang mengandung krisis dan kemendesakan untuk segera diatasi. Di sini ada tafsir bahwa situasi krisis dan kemendesakan itu sepenuhnya otoritas Presiden. Namun, justru karena menyangkut kekuasaan eksekutif, yang sesuai dengan jiwa UUD 1945, harus terbatas maka ada limitasi soal eksekusi wewenang ini.
Pertama, Presiden, sesuai dengan kaidah reformasi, harus aktif untuk meyakinkan publik, bahwa sesuatu memang dalam ”kegentingan memaksa”, sehingga memaksanya untuk bertindak lekas dan tepat. Di sini berlaku dalil: solus populi suprema lex, kepentingan umum adalah hukum tertinggi. Jika, Presiden gagal menjelaskan hal tersebut, maka Perpu menjadi invalid. Kedua, Perpu tidak boleh mengatur materi muatan yang berpotensi ”mengganggu” relasi ketatanegaraan.
Jadi, menyangkut kelembagaan negara, haruslah memperhatikan UUD 1945, yang menuntut adanya persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya (DPR), dan dituangkan dalam bentuk UU. Dalam konteks ini, kita ingat, Perpu No 1/1999 tentang Pengadilan HAM yang ditetapkan oleh Presiden Habibie ditolak oleh DPR (1999-2004) karena dianggap merupakan substansi konstitusi. Tetapi, ketika Presiden Soeharto menetapkan Perpu No 1/1998 yang membentuk Pengadilan Niaga, DPR menyetujui.
Upaya Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat Wakapolri menjadi Kapolri, tanpa konsultasi dengan DPR atas nama ”negara dalam keadaan darurat” (Juli 2001), berujung kepada impeachment oleh MPR ketika itu. Ketiga, Perpu harus absen dari upaya pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (HAM), karena ini merupakan sesuatu yang fundamental dari konstitusi. Ingat juga, Presiden Habibie pernah menetapkan Perpu No 2/1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, yang memperoleh perlawanan seru dari DPR. Tetapi sebelum DPR mengambil keputusan apa pun, Menhankam/Pangab waktu itu, menarik kembali Perpu.
Ini sesuatu yang unpredictable, yakni tak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Keempat, DPR harus didengar pendapatnya. Kapan DPR harus bersuara? Konstitusi tidak pernah mengatur, kecuali ”dalam masa persidangan berikut” (Pasal 22 ayat 2 UUD 1945). Ini tergantung Peraturan Tata Tertib DPR, yang merupakan delegasi dari UU Susduk (UU No. 27/2009). Jika Presiden menetapkan Perpu dalam hari-hari ini, tentu bukan DPR (2004-2009) yang harus memberikan suara, tetapi DPR hasil Pemilu 2009, yang bekerja setelah dilantik (1 Oktober 2009) dan setelah segala alat perlengkapan dibentuk. Tetapi, Presiden harus sibuk menghadapi ”realitas politik” baru, sehingga harus mengerahkan energi untuk membangun relasi dengan DPR kelembagaan baru.
Jadi, Perpu tidak sama dengan UU Darurat, versi Konstitusi RIS (1949) dan UUD S (1950) yang kewenangannya melekat penuh dalam diri eksekutif (waktu itu sistem parlementer). Sekalipun dasar dikeluarkannya Perpu menyebabkan anggapan sebagai legislasi tidak normal, yang sering diberikan oleh Konstitusi demokratik, tetapi positivisasinya harus dibatasi.
Konteks Masalah Dengan argumen di atas, maka sebenarnya tidak tepat jika Presiden menetapkan Perpu untuk mengisi PLT Pimpinan KPK, karena memasuki ranah kelembagaan negara. Seandainya Presiden tetap beranggapan bahwa ada ”kekosongan” kepemimpinan KPK, atas nama admistrator pemerintahan tertinggi (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945), Presiden bisa mengeluarkan Keppres untuk mengisinya. Walau sama-sama menyimpangi UU, tetapi risiko politik dan debat legitimasinya tidak sekeras Perpu. Kategori Keppres dalam konteks ini adalah discretionary power, yang lazim melekat penuh pada eksekutif, untuk mengatasi krisis dan kemendesakan.
Legitimasinya juga tidak dapat diuji oleh DPR, bahkan oleh pengadilan sekalipun, karena memasuki beleidsregel, suatu kebijakan pemerintahan, yang memiliki argument teoritis kuat. Jadi, ada minimalisasi risiko politik dan hukum. Sudah barang tentu, untuk menghormati sumpah Presiden dalam menjalankan UUD dan UU (Pasal 9 ayat 1 UUD 1945), Keppres sebagai tindakan sementara itu harus memuat limitasi kapan PLT itu harus menjabat, ruang lingkup wewenangnya, dan bagaimana implikasinya jika sifat kesementaraan itu dianggap sudah hilang.
Faktanya Perpu sudah ditetapkan. Tetapi ini sepenuhnya sudah menjadi wilayah politik sampai ada persetujuan DPR. Sementara itu, Perpu harus dianggap sah, atas nama asas presumption iustea caua, praduga rechtmatige. Jika nantinya DPR menolak, maka tidak ada pilihan lain kecuali Perpu harus dicabut (Pasal 22 ayat 3 UUD 1945). Dalam hal ini pun, DPR tidak punya wewenang apa pun, hanya menyatakan menolak atau menerima, tidak boleh membahas atau mengubah substansi Perpu yang diajukan.
Akibat hukumnya, maka pengisian PLT tidak dapat dipertahankan eksekusinya. Jika nantinya DPR menyetujui, tentu Perpu itu harus dianggap memperoleh legitimasi politik dari para wakil rakyat.
Diharapkan ke depan, tidaklah setiap ”kegentingan memaksa” harus direspons dengan Perpu, yang sesungguhnya merupakan legislasi dalam keadaan darurat, tetapi bukan UU Darurat. Jangan sampai dengan Perpu justru menimbulkan reaksi: kekuasaan Presiden tidak terbatas! (35)
Karena legislasi yang sejajar dengan UU, maka secara ekstensif, materi muatan Perpu sama dengan UU. Hanya, dalam tafsir teleologis, menilik eksistensinya dalam Pasal 22 UUD 1945, Perpu nampaknya legislasi yang ”tidak normal”, tetapi jelas, ia bukan UU Darurat.
Limitasi Satu hal yang amat riskan, jika Perpu disamakan begitu saja dengan UU, mengingat daya jangkau UU menyangkut atribusi konstitusi. Artinya, ”hal ikhwal yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan dan mencapai tujuan negara” merupakan perintah UUD 1945, untuk ditindaklanjuti dengan UU. Sementara Presiden, selaku administrator pemerintahan tertinggi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945), kadang-kadang harus mengatasi persoalan yang mengandung krisis dan kemendesakan untuk segera diatasi. Di sini ada tafsir bahwa situasi krisis dan kemendesakan itu sepenuhnya otoritas Presiden. Namun, justru karena menyangkut kekuasaan eksekutif, yang sesuai dengan jiwa UUD 1945, harus terbatas maka ada limitasi soal eksekusi wewenang ini.
Pertama, Presiden, sesuai dengan kaidah reformasi, harus aktif untuk meyakinkan publik, bahwa sesuatu memang dalam ”kegentingan memaksa”, sehingga memaksanya untuk bertindak lekas dan tepat. Di sini berlaku dalil: solus populi suprema lex, kepentingan umum adalah hukum tertinggi. Jika, Presiden gagal menjelaskan hal tersebut, maka Perpu menjadi invalid. Kedua, Perpu tidak boleh mengatur materi muatan yang berpotensi ”mengganggu” relasi ketatanegaraan.
Jadi, menyangkut kelembagaan negara, haruslah memperhatikan UUD 1945, yang menuntut adanya persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya (DPR), dan dituangkan dalam bentuk UU. Dalam konteks ini, kita ingat, Perpu No 1/1999 tentang Pengadilan HAM yang ditetapkan oleh Presiden Habibie ditolak oleh DPR (1999-2004) karena dianggap merupakan substansi konstitusi. Tetapi, ketika Presiden Soeharto menetapkan Perpu No 1/1998 yang membentuk Pengadilan Niaga, DPR menyetujui.
Upaya Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat Wakapolri menjadi Kapolri, tanpa konsultasi dengan DPR atas nama ”negara dalam keadaan darurat” (Juli 2001), berujung kepada impeachment oleh MPR ketika itu. Ketiga, Perpu harus absen dari upaya pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (HAM), karena ini merupakan sesuatu yang fundamental dari konstitusi. Ingat juga, Presiden Habibie pernah menetapkan Perpu No 2/1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat, yang memperoleh perlawanan seru dari DPR. Tetapi sebelum DPR mengambil keputusan apa pun, Menhankam/Pangab waktu itu, menarik kembali Perpu.
Ini sesuatu yang unpredictable, yakni tak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Keempat, DPR harus didengar pendapatnya. Kapan DPR harus bersuara? Konstitusi tidak pernah mengatur, kecuali ”dalam masa persidangan berikut” (Pasal 22 ayat 2 UUD 1945). Ini tergantung Peraturan Tata Tertib DPR, yang merupakan delegasi dari UU Susduk (UU No. 27/2009). Jika Presiden menetapkan Perpu dalam hari-hari ini, tentu bukan DPR (2004-2009) yang harus memberikan suara, tetapi DPR hasil Pemilu 2009, yang bekerja setelah dilantik (1 Oktober 2009) dan setelah segala alat perlengkapan dibentuk. Tetapi, Presiden harus sibuk menghadapi ”realitas politik” baru, sehingga harus mengerahkan energi untuk membangun relasi dengan DPR kelembagaan baru.
Jadi, Perpu tidak sama dengan UU Darurat, versi Konstitusi RIS (1949) dan UUD S (1950) yang kewenangannya melekat penuh dalam diri eksekutif (waktu itu sistem parlementer). Sekalipun dasar dikeluarkannya Perpu menyebabkan anggapan sebagai legislasi tidak normal, yang sering diberikan oleh Konstitusi demokratik, tetapi positivisasinya harus dibatasi.
Konteks Masalah Dengan argumen di atas, maka sebenarnya tidak tepat jika Presiden menetapkan Perpu untuk mengisi PLT Pimpinan KPK, karena memasuki ranah kelembagaan negara. Seandainya Presiden tetap beranggapan bahwa ada ”kekosongan” kepemimpinan KPK, atas nama admistrator pemerintahan tertinggi (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945), Presiden bisa mengeluarkan Keppres untuk mengisinya. Walau sama-sama menyimpangi UU, tetapi risiko politik dan debat legitimasinya tidak sekeras Perpu. Kategori Keppres dalam konteks ini adalah discretionary power, yang lazim melekat penuh pada eksekutif, untuk mengatasi krisis dan kemendesakan.
Legitimasinya juga tidak dapat diuji oleh DPR, bahkan oleh pengadilan sekalipun, karena memasuki beleidsregel, suatu kebijakan pemerintahan, yang memiliki argument teoritis kuat. Jadi, ada minimalisasi risiko politik dan hukum. Sudah barang tentu, untuk menghormati sumpah Presiden dalam menjalankan UUD dan UU (Pasal 9 ayat 1 UUD 1945), Keppres sebagai tindakan sementara itu harus memuat limitasi kapan PLT itu harus menjabat, ruang lingkup wewenangnya, dan bagaimana implikasinya jika sifat kesementaraan itu dianggap sudah hilang.
Faktanya Perpu sudah ditetapkan. Tetapi ini sepenuhnya sudah menjadi wilayah politik sampai ada persetujuan DPR. Sementara itu, Perpu harus dianggap sah, atas nama asas presumption iustea caua, praduga rechtmatige. Jika nantinya DPR menolak, maka tidak ada pilihan lain kecuali Perpu harus dicabut (Pasal 22 ayat 3 UUD 1945). Dalam hal ini pun, DPR tidak punya wewenang apa pun, hanya menyatakan menolak atau menerima, tidak boleh membahas atau mengubah substansi Perpu yang diajukan.
Akibat hukumnya, maka pengisian PLT tidak dapat dipertahankan eksekusinya. Jika nantinya DPR menyetujui, tentu Perpu itu harus dianggap memperoleh legitimasi politik dari para wakil rakyat.
Diharapkan ke depan, tidaklah setiap ”kegentingan memaksa” harus direspons dengan Perpu, yang sesungguhnya merupakan legislasi dalam keadaan darurat, tetapi bukan UU Darurat. Jangan sampai dengan Perpu justru menimbulkan reaksi: kekuasaan Presiden tidak terbatas! (35)
Wacana Suara Merdeka 29 September 2009
—Isharyanto SH MHum, dosen Faklutas Hukum Universitas Sebelas Maret
—Isharyanto SH MHum, dosen Faklutas Hukum Universitas Sebelas Maret