28 September 2009

» Home » Kompas » DPR Baru, Tantangan Lama

DPR Baru, Tantangan Lama

Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 akan dilantik pada Rabu (1/10). Meski disertai kontroversi megaanggaran pelantikan, anggota baru DPR akan bersumpah menjadi wakil rakyat dengan menyangkal diri demi rakyat dan perjuangan cita-cita bangsa.
Sejak saat itu, anggota DPR harus melepas kepentingan diri, keluarga, ataupun kelompok sempit. Mampu dan relakah mereka melakukan itu? Ini merupakan tantangan yang harus dijawab para wakil rakyat yang baru itu.


Tidak jauh beda
Sosok anggota DPR hasil Pemilu 2009 tampak tidak jauh beda dengan DPR hasil pemilu sebelumnya. Komposisi latar belakang profesi hampir sama, yakni pengusaha, mantan birokrat sipil dan militer, anak pejabat, akademisi, konsultan, serta artis. Tingkat pendidikannya relatif sama, lebih dari 90 persen berpendidikan tinggi.

Motivasi dan perilaku anggota mungkin juga tidak berbeda. Ada yang sungguh menghayati/mengamalkan sumpahnya sebagai wakil rakyat. Namun, mungkin lebih banyak yang cenderung berburu kekuasaan demi kepentingan diri.

Pengalaman DPR sebelumnya menunjukkan kecenderungan buruk itu. Komitmen keberpihakan pada kepentingan rakyat menjadi barang langka di DPR.
Pemilu pascareformasi yang konon merupakan sarana demokrasi bagi proses rekrutmen wakil rakyat yang dapat dipercaya telah bergeser. Pemilu dimanfaatkan sebagai sarana transaksional bagi mereka yang haus kekuasaan dan serakah harta. Dan, rakyat diposisikan sebagai kaum lapar tanpa harga diri yang kedaulatannya dihargai dan ditukar rupiah.

Pemilu 2009 menjadi pasar bebas bagi petualang politik. Kekuatan finansial dieksploitasi demi menghipnotis daya kritis masyarakat menjadi pragmatis. Fenomena ini terlihat jelas selama kampanye, penghitungan suara, hingga penetapan calon terpilih. Tidak heran, banyak caleg yang gila karena nafsunya tidak tercapai.
Semua caleg merasa pantas dan berpeluang terpilih. Mereka lupa berkaca diri soal kemampuan, integritas moral, komitmen, serta pengalaman politik.

Itulah fenomena paradoks demokrasi. Satu sisi demokrasi menjamin hak tiap warga berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya; sisi lain demokrasi gagal menghasilkan elite berkualitas dan berkomitmen memenuhi harapan rakyat.

Tantangan
Terpuruknya citra dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap DPR adalah bukti kegagalan wakil rakyat. Warisan masalah semacam ini, disengaja atau tidak, akan menyeret DPR baru dalam situasi sulit untuk memulai masa tugasnya.
Mereka harus bekerja dalam bayangan citra Dewan yang rusak, tanpa kepercayaan publik, disertai keraguan atas kemampuan, komitmen, integritas, serta kemandirian politik membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

DPR periode 2009-2014 menghadapi tantangan yang mentradisi seperti itu. Jika ada kesungguhan mengatasinya, DPR baru harus mampu membuktikan sebaliknya: bahwa citra Dewan terhormat, dan publik dapat menaruh kepercayaannya karena Dewan bekerja untuk kepentingan mereka. Ini membutuhkan komitmen perubahan serta pilihan pendekatan yang strategis, efisien, dan efektif.
Membuktikan komitmen perubahan dapat dimulai dengan hal sederhana, seperti rajin dan tepat waktu menghadiri sidang, menghindari kegiatan percaloan politik, serta menjauhkan pikiran dari penyalahgunaan wewenang. Lebih dari itu, pada dasarnya anggota Dewan tidak pernah punya hambatan untuk melakukan inisiasi perubahan berbagai mekanisme kerja DPR yang birokratis dan pengambilan kebijakan yang tidak efisien.

DPR juga perlu serius membangun pola relasi intim dengan konstituen. Intimasi relasi wakil dan konstituen adalah kunci guna membongkar kebekuan hubungan dan menghapus keraguan/kecurigaan di antara keduanya. Inisiatif intimasi semacam ini akan memaknai demokrasi perwakilan sebagai demokrasi komunikatif, di mana dialog antara rakyat dan wakilnya dapat berlangsung intensif.
Anggota DPR sering mengandalkan media dalam menyampaikan informasi atas kinerjanya. Padahal, media sering kurang utuh dalam penyampaian informasi itu kepada konstituen karena terbatasnya ruang dan jangkauan. Adalah tugas dan kewajiban anggota DPR untuk langsung menampilkan rencana dan hasil kerjanya kepada konstituen. Sebab, di DPR dibuat aneka keputusan penting yang harus diinformasikan kepada konstituen.

Itulah pentingnya intimasi yang selama ini diabaikan, dan berakibat fatal karena mayoritas konstituen tidak tahu apa yang telah dan akan dikerjakan anggota DPR. Sementara itu, informasi tentang citra buruk DPR terus menerpa mereka. Hasilnya, anggota DPR diakui sebagai wakil rakyat, tetapi rakyat membenci, mengkritik, bahkan mencacinya.

Harapan
DPR mendatang perlu berkaca pada pengalaman DPR sebelumnya, agar tidak mengulang kesalahan dan mampu memperbaiki kinerja. Sistem suara terbanyak pada Pemilu 2009 kiranya memberi pelajaran penting bagi setiap anggota DPR baru bahwa pemilu bukan sekadar mencoba keberuntungan. Dengan sistem itu, anggota DPR tetap dituntut berjuang keras dan mengabdi kepada konstituen.
Berpolitik berarti bersedia mendedikasikan diri, waktu, pikiran, serta tenaga bagi rakyat dan partai politik, bukan sekadar numpang lewat dan mencari keberuntungan melalui kekuasaan publik. Menjadi wakil rakyat berarti bersedia dan rela berkorban demi rakyat dan bangsa, bukan mencari dan memanfaatkan kekuasaan demi kekayaan, mengembangkan relasi bisnis, atau menjadi alat penguasa dan pemilik modal. Karena itu, wakil rakyat disebut sebagai anggota Dewan ”yang terhormat”.

Opini Kompas 28 September 2009


Sebastian Salang Peneliti Formappi Jakarta