21 Desember 2010

» Home » Opini » Pikiran Rakyat » Wanita dan Pendidikan

Wanita dan Pendidikan

Hari Ibu yang kita peringati setiap 22 Desember tidaklah sama dengan Mother Day di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong yang selalu merayakan Mother`s Day pada setiap hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Demikian pula Hari Ibu berbeda dengan Hari Perempuan Internasional atau International Women`s Day, yang diperingati di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, setiap 8 Maret.
Mother Day yang diperingati kaum wanita di negara barat tidak lepas dari paham womens liberalism yang dikembangkan kaum wanita di sana. Tuntutan eksistensi peran wanita yang mengingkari posisi kodrati, salah satunya menyebabkan lunturnya motivasi kaum wanita untuk menjalankan fungsi reproduksi. Tak ayal pada sebagian negara Barat terjadi negative growth population.
Hari Ibu memiliki makna sebagai apresiasi atas perjuangan dan pengorbanan kaum wanita, khususnya ibu dalam kehidupannya. Sama sekali tidak ada kaitannya perjuangan yang dilakukan kaum wanita dengan eksistensi yang harus mengungguli pihak mana pun, dalam hal ini kaum pria. Walau fakta kontradiktif terus berlangsung, dari hasil survei yang penulis lakukan, prestasi peserta didik wanita tidak kalah dengan peserta didik pria. Malahan pada beberapa kasus, peserta didik wanita pada jenjang pendidikan yang berbeda memiliki prestasi akademis di atas teman-temannya yang laki-laki.
Namun, peran-peran sosial di masyarakat masih sangat terbatas bagi kaum wanita. Ini bukan sesuatu yang harus disesali atau diratapi, tetapi dipahami sebagai bagian dari budaya patriarkat yang masih tumbuh subur dalam masyarakat kita. Budaya patriarkat yang cenderung maskulin, tidak perlu digeser ke arah ekstrem lainnya, yakni feminin. Namun, budaya baru yang harus diperjuangkan kaum wanita ke depan adalah budaya yang tidak bias gender dan egaliter selaras dengan fungsi dan peran kodratnya.
Dewi Sartika menjawab
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, 4 Desember 1884-11 September 1947. Ia menekankan pentingnya pendidikan sebagai alat kemajuan bagi kaum wanita pada zamannya. Melalui ruangan kecil belakang rumah ibunya, ia merintis pendidikan bagi kaum perempuan yang selaras dengan kondisi yang dihadapi saat itu. Merenda, memasak, menjahit, membaca, menulis, belajar berkepribadian yang baik, dan sebagainya, menjadi materi pelajarannya. Lulusan pertama ke luar pada 1909, membuktikan kepada bangsa kita, wanita memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan pria.
Pada 1910, dengan menggunakan harta pribadinya, Dewi Sartika memperbaiki sekolahnya sehingga lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal. Tahun-tahun berikutnya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa "Sakola Istri", terutama yang dikelola wanita Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada 1966, beliau dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Sangat disesalkan kajian tentang perjuangan Dewi Sartika hampir hilang gaungnya. Masih banyak remaja putri kita saat ditanya tentang Dewi Sartika hanya mengenal namanya, sedangkan perjuangannya, tidak banyak yang tahu. Tampaknya perlu simbolisasi perjuangannya yang diharapkan ke depan menjadi sumber inspirasi arah perjuangan peran wanita yang sesungguhnya serta ada upaya sistematis menindaklanjuti perjuangannya. Dengan demikian, kaum wanita ke depan tidak terjebak dalam memperjuangkan hak yang semu belaka.
Esensi dari perjuangan Dewi Sartika yang masih tetap relevan adalah pentingnya irisan yang harmonis antara pendidikan hard skills dan soft skills dalam proses pendidikan kaum wanita. wanita yang kelak dewasa, menjadi sosok ibu yang memiliki keterampilan hidup (life skills) yang tidak harus bergantung kepada peran suami. Akan tetapi juga menjadi ibu yang memiliki kepribadian yang baik, santun dalam budi bahasa, jiwa kemandirian yang kuat, dan kesabaran dalam mendidik para putra-putrinya (soft skills). Bila pendidikan seperti itu dijalankan dengan benar tidaklah harus terjadi, kaum ibu terjebak di negara orang sebagai pekerja migran yang tidak didukung oleh skill yang cukup serta dukungan dan perlindungan yang amat mengenaskan.
Pada masyarakat ekonomi saat ini, bekerja di luar negeri seyogianya tidak diposisikan sebagai pekerjaan yang harus dicerca, termasuk bila dilakukan oleh wanita. Era globalisasi meniscayakan terjadinya migrasi yang begitu cepat dan tidak lazim. Globalisasi ini pula yang memberi jalan bagi para pekerja wanita dari negara lain, seperti Maribeth, penyanyi berkebangsaan Filipina yang separuh umurnya bekerja di Indonesia. Demikian pula wanita kita yang bekerja di luar negeri harus disikapi dengan positif. Namun masalahnya, bagaimana mereka bisa mengekspresikan kinerja dengan baik dan terhormat, serta memberikan penghargaan yang layak kepada bangsanya.
Titik pangkalnya adalah bagaimana pendidikan kita mampu memberi bekal yang cukup dan tepat bagi kaum wanita karena senyatanya berdasarkan hasil studi yang dilakukan, wanita memiliki etos belajar yang cukup baik. Saat seperti ini, bangsa kita harus mengenang dan mampu mengimplementasikan cita-cita Dewi Sartika. Untuk membentuk kaum-kaum ibu yang memiliki martabat yang lebih baik.***
Penulis, Doktor Pendidikan, Sekretaris Magister Pendidikan Matematika Pascasarjana Unpas.

Opini Pikiran Rakyat 22 Desember 2010