Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang(Safwan, 1985).
Mungkin banyak yang sudah mendengar sepotong kalimat ini dari surat RA Kartini. Sosok yang dikenal sebagai perempuan yang mempunyai spirit dalam perjuangan kesetaraan gender atau emansipasi. Setidaknya dengan adanya Hari Ibu, 22 Desember, perempuan Indonesia patut berbangga sebab mereka diapresiasi jasa dan perannya dalam perjuangan.
Hal ini berbeda dengan yang terjadi di luar Indonesia. Perempuan belum mendapat tempat yang layak di mata negara, adanya Hari Ibu (Mother’s Day) di Amerika Serikat dan Kanada pada pekan kedua bulan Mei lebih kepada fungsi ibu di ranah domestik.
Mungkin perempuan Indonesia justru senang dalam belenggu di tengah hegemoni laki-laki. Begitu terbuai dengan berbagai konstruksi realitas yang semu, semisal konsep kecantikan dengan kontes putri dengan berbagai versi, sehingga perempuan menjadi “asing” dengan identitasnya, karena cantik bukan pada dirinya.
Konstruksi realitas
Dalam pandangan Peter L Berger—seorang sosiolog interpretatif—realitas itu tidak dibentuk secara alamiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Realitas dibentuk dan dikonstruksikan. Realitas dipandang berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Sedangkan proses konstruksi realitas, prinsipnya adalah setiap upaya ”menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik (Eriyanto, 2002)
Pertama, eksternalisasi; yakni usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar manusia. Manusia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.
Kedua, objektivikasi; yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.
Ketiga, internalisasi; proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadaran, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Dalam kaitan dengan posisi laki-laki dan budaya patriarki, kaum feminis memandang bahwa realitas yang ada dalam ruang publik bukanlah realitas yang objektif, melainkan sebagai realitas yang telah dikonstruksi oleh pembuatnya, yakni kaum lelaki itu sendiri. Hal ini berbeda dengan pandangan positivis yang memahami bahwa realitas yang ada itu bersifat objektif.
Sistem dan pembagian peran masih menempatkan perempuan sebagai wakil laki-laki, wanita yang cantik harus memenuhi unsur beauty, brain, be-havior, dan prinsip profesional bagi perempuan selalu terkait aspek seksualitas. Mitos kecantikanlah yang membelenggu perempuan, bahkan terkadang ada kesan bahwa cantik mesti berkorban, hingga mata semua tertuju padanya.
Pengalaman pribadi mendengarkan keluhan kawan perempuan di sebuah perusahaan layanan telepon seluler mendukung fakta itu. Kawan perempuan itu mengatakan,“Saya tidak membuat aturan, saya hanya mengikuti.” Inilah bahasa yang sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana seorang perempuan hanya menjadi bagian saja dari sistem yang ada, yaitu hegemoni laki-laki.
Ketidaksiapan perempuan
Namun, secara umum perempuan Indonesia tetap sebagai kaum marginal dalam ruang publik. Dari hasil pengamatan, saya menawarkan dua faktor dari internal yang harus dibenahi.
Pertama, faktor ketidaksiapan mental. Mengambil istilah Ruth Indiah Rahayu, perempuan Indonesia “telanjur” nyaman dalam posisi manak, macak dan masak. Simbol perempuan diasosiasikan pada melahirkan dan mengasuh anak, mengurus rumah dan melayani suami di ranjang. Orientasi perempuan (sekalipun sudah berkarir di ruang publik) harus menghasilkan generasi baru, memelihara aspek fisik agar terus memikat dan mengurus semua hal yang berkaitan dengan kesejahteraan laki-laki.
Kedua, faktor arah gerakan wanita. Launa menyebut sebagai political will pemerintah. Namun, bagi saya ini bukan masalah bangunan kultur birokrasi Indonesia yang dirancang menjadikan kaum perempuan pada tataran hiburan dan bukan pengambil keputusan, tetapi bagaimana perempuan mau menciptakan kultur mereka dalam aspek kepemimpinan, politik, sosial kemasyarakatan dan fungsi pengawasan. Cakupan persoalan di ranah publik terutama bagi perempuan dapat dijawab oleh perempuan sendiri.
Kesimpulannya bukan pembenahan aspek kebijakan strategis state apparatus yang menjadi perhatian utama. Namun, kesiapan perempuan untuk bertarung dalam ruang publik. Sebab sebagai arena terbuka, ruang publik terbuka bagi kelompok yang mampu menentukan aksebilitas dan asertivitas. Bila kaum perempuan mampu mengatasi dua faktor di atas menjadi gerakan yang holistik maka akan lahir relasi gender dalam ruang publik secara berimbang dan humanis. - Oleh : Arief Fajar Pengajar Komunikasi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Surakarta Aktif di Gender in
Opini Solo Pos 22 Desember 2010
21 Desember 2010
Humanisasi perempuan Indonesia
Thank You!