21 Desember 2010

» Home » Lampung Post » Opini » Plus Minus Desentralisasi Kesehatan di Lampung

Plus Minus Desentralisasi Kesehatan di Lampung

Sebenarnya konsep desentralisasi dan otonomi daerah di bidang kesehatan sudah lama dikenal di negara kita, mungkin bisa dirunut mulai tahun 1950-an. Oleh karena itu, sesungguhnya kita sudah cukup banyak pengalaman. Yang masih segar di benak pikiran kita adalah munculnya reformasi tahun 1998-an yang secara fundamental mengubah suasana sentralistis dalam hidup bernegara menjadi suasana desentralistis dengan otonomi daerah yang mencuat. Persoalannya ialah seberapa banyak pembelajaran (bukan saja pengalaman) yang bisa kita lakukan? Meminjam mantra manajemen, maka pertanyaan yang seyogianya kita tuntaskan: Seberapa efektifkah desentralisasi dan otonomi daerah di bidang kesehatan itu? Seberapa efisienkah? Seberapa produktifkah?
Secara politis, sudah banyak kemajuan yang diperoleh. Saat ini bisa dikatakan tidak seorang pun elite yang berkuasa yang menafikan betapa pentingnya pembangunan kesehatan. Hampir semuanya nyaring menyuarakan bahwa dalam rangka pembangunan negara/daerah yang propublik maka kesehatan adalah satu primadona yang harus masuk arus utama
pembangunan tersebut. Payung konstitusi juga sudah dikembangkan, bahwa kesehatan adalah bagian utuh dari hak asasi, kesehatan adalah investasi untuk menghadirkan sumber daya insani (SDI) yang berkualitas. Ini semua adalah peluang dan sekaligus kekuatan. Namun, harus juga dicatat beberapa kelemahan, antara lain tentang pemahaman yang kurang tepat bagaimana pembangunan kesehatan dijalankan, bukan sekadar aksi karitatif, namun semestinya utuh seperti konsep Blum (1974) atau konsep Mandala of Health (1990-an), atau "nebeng" kesepakatan Millenium dgn MDG’s (2000). Dan mungkin benar juga pembangunan kesehatan menjadi kurang cepat maju karena adanya rembesan politis dalam penempatan SDI dan juga pengembangan kariernya, yang semestinya the right man, in the right place, on the right time.
Secara ekonomis, meskipun terus mencatat peningkatan dalam anggaran pemerintah untuk sektor kesehatan, sebenarnya masih banyak pertanyaan mendasar. Seberapa banyak pemda yang menganggarkan dalam porsi 10% sebagaimana amanat UU Kesehatan? Bagaimana perkembangan district health account? Seberapa tepat alokasi anggaran tersebut—promotif preventifkah atau justru tetap dominan kuratif? Benarkah sudah pro-poor budgetting, berapa porsi belanja aparat dan berapa porsi belanja publik? Yang paling mendasar adalah seberapa banyak masalah kesehatan dapat diselesaikan atau minimal direduksi dengan penggelontoran dana yang cukup signifikan tersebut? Mudah-mudahan pula kita tidak terbenam dalam keriuhan semantik—ada Jamkesmas, Jamkesmasda, Jamkesta –yang membuat kita nanar menatap masa depan sistem pembiayaan kesehatan kita yang seharusnya masuk dalam skema Asuransi Kesehatan Sosial dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004).
Secara sosial, kita diuntungkan dengan perkembangan sektor-sektor lain dalam pembangunan komprehensif, misalnya, tingkat pendidikan yang makin merata, tingkat kemampuan ekonomi (konon) makin tinggi , lalu tingkat keamanan dan transportasi komunikasi yang menjamin kondusivitas lahan pengabdian tenaga kesehatan. Akan tetapi, di sisi lain, kita miris dengan fenomena-fenomena yang makin intens, misalnya, kecenderungan persistensinya transisi epidemiologis, munculnya NEID (new emerging infectious disease), munculnya REID (re-emerging infectious disease), munculnya penyakit degeneratif dan gaya hidup, moral hazard alias aji mumpung, inkompetensi dan inkonsistensi, menipisnya kesetiakawanan sosial, perilaku menyimpang yang menggerus status kesehatan, dan lain sebagainya.
Secara teknologi, kita sudah memiliki banyak instrumen manajemen sebagai peranti lunak. Mulai dari fase pengorganisasian, perencanaan, penggerakan pelaksanaan, bahkan sampai fase pengendalian. Untuk piranti keras, baik untuk pelayanan private-goods (baca: lebih ke kuratif) maupun public-goods (baca: lebih ke promotif preventif ) rasanya juga cukup memadai. Mungkin yang masih perlu kita pikirkan justru pada pangkal atau induk pengorganisasian upaya kesehatan secara menyeluruh dan integratif, yang mampu menata keseluruhan upaya kesehatan, termasuk juga yang dilakukan oleh pemangku kepentingan (sektor lain maupun swasta). Adakah memang sudah waktunya kita punya sistem kesehatan daerah?
Walhasil, tampaknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang kesehatan di Provinsi Lampung sampai saat ini masih menyisakan banyak PR, masih belum sampai aras nirmasalah. Izinkan saya mengajak untuk terus menyelesaikan tugas dan permasalahan kesehatan ini dengan mengedepankan pendekatan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan paradigma sehat dan makna kesehatan secara utuh dan benar, yakni: (1) pendekatan sistem, (2) pendekatan situasional, dan (3) pendekatan sinergi dinamis (Turnock,BJ,2004) . Barangkali, dengan demikian akan menjadi mudah melaksanakan tugas institusi administrasi kesehatan dalam menyelenggarakan fungsinya yakni mendefinisikan masalah kesehatan masyarakat secara tepat, berperan aktif memengaruhi formulasi kebijakan kesehatan, dan mengawal implementasi kebijakan kesehatan.

Opini Lampung Pos 22 Desember 2010